KY Kaji Kejanggalan Salinan Putusan TPI
A
A
A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) mulai bekerja mengusut dugaan kejanggalan dalam putusan penolakan peninjauan kembali (PK) sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri mengungkapkan, KY mencurigai ada kejanggalan dalam keterlibatan lembaga peradilan mulai dari pengadilan negeri (PN) hingga Mahkamah Agung (MA) dalam proses penyelesaian sengketa kepemilikan TPI antara PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut).
Keterlibatan lembaga peradilan tersebut dianggap tidak tepat karena dua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). “Maka itu, saya kok heran kenapa ini bisa sampai peninjauan kembali (PK). Semestinya kan dari pengadilan pertama ini tidak boleh diproses,” ucap Taufiq saat ditemui di kantornya di Jakarta kemarin.
Berbekal kecurigaan itu, KY segera menindaklanjuti dengan memeriksa salinan putusan mulai tingkat PN, banding, kasasi, hingga PK. Dari sana dia berharap bisa mendapatkan informasi mengapa kasus sengketa yang telah ditangani BANI itu bisa diproses juga oleh lembaga peradilan.
“Kita masih belum ada keputusan karena tim analisis masih menyelidik tentang alasan kenapa pengadilan menerima. Ini jadi kajian KY. Tapi, anehnya kenapa Tutut membawa ke pengadilan?” tanyanya. Tidak menutup kemungkinan juga memang ada keterlibatan dari panitera dan sekretaris jenderal di pengadilan.
Menurut Taufiq, jika itu terbukti, akan ada sanksi tegas terhadap para pelakunya. “Kalau panitera dan sekjen itu Ombudsman nanti yang mengawasi, sementara untuk hakim yang masuk pejabat negara atau pejabat publik, KY yang akan menindak secara etik,” tuturnya. Taufiq juga menyatakan, KY sudah menyiapkan tim investigasi untuk menelusuri kasus dugaan pelanggaran kode etik tiga hakim MA yang menolak PK kasus TPI.
“Mestinya sudah dibentuk tim panel, tidak perlu tim investigasi karena itu sudah jelas, sudah ter-blow up di media dan tinggal bukti-buktinya saja diperiksa. Tapi, saya tidak ditunjuk di panel,” ungkapnya. Sementara itu, guru besar ilmu hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Jamal Wiwoho menilai, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seharusnya bisa menindaklanjuti laporan PT Berkah Karya Bersama secara diam-diam guna menelusuri ada rekening tidak wajar terhadap tiga anggota majelis hakim PK kasus TPI.
Penelusuran rekening bisa menjadi pintu masuk temuan ada suap sehingga laporan masyarakat seharusnya ditelusuri. Menurut dia, memang kelihatannya PPATK tidak bergerak menelusuri rekening tidak wajar hanya atas laporan masyarakat. Tapi, dalam praktiknya PPATK sering bergerak berdasarkan informasi yang diterima.
“Yang jadi permasalahan adalah hasil penelusurannya memang tidak bisa dipublikasikan secara luas. Jadi secara diam bisa saja PPATK melakukan penelusuran,” ungkap Jamal. Karena itu, meski nanti PPATK menemukan ada rekening yang tidak wajar, masyarakat yang melapor pun tidak akan mengetahui sebab hasil penelusuran PPATK sifatnya rahasia.
Meski demikian, jika melihat putusan yang diambil majelis PK kasus TPI, memang menimbulkan pertanyaan. Terutama persoalan sengketa yang disepakati diselesaikan secara arbitrase justru diputus pengadilan. Padahal, ungkapnya, dalam UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 jelas menerangkan sengketa bisnis yang sifatnya privat yang diajukan ke badan arbitrase harusnya pengadilan menolak perkara tersebut.
“Nah, wewenang tersebut dilanggar hakim, tentu orang bertanya-tanya ada apa itu? Hingga muncullah laporan dugaan pelanggaran,” paparnya. Melihat fakta tersebut, apabila ditemukan indikasi tindak pidana berupa suap, penelusuran rekening merupakan cara palingstrategisuntukmenemukan dugaan tersebut. Dalam hal ini, PPATK memang diberikan otoritas oleh UU untuk menelusuri.
Dian ramdhani/Nurul adriyana
Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri mengungkapkan, KY mencurigai ada kejanggalan dalam keterlibatan lembaga peradilan mulai dari pengadilan negeri (PN) hingga Mahkamah Agung (MA) dalam proses penyelesaian sengketa kepemilikan TPI antara PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut).
Keterlibatan lembaga peradilan tersebut dianggap tidak tepat karena dua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). “Maka itu, saya kok heran kenapa ini bisa sampai peninjauan kembali (PK). Semestinya kan dari pengadilan pertama ini tidak boleh diproses,” ucap Taufiq saat ditemui di kantornya di Jakarta kemarin.
Berbekal kecurigaan itu, KY segera menindaklanjuti dengan memeriksa salinan putusan mulai tingkat PN, banding, kasasi, hingga PK. Dari sana dia berharap bisa mendapatkan informasi mengapa kasus sengketa yang telah ditangani BANI itu bisa diproses juga oleh lembaga peradilan.
“Kita masih belum ada keputusan karena tim analisis masih menyelidik tentang alasan kenapa pengadilan menerima. Ini jadi kajian KY. Tapi, anehnya kenapa Tutut membawa ke pengadilan?” tanyanya. Tidak menutup kemungkinan juga memang ada keterlibatan dari panitera dan sekretaris jenderal di pengadilan.
Menurut Taufiq, jika itu terbukti, akan ada sanksi tegas terhadap para pelakunya. “Kalau panitera dan sekjen itu Ombudsman nanti yang mengawasi, sementara untuk hakim yang masuk pejabat negara atau pejabat publik, KY yang akan menindak secara etik,” tuturnya. Taufiq juga menyatakan, KY sudah menyiapkan tim investigasi untuk menelusuri kasus dugaan pelanggaran kode etik tiga hakim MA yang menolak PK kasus TPI.
“Mestinya sudah dibentuk tim panel, tidak perlu tim investigasi karena itu sudah jelas, sudah ter-blow up di media dan tinggal bukti-buktinya saja diperiksa. Tapi, saya tidak ditunjuk di panel,” ungkapnya. Sementara itu, guru besar ilmu hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Jamal Wiwoho menilai, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seharusnya bisa menindaklanjuti laporan PT Berkah Karya Bersama secara diam-diam guna menelusuri ada rekening tidak wajar terhadap tiga anggota majelis hakim PK kasus TPI.
Penelusuran rekening bisa menjadi pintu masuk temuan ada suap sehingga laporan masyarakat seharusnya ditelusuri. Menurut dia, memang kelihatannya PPATK tidak bergerak menelusuri rekening tidak wajar hanya atas laporan masyarakat. Tapi, dalam praktiknya PPATK sering bergerak berdasarkan informasi yang diterima.
“Yang jadi permasalahan adalah hasil penelusurannya memang tidak bisa dipublikasikan secara luas. Jadi secara diam bisa saja PPATK melakukan penelusuran,” ungkap Jamal. Karena itu, meski nanti PPATK menemukan ada rekening yang tidak wajar, masyarakat yang melapor pun tidak akan mengetahui sebab hasil penelusuran PPATK sifatnya rahasia.
Meski demikian, jika melihat putusan yang diambil majelis PK kasus TPI, memang menimbulkan pertanyaan. Terutama persoalan sengketa yang disepakati diselesaikan secara arbitrase justru diputus pengadilan. Padahal, ungkapnya, dalam UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 jelas menerangkan sengketa bisnis yang sifatnya privat yang diajukan ke badan arbitrase harusnya pengadilan menolak perkara tersebut.
“Nah, wewenang tersebut dilanggar hakim, tentu orang bertanya-tanya ada apa itu? Hingga muncullah laporan dugaan pelanggaran,” paparnya. Melihat fakta tersebut, apabila ditemukan indikasi tindak pidana berupa suap, penelusuran rekening merupakan cara palingstrategisuntukmenemukan dugaan tersebut. Dalam hal ini, PPATK memang diberikan otoritas oleh UU untuk menelusuri.
Dian ramdhani/Nurul adriyana
(bbg)