Jangan Biarkan Industri Strategis Mati Suri
A
A
A
Perusahaan yang pada awalnya hanya bergerak di bidang pengadaan alat-alat militer, berpotensi menjadi perusahaan besar di bidang komersial.
Beberapa perusahaan luar negeri memberikan contoh akan hal ini. Saat ini Indonesia mempunyai beberapa perusahaan nasional yang bergerak di bidang penyediaan peralatan militer, seperti PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia (DI) yang di antara produknya dipergunakan untuk kebutuhan militer.
PT Pindad sudah terbukti berhasil mengeluarkan produk yang tidak hanya diterima militer Indonesia, namun juga mendapatkan permintaan dari luar negeri. Sementara itu, PT DI yang dulu sempat berjaya dengan N-250 di dekade 1990-an, kini juga mulai menggeliat. Sejumlah pesanan dari luar negeri juga berdatangan.
Director Prisma Resource Centre Suhardi Suryadi menyebutkan saat ini memang ada sejumlah perusahaan di sektor industri strategis sudah menunjukkan kualitas yang bagus. PT DI, Pindad, dan PAL adalah contoh dari perusahaan yang berhasil bergerak di sektor ini. Namun secara keseluruhan, dia masih melihat industri strategis Indonesia kurang berkembang.
“Kalau saya melihat secara umum, industri strategis Indonesia belum berkembang dengan baik bahkan bisa dikatakan industri ini tidak maju dan tidak juga mati atau stagnan,” kata Suhardi kepada KORAN SINDO kemarin. Kondisi ini menurut Suhardi sangat disayangkan, mengingat secara infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) di industri strategis cukup andal. Tinggal bagaimana pengelolaannya yang lebih baik.
Menurut Suhardi, industri strategis secara umum harus mandiri sehingga bisa bersaing secara komersial. Dia mencontohkan banyak industri strategis di negara lain yang dulunya hanya menyuplai keperluan militer dalam negeri, kini menjadi salah satu pemain utama di bidangnya. Salah satu yang menonjol adalah Boeing asal Amerika Serikat. Boeing awalnya fokus pada pesawat berbadan besar dikaji untuk memenangi kontrak dari militer Amerika Serikat untuk membuat pesawat berpenumpang besar bagi keperluan militer.
Rupanya saat itu Boeing tidak beruntung karena kalah dengan Lockheed C-5 Galaxy. Namun, usaha Boeing mengonsep pesawat berbadan besar tidak sia-sia, salah satu pelanggannya meminta Boeing membuat sebuah pesawat penumpang yang besar, 2 kali ukuran Boeing 707.
Padahal, saat itu yang banyak diminati adalah pesawat berkapasitas rendah dan berjarak dekat. Pada 1966, Boeing sudah berhasil memproduksi pesawat penumpang berkapasitas besar yang seperti Boeing 747 dengan pesanan awal 25 pesawat. Boeing hampir gulung tikar pada 1970. Namun, Boeing memenangi pertaruhan ini pada akhirnya dan Boeing memonopoli pengangkutan berbadan lebar selama 35 tahun. Kedatangan Airbus A380 memecah rekor Boeing.
Kini Boeing tidak dikenal sebagai penyedia pesawat militer, namun lebih dikenal sebagai penyedia pesawat angkut yang populer. Desain yang pada awalnya untuk pesawat militer rupanya dengan modifikasibisajugadigunakanuntukberkompetisi pada bidang komersial. Jika bisa untuk kebutuhan komersial, tentunya bisa diproduksilebihmassaldari pada hanyabergerak di bidang militer.
Kasus Boeing memperlihatkan bahwa produk untuk militer pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan produk untuk komersial dan sipil. Cuma hanya spesifikasi tertentu yang memang berbeda antara keduanya. Peralihan antara keduanya bukanlah hal yang tidak mungkin, sehingga perusahaan yang awalnya memproduksi alat militer juga bisa memproduksi alat untuk sipil.
Sepanjang tidak mempunyai perbedaan yang sangat prinsipiil antara keduanya. “Bukan hanya Boeing, sejumlah perusahaan di berbagai negara seperti Prancis yang dulunya untuk kepentingan dalam negeri, kini bersaing secara komersial,” jelas Suhardi.
Islahuddin
Beberapa perusahaan luar negeri memberikan contoh akan hal ini. Saat ini Indonesia mempunyai beberapa perusahaan nasional yang bergerak di bidang penyediaan peralatan militer, seperti PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT Dirgantara Indonesia (DI) yang di antara produknya dipergunakan untuk kebutuhan militer.
PT Pindad sudah terbukti berhasil mengeluarkan produk yang tidak hanya diterima militer Indonesia, namun juga mendapatkan permintaan dari luar negeri. Sementara itu, PT DI yang dulu sempat berjaya dengan N-250 di dekade 1990-an, kini juga mulai menggeliat. Sejumlah pesanan dari luar negeri juga berdatangan.
Director Prisma Resource Centre Suhardi Suryadi menyebutkan saat ini memang ada sejumlah perusahaan di sektor industri strategis sudah menunjukkan kualitas yang bagus. PT DI, Pindad, dan PAL adalah contoh dari perusahaan yang berhasil bergerak di sektor ini. Namun secara keseluruhan, dia masih melihat industri strategis Indonesia kurang berkembang.
“Kalau saya melihat secara umum, industri strategis Indonesia belum berkembang dengan baik bahkan bisa dikatakan industri ini tidak maju dan tidak juga mati atau stagnan,” kata Suhardi kepada KORAN SINDO kemarin. Kondisi ini menurut Suhardi sangat disayangkan, mengingat secara infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) di industri strategis cukup andal. Tinggal bagaimana pengelolaannya yang lebih baik.
Menurut Suhardi, industri strategis secara umum harus mandiri sehingga bisa bersaing secara komersial. Dia mencontohkan banyak industri strategis di negara lain yang dulunya hanya menyuplai keperluan militer dalam negeri, kini menjadi salah satu pemain utama di bidangnya. Salah satu yang menonjol adalah Boeing asal Amerika Serikat. Boeing awalnya fokus pada pesawat berbadan besar dikaji untuk memenangi kontrak dari militer Amerika Serikat untuk membuat pesawat berpenumpang besar bagi keperluan militer.
Rupanya saat itu Boeing tidak beruntung karena kalah dengan Lockheed C-5 Galaxy. Namun, usaha Boeing mengonsep pesawat berbadan besar tidak sia-sia, salah satu pelanggannya meminta Boeing membuat sebuah pesawat penumpang yang besar, 2 kali ukuran Boeing 707.
Padahal, saat itu yang banyak diminati adalah pesawat berkapasitas rendah dan berjarak dekat. Pada 1966, Boeing sudah berhasil memproduksi pesawat penumpang berkapasitas besar yang seperti Boeing 747 dengan pesanan awal 25 pesawat. Boeing hampir gulung tikar pada 1970. Namun, Boeing memenangi pertaruhan ini pada akhirnya dan Boeing memonopoli pengangkutan berbadan lebar selama 35 tahun. Kedatangan Airbus A380 memecah rekor Boeing.
Kini Boeing tidak dikenal sebagai penyedia pesawat militer, namun lebih dikenal sebagai penyedia pesawat angkut yang populer. Desain yang pada awalnya untuk pesawat militer rupanya dengan modifikasibisajugadigunakanuntukberkompetisi pada bidang komersial. Jika bisa untuk kebutuhan komersial, tentunya bisa diproduksilebihmassaldari pada hanyabergerak di bidang militer.
Kasus Boeing memperlihatkan bahwa produk untuk militer pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan produk untuk komersial dan sipil. Cuma hanya spesifikasi tertentu yang memang berbeda antara keduanya. Peralihan antara keduanya bukanlah hal yang tidak mungkin, sehingga perusahaan yang awalnya memproduksi alat militer juga bisa memproduksi alat untuk sipil.
Sepanjang tidak mempunyai perbedaan yang sangat prinsipiil antara keduanya. “Bukan hanya Boeing, sejumlah perusahaan di berbagai negara seperti Prancis yang dulunya untuk kepentingan dalam negeri, kini bersaing secara komersial,” jelas Suhardi.
Islahuddin
(ars)