Buat Akun Sosmed untuk Bantu Mantan Istri
A
A
A
SEPERTI menang lotre, begitulah jika bisa menikmati kehidupan di Swiss. Pendidikan murah tapi bagus, bentang alamnya sangat indah, dan transportasinya tercatat paling rapi jadwalnya sedunia.
Tidak berlebihan, jika untuk urusan kualitas hidup, Swiss selalu menjadi the big three di tingkat dunia. Salah satu yang begitu menikmati kehidupan ala Swiss adalah Daniel Kaiser, mantan suami Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. “Dari kampung saya yang begitu ndusun , ke tempat kerja, tinggal meloncat ke dalam kereta, tak sampai setengah jam, sampai sudah,” ungkapnya.
Kalau dibandingkan dengan kehidupan di kota besar lainnya, termasuk Jakarta, urusan transportasi di Swiss nyaris seperti surga. Janjian dengan KORAN SINDO di tengah Kota Zurich yang padat pun bisa langsung diterabas dari Wettswill am Albis, kampung halamannya dalam kurun waktu yang mepet. “Inilah Swiss, semua bisa diatur dalam waktu yang tepat,” paparnya sambil menyalami KORAN SINDO di meeting point ZurichHB, stasiun kereta terbesar di Swiss. Cuma, kini ada “gangguan” baru bagi manager sales sebuah perusahaan IT di Zurich ini.
Sebagian waktunya harus disisakan untuk mengurus akun Twitter dan Facebook -nya. “Saya sudah ingatkan Nadine dan Susi, agar lebih berhati-hati dengan sosial media,” katanya. Daniel sendiri kini membuka akun Facebook dan Twitter untuk membantu menghadapi serangan terhadap mantan istrinya, Susi Pudjiastuti, serta Nadine Kaiser, anak semata wayang hasil pernikahannya.
“Saya tiap hari mendapatkan 200 permintaan pertemanan, kalau Nadine malah 7.000-an saban hari,” katanya. Juga, tidak sedikit wartawan Indonesia yang meminta wawancara dengannya. “Terutama tentang Nadine, tampaknya dia menjadi idola baru. Saya harap konsentrasi sekolahnya tidak terganggu,” tuturnya. Tapi semua “gangguan” itu tidak menjadi kendala dalam menikmati kehidupannya di Swiss.
“Semua masih dalam taraf business as usual,” katanya. Daniel, kini menikmati kehidupan bersama keluarga barunya di Wettswill am Albis, sebuah dusun di luar Kota Zurich. Jika tidak sedang jalan-jalan dengan anjingnya, menonton pertandinganFC Zurich, kegiatan Daniel sehari-hari hanya bersantai dengan keluarganya. “Saya bukan siapa-siapa di Swiss. Dan juga hanya mantan,” katanya.
Swiss memang terkenal memberikan perlindungan alami terhadap kalangan prominen. Penduduk lokal juga membiarkan, misalnya saja Tina Turner, yang kini tinggal di Zurich. Tina berbelanja ke supermarket terdekat tanpa gangguan serbuan fans yang minta tanda tangan atau foto bersama. Bayangkan jika Daniel Kaiser tinggaldiBogor, misalnya, depan rumahnya akan ditongkrongi wartawan sepanjang hari.
“Di sini (Wettswill), saya hidup dan bekerja seperti biasa, sangat beruntung lah,” ungkapnya. Terlahir di Zurich, 1961, dari keluarga kelas pekerja, bapaknya buruh pabrik dan ibunya harus mengurus enam anak, membuat Daniel terbiasa dengan kehidupan keras dan susah. “Sejak kecil, saya terbiasa hidup susah. Juga karena di Swiss tidak bisa seperti Indonesia, tidak bisa minta ini dan itu ke orang tua,” katanya.
Bersama saudaranya, Daniel sempat bekerja sebagai pengantar koran. Revolusi mental yang dikampanyekan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini agaknya sudah mendarah daging bagi Daniel. “Swiss 150 tahun lalu, ya sama dengan keadaan Indonesia. Kami di sini, ya negara miskin di Eropa saat itu,” katanya. Bedanya, Indonesia masih banyak punya sumber daya alam. “Swiss hanya punya gunung,” kelakarnya.
Namun, ujarnya, dengan kerja keras, loyalitas, hidup sederhana, dan rendah hati, Swiss bisa maju. “Itulah yang mungkin bisa dipelajari dari Swiss untuk Indonesia,” tandasnya. ●
Laporan Kontributor Koran Sindo
Krisna Diantha
SWISS
Tidak berlebihan, jika untuk urusan kualitas hidup, Swiss selalu menjadi the big three di tingkat dunia. Salah satu yang begitu menikmati kehidupan ala Swiss adalah Daniel Kaiser, mantan suami Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. “Dari kampung saya yang begitu ndusun , ke tempat kerja, tinggal meloncat ke dalam kereta, tak sampai setengah jam, sampai sudah,” ungkapnya.
Kalau dibandingkan dengan kehidupan di kota besar lainnya, termasuk Jakarta, urusan transportasi di Swiss nyaris seperti surga. Janjian dengan KORAN SINDO di tengah Kota Zurich yang padat pun bisa langsung diterabas dari Wettswill am Albis, kampung halamannya dalam kurun waktu yang mepet. “Inilah Swiss, semua bisa diatur dalam waktu yang tepat,” paparnya sambil menyalami KORAN SINDO di meeting point ZurichHB, stasiun kereta terbesar di Swiss. Cuma, kini ada “gangguan” baru bagi manager sales sebuah perusahaan IT di Zurich ini.
Sebagian waktunya harus disisakan untuk mengurus akun Twitter dan Facebook -nya. “Saya sudah ingatkan Nadine dan Susi, agar lebih berhati-hati dengan sosial media,” katanya. Daniel sendiri kini membuka akun Facebook dan Twitter untuk membantu menghadapi serangan terhadap mantan istrinya, Susi Pudjiastuti, serta Nadine Kaiser, anak semata wayang hasil pernikahannya.
“Saya tiap hari mendapatkan 200 permintaan pertemanan, kalau Nadine malah 7.000-an saban hari,” katanya. Juga, tidak sedikit wartawan Indonesia yang meminta wawancara dengannya. “Terutama tentang Nadine, tampaknya dia menjadi idola baru. Saya harap konsentrasi sekolahnya tidak terganggu,” tuturnya. Tapi semua “gangguan” itu tidak menjadi kendala dalam menikmati kehidupannya di Swiss.
“Semua masih dalam taraf business as usual,” katanya. Daniel, kini menikmati kehidupan bersama keluarga barunya di Wettswill am Albis, sebuah dusun di luar Kota Zurich. Jika tidak sedang jalan-jalan dengan anjingnya, menonton pertandinganFC Zurich, kegiatan Daniel sehari-hari hanya bersantai dengan keluarganya. “Saya bukan siapa-siapa di Swiss. Dan juga hanya mantan,” katanya.
Swiss memang terkenal memberikan perlindungan alami terhadap kalangan prominen. Penduduk lokal juga membiarkan, misalnya saja Tina Turner, yang kini tinggal di Zurich. Tina berbelanja ke supermarket terdekat tanpa gangguan serbuan fans yang minta tanda tangan atau foto bersama. Bayangkan jika Daniel Kaiser tinggaldiBogor, misalnya, depan rumahnya akan ditongkrongi wartawan sepanjang hari.
“Di sini (Wettswill), saya hidup dan bekerja seperti biasa, sangat beruntung lah,” ungkapnya. Terlahir di Zurich, 1961, dari keluarga kelas pekerja, bapaknya buruh pabrik dan ibunya harus mengurus enam anak, membuat Daniel terbiasa dengan kehidupan keras dan susah. “Sejak kecil, saya terbiasa hidup susah. Juga karena di Swiss tidak bisa seperti Indonesia, tidak bisa minta ini dan itu ke orang tua,” katanya.
Bersama saudaranya, Daniel sempat bekerja sebagai pengantar koran. Revolusi mental yang dikampanyekan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini agaknya sudah mendarah daging bagi Daniel. “Swiss 150 tahun lalu, ya sama dengan keadaan Indonesia. Kami di sini, ya negara miskin di Eropa saat itu,” katanya. Bedanya, Indonesia masih banyak punya sumber daya alam. “Swiss hanya punya gunung,” kelakarnya.
Namun, ujarnya, dengan kerja keras, loyalitas, hidup sederhana, dan rendah hati, Swiss bisa maju. “Itulah yang mungkin bisa dipelajari dari Swiss untuk Indonesia,” tandasnya. ●
Laporan Kontributor Koran Sindo
Krisna Diantha
SWISS
(ars)