PDIP Sesalkan Tutut Sebut Utang TPI karena Politik

Senin, 24 November 2014 - 14:13 WIB
PDIP Sesalkan Tutut...
PDIP Sesalkan Tutut Sebut Utang TPI karena Politik
A A A
JAKARTA - Pernyataan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut yang menyatakan utang TPI muncul akibat dampak situasi politik menuai protes tajam dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Partai berlambang banteng ini menyesalkan pernyataan Tutut yang menyalahkan situasi politik yang kala itu di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Politikus PDIP Aria Bima mengungkapkan terpuruknya perusahaan Tutut atas utang TPI bukan karena situasi politik, tetapi dikarenakan memang ada permasalahan yang harus dibereskan Megawati di tubuh perusahaan-perusahaan yang dinilai meninggalkan sejumlah catatan kotor.

Dia menyebutkan pemerintahan Megawati atas amanat Reformasi layaknya pencuci piring yang membersihkan sisa-sisa peninggalan Orde Baru (Orba) yang merugikan bangsa. “Kurang tepat kalau pemerintahan Mbak Mega disalahkan. Kan memang amanat Reformasi untuk membereskan situasi ekonomi saat itu. Dulu itu siapa yang ngatur , waktu itu Pak Harto kan tanda tangan dengan IMF, itu situasi yang tidak berdaulat secara ekonomi dan Mbak Mega menyelesaikan itu,” ungkap Aria saat dihubungi di Jakarta tadi malam.

Lagipula, menurut dia, Tutut merupakan orang yang ikut menikmati pesta pora Orba sehingga muncul pertanyaan apakah memang perusahaan yang dipimpin Tutut saat itu bersih dari segala pengaruh yang merugikan bangsa. Sebab, jika memang tidak ada “kotoran”, mana mungkin terlilit utang hingga hampir bangkrut.

“Kalau Mbak Tutut kena imbasnya berarti ada sesuatu yang tidak sehat, berarti ada piring kotor, pemerintahan Mbak Mega itu kan istilahnya pencuci piring. Bukan hanya Mba Mega, Gus Dur (mantan Presiden KH Abdurrhman Wahid), Pak SBY (mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) pun ikut membersihkan piring kotor sisa Orde Baru. Itu kan akibat amburadulnya akhir pemerintahan Orde Baru,” lanjutnya.

Seperti diberitakan, dalam jumpa pers pada Jumat (21/11), Tutut berbelit- belit saat ditanya persoalan yang mendera TPI. Dia tidak detail menjelaskan perihal utang-utang TPI, bahkan cenderung tidak mengakuinya. Dia menyebut utang TPI merupakan dampak dari situasi politik ketika itu. Memang pekerjaan kami belum selesai, jadi ada utang dari jauh. Tapi, pada saat itu politiklah yang membuat kami berutang.

Karena Bapak (mantan Presiden Soeharto) pada saat itu menyatakan berhenti, ya karena sudah tidak dipercaya lagi. Jadi kami divonis untuk punya utang, harus membayar utang-utangnya sedemikian banyak,” kata Tutut. Pernyataan Tutut tersebut dinilai menafikan fakta yang terjadi. Kuasa hukum PT Berkah Karya Abadi Andi Simangunsong mengatakan pihaknya masuk untuk menyematkan TPI yang saat itu nyaris hancur di bawah manajemen Tutut. Kala itu, TPI nyaris kolaps karena terlilit utang triliunan rupiah.

“Utang TPI ketika itu hampir Rp1,6 triliun,” kata Andi. Menurut Andi, TPI berkembang pesat setelah masuknya PT Berkah Karya Bersama. Mengenai perselisihan yang timbul atas kepemilikan TPI, baik PT Berkah maupun Tutut sudah sepakat akan memilih jalur arbitrase untuk menyelesaikan masalah ini.

Karena itu, Tutut tak bisa menyandarkan putusan Mahkamah Agung (MA) karena majelis yang memutus perkara itu telah melanggar Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga pengadilan tak berwenang memproses perkara TPI. Apalagi saat ini kasus ini sedang dalam proses yang ditangani Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Banyak pihak akhirnya mempertanyakan motif hakim agung MA yang memproses kasus TPI, yakni M Saleh (ketua) dengan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan. Lebih jauh, Andi juga mempertanyakan motif Tutut yang mengabaikan kesepakatan yang dibuat dengan PT Berkah. Apalagi sikap Tutut yang melanggar kesepakatan dengan Berkah itu dilakukan setelah TPI berpindah tangan kepada pihak lain dan menunjukkan performa yang baik.

Bawas MA Berwenang Panggil Hakim TPI

Sementara itu, Badan Pengawas MA (Bawas MA) seharusnya bisa melakukan pemanggilan terhadap majelis hakim peninjauan kembali (PK) guna mengklarifikasi dugaan pelanggaran etik dan suap dalam menangani sengketa kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CPTI).

MA seharusnya tidak melindungi hakim yang diduga melakukan pelanggaran. Pengamat hukum tata negara Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, menyatakan sangat penting bagi Bawas MA untuk terjun langsung tanpa menunggu laporan masyarakat. Sebab, sebagai pengawas internal, sudah sepantasnya mereka melakukan klarifikasi atas berbagai dugaan pelanggaran yang ditujukan kepada hakim di bawah kelembagaannya.

“Nah, dalam konteks pengawasan memang bisa, apalagi ketika ada dugaan kekeliruan, cuma pertanyaannya itu akan dilakukan apa tidak, kan berpulang ke Bawas. Harusnya preventif, tanpa laporan tapi melihat informasi di sekitar. Beda dengan KY kan di luar kehakiman,” ungkap Asep di Jakarta kemarin.

Lagipula, peran Bawas sangat penting untuk menunjukkan kembali wibawa MA. Pasalnya, adanya klarifikasi sangat penting pula untuk memastikan apakah dugaan pelanggaran etik dan suap itu benar atau tidak? Apalagi, sudah ada indikasi pihak yang jadi korban hakim yang bersangkutan.

Nurul adriyana
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1136 seconds (0.1#10.140)