Menyebar Teror Melalui Media Sosial
A
A
A
Terorisme bukan lagi terkait dengan pembunuhan dan perebutan kekuasaan semata. Kini terorisme merambah media sosial. Tujuannya, selain sebagai ajang propaganda ideologi, juga menjadi alat yang ampuh untuk rekrutmen dan kampanye perjuangan.
Kelompok teror seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), Al-Qaeda, sangat piawai dalam penggunaan media sosial seperti YouTube, Twitter, Instagram, Tumblr, dan aplikasi lainnya. Mereka mengunggah aktivitas selama serangan ofensif. Kelompok gerilyawan di seluruh dunia dengan cepatnya belajar bagaimana memanipulasi situs internet dan media sosial yang ditemukan oleh orang Barat.
Media sosial itu digunakan untuk melawan Barat. Itu menjadi bentuk baru dalam terorisme. Telegraph melaporkan, 40.000 tweet tentang aktivitas terorisme diunggah ketika ISIS menguasai Kota Mosul, di Irak utara. Belum cukup sampai di situ, ISIS juga menggunakan hashtag yang menarik. Fokus mereka adalah memberikan pesan dan konsep branding.
Yang terbaru adalah mengunggah video eksekusi pekerja kemanusiaan Inggris David Haines dan Alan Henning serta jurnalis Amerika Serikat, James Foley dan Steven Sotloff di Suriah. Menteri Luar Negeri Australia Julia Bishop mengungkapkan, gerilyawan mulai menggunakan Twitterdalam merekrut anak muda. “Teroris itu lebih muda, lebih keras, dan lebih inovatif,” kata Bishop, dikutip Daily Mail. Mereka menggunakan media sosial untuk melakukan teror dan rekrutmen.
“Ancaman dari ISIS atau Daesh, al- Nusra Front dan kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda semakin berbahaya dan semakin global. Mereka semakin beragam dibandingkan sebelumnya,” terang Bishop dalam pertemuan sidang Dewan Keamanan PBB yang membahas terorisme beberapa waktu lalu. “Mereka mengomunikasikan propaganda dan kekerasan secara langsung ke rumah kita.” Apa yang dikhawatirkan Bishop bukan hanya ilusi semata.
Seorang remaja berusia 17 tahun bernama Adam Dahman yang tumbuh layaknya pemuda Australia pada umumnya, justru tertarik bergabung dengan ISIS. “Baru-baru ini Dahman pergi ke Irak. Dia meledakkan diri dalam serangan bom bunuh diri di pasar Baghdad yang melukai lebih dari 90 orang,” kata Bishop. Selama ini, kelompok gerilyawan kerap memberikan tawaran menggiurkan kepada para remaja.
Fasilitas mewah membuat banyak remaja tertarik bergabung dengan perjuangan ISIS. Kemampuan ISIS membayar mahal calon anggotanya disokong oleh dana yang memadai. ISIS diketahui memiliki penghasilan USD846.000 atau Rp10,26 miliar hingga USD1.645.000 atau Rp19,96 miliar per hari dari penjualan minyak di pasar gelap. Selain ISIS, Al-Qaeda juga aktif di media sosial.
Berbeda dengan ISIS yang cenderung provokatif, Al-Qaeda lebih rapi dan manis dalam menyampaikan propaganda. Beberapa yang menggunakannya adalah kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, Islamic Maghreb (AQIM). AQIM meluncurkan akun Twitter dengan 5.500 follower. AQIM juga menjadi follower kelompok gerilyawanSomalia, Al Shabaab; al-Nusra di Suriah, dan kelompok pemberontak di Alleppo, Suriah.
Mereka telah membangun kontak global yang sangat menguntungkan. Diakui memang, sangat sulit untuk mendeteksi kalau akun-akun tersebut benar-benar otentik. Namun, pergerakan mereka di media sosial memang cukup membahayakan. Jean Paul Rouiller, dari Geneva Centre for the Training and Analysis of Terrorism, mengungkapkan, media sosial merupakan hal yang sangat vital bagi organisasi terorisme. Media sosial menjadi window shopping bagi siapa saja yang tertarik.
“Mereka tidak mampu bertahan. Mereka tidak mampu merekrut orang. Pasalnya, sentuhan manusia tetap dibutuhkan. Tetapi media sosial dapat menjadi ajang window shopping,” paparnya, dikutip CNN. Dalam pandangan Evan Kohlmann, dari Flashpoint Global Partners, konsultan keamanan berbasis di New York, terorisme media sosial merupakan aspek dari terorisme cyber.
“Jaringan online lebih penting dibandingkan dengan status kewarganegaraan, suku atau etnis. Koneksi itu akan menjadi perekat yang mengikat jaringan terorisme,” tuturnya. Apa yang membuat media sosial begitu mudah disalahgunakan? Jaringan media sosial memberikan kesempatan bagi penggunanya untuk anonim atau menyembunyikan identitasnya.
Media sosial juga tidak mempermasalahkan dari mana dan di mana para penggunanya. Itulah yang membuat banyak pengguna media sosial dapat menyampaikan simpati dan berinteraksi secara langsung. “Di internet, tak ada seorang pun yang mengetahui siapa sebenarnya Anda,” paparnya.
Kutukan atau Anugerah?
Apakah media sosial menjadi sebuah kutukan atau anugerah bagi warga dunia? Menurut Pemimpin Redaksi Al Arabiya News, Faisal J Abbas, ekstremis merupakan kelompok pertama yang mengutuk teknologi. Kini mereka yang terbaik menggunakan teknologi.
“Mereka menggunakan nilai-nilai demokrasi pada media sosial untuk membuat tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Mereka menjadikan media sosial sebagai kutukan,” kata Abbas dalam diskusi di Abu Dhabi Media Summit beberapa waktu lalu. Lembaga intelijen negara-negara Barat, semisal CIA hingga MI6 saja, dianggap belum mampu mengatasi perang media sosial.
Seperti diungkapkan oleh Profesor Peter Neumann dari King’s College London. Neumann mengungkapkan, untuk memantau percakapan radikal di internet diperlukan sumber daya yang besar. “Badan intelijen belum mampu menjangkau sepenuhnya terorisme media sosial,” ungkapnya. Kepala British Government Communications Headquarters (GCHQ)–– lembaga intelijen Inggris––Robert Hannigan, menuding media sosial membantu kelompok teror melakukan aksinya.
Dia meminta perusahaan teknologi AS bekerja sama erat dengan lembaga intelijen untuk mencegah teroris menggunakan media sosial. “Bagaimanapun, mereka (perusahaan media sosial) tidak menyukai usulan itu. Padahal, media sosial menjadi ajang untuk membangun jaringan teroris,” tulisnya dalam kolom di Financial Times. Menanggapi hal tersebut Richard Allan, wakil presiden Facebookurusan kebijakan publik, mengungkapkan pentingnya skema global untuk mengampanyekan antiterorisme di dalam media massa.
Pasalnya, konten tentang terorisme di media sosial secara global sangatlah kecil. “Saya percaya mengenai privasi, tetapi ada pengecualian. Jika ada seseorang mengatakan ‘saya benci perdana menteri’, itu hak seseorang dan tidak alasan untuk mengintervensinya. Tetapi ketika mereka mengatakan, ‘kita telah bergabung dengan ISIS dan meledakkan bom pekan depan’, maka kita harus mengintervensi,” kata Allan.
Memang, diakui Allan, pesan terorisme seharusnya tidak memiliki tempat pada segala bentuk media sosial. “Facebook tidak pernah menciptakan revolusi. Perubahan politik terjadi karena status media sosial,” paparnya, dikutip Khaleej Times. Hampir semua aplikasi media sosial memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Mereka juga bekerja sama dengan pemerintah suatu negara untuk mengontrol.
Langkah itu bukan mengganggu privasi seseorang, hanya untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan.
Andika hendra m
Kelompok teror seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), Al-Qaeda, sangat piawai dalam penggunaan media sosial seperti YouTube, Twitter, Instagram, Tumblr, dan aplikasi lainnya. Mereka mengunggah aktivitas selama serangan ofensif. Kelompok gerilyawan di seluruh dunia dengan cepatnya belajar bagaimana memanipulasi situs internet dan media sosial yang ditemukan oleh orang Barat.
Media sosial itu digunakan untuk melawan Barat. Itu menjadi bentuk baru dalam terorisme. Telegraph melaporkan, 40.000 tweet tentang aktivitas terorisme diunggah ketika ISIS menguasai Kota Mosul, di Irak utara. Belum cukup sampai di situ, ISIS juga menggunakan hashtag yang menarik. Fokus mereka adalah memberikan pesan dan konsep branding.
Yang terbaru adalah mengunggah video eksekusi pekerja kemanusiaan Inggris David Haines dan Alan Henning serta jurnalis Amerika Serikat, James Foley dan Steven Sotloff di Suriah. Menteri Luar Negeri Australia Julia Bishop mengungkapkan, gerilyawan mulai menggunakan Twitterdalam merekrut anak muda. “Teroris itu lebih muda, lebih keras, dan lebih inovatif,” kata Bishop, dikutip Daily Mail. Mereka menggunakan media sosial untuk melakukan teror dan rekrutmen.
“Ancaman dari ISIS atau Daesh, al- Nusra Front dan kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda semakin berbahaya dan semakin global. Mereka semakin beragam dibandingkan sebelumnya,” terang Bishop dalam pertemuan sidang Dewan Keamanan PBB yang membahas terorisme beberapa waktu lalu. “Mereka mengomunikasikan propaganda dan kekerasan secara langsung ke rumah kita.” Apa yang dikhawatirkan Bishop bukan hanya ilusi semata.
Seorang remaja berusia 17 tahun bernama Adam Dahman yang tumbuh layaknya pemuda Australia pada umumnya, justru tertarik bergabung dengan ISIS. “Baru-baru ini Dahman pergi ke Irak. Dia meledakkan diri dalam serangan bom bunuh diri di pasar Baghdad yang melukai lebih dari 90 orang,” kata Bishop. Selama ini, kelompok gerilyawan kerap memberikan tawaran menggiurkan kepada para remaja.
Fasilitas mewah membuat banyak remaja tertarik bergabung dengan perjuangan ISIS. Kemampuan ISIS membayar mahal calon anggotanya disokong oleh dana yang memadai. ISIS diketahui memiliki penghasilan USD846.000 atau Rp10,26 miliar hingga USD1.645.000 atau Rp19,96 miliar per hari dari penjualan minyak di pasar gelap. Selain ISIS, Al-Qaeda juga aktif di media sosial.
Berbeda dengan ISIS yang cenderung provokatif, Al-Qaeda lebih rapi dan manis dalam menyampaikan propaganda. Beberapa yang menggunakannya adalah kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, Islamic Maghreb (AQIM). AQIM meluncurkan akun Twitter dengan 5.500 follower. AQIM juga menjadi follower kelompok gerilyawanSomalia, Al Shabaab; al-Nusra di Suriah, dan kelompok pemberontak di Alleppo, Suriah.
Mereka telah membangun kontak global yang sangat menguntungkan. Diakui memang, sangat sulit untuk mendeteksi kalau akun-akun tersebut benar-benar otentik. Namun, pergerakan mereka di media sosial memang cukup membahayakan. Jean Paul Rouiller, dari Geneva Centre for the Training and Analysis of Terrorism, mengungkapkan, media sosial merupakan hal yang sangat vital bagi organisasi terorisme. Media sosial menjadi window shopping bagi siapa saja yang tertarik.
“Mereka tidak mampu bertahan. Mereka tidak mampu merekrut orang. Pasalnya, sentuhan manusia tetap dibutuhkan. Tetapi media sosial dapat menjadi ajang window shopping,” paparnya, dikutip CNN. Dalam pandangan Evan Kohlmann, dari Flashpoint Global Partners, konsultan keamanan berbasis di New York, terorisme media sosial merupakan aspek dari terorisme cyber.
“Jaringan online lebih penting dibandingkan dengan status kewarganegaraan, suku atau etnis. Koneksi itu akan menjadi perekat yang mengikat jaringan terorisme,” tuturnya. Apa yang membuat media sosial begitu mudah disalahgunakan? Jaringan media sosial memberikan kesempatan bagi penggunanya untuk anonim atau menyembunyikan identitasnya.
Media sosial juga tidak mempermasalahkan dari mana dan di mana para penggunanya. Itulah yang membuat banyak pengguna media sosial dapat menyampaikan simpati dan berinteraksi secara langsung. “Di internet, tak ada seorang pun yang mengetahui siapa sebenarnya Anda,” paparnya.
Kutukan atau Anugerah?
Apakah media sosial menjadi sebuah kutukan atau anugerah bagi warga dunia? Menurut Pemimpin Redaksi Al Arabiya News, Faisal J Abbas, ekstremis merupakan kelompok pertama yang mengutuk teknologi. Kini mereka yang terbaik menggunakan teknologi.
“Mereka menggunakan nilai-nilai demokrasi pada media sosial untuk membuat tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Mereka menjadikan media sosial sebagai kutukan,” kata Abbas dalam diskusi di Abu Dhabi Media Summit beberapa waktu lalu. Lembaga intelijen negara-negara Barat, semisal CIA hingga MI6 saja, dianggap belum mampu mengatasi perang media sosial.
Seperti diungkapkan oleh Profesor Peter Neumann dari King’s College London. Neumann mengungkapkan, untuk memantau percakapan radikal di internet diperlukan sumber daya yang besar. “Badan intelijen belum mampu menjangkau sepenuhnya terorisme media sosial,” ungkapnya. Kepala British Government Communications Headquarters (GCHQ)–– lembaga intelijen Inggris––Robert Hannigan, menuding media sosial membantu kelompok teror melakukan aksinya.
Dia meminta perusahaan teknologi AS bekerja sama erat dengan lembaga intelijen untuk mencegah teroris menggunakan media sosial. “Bagaimanapun, mereka (perusahaan media sosial) tidak menyukai usulan itu. Padahal, media sosial menjadi ajang untuk membangun jaringan teroris,” tulisnya dalam kolom di Financial Times. Menanggapi hal tersebut Richard Allan, wakil presiden Facebookurusan kebijakan publik, mengungkapkan pentingnya skema global untuk mengampanyekan antiterorisme di dalam media massa.
Pasalnya, konten tentang terorisme di media sosial secara global sangatlah kecil. “Saya percaya mengenai privasi, tetapi ada pengecualian. Jika ada seseorang mengatakan ‘saya benci perdana menteri’, itu hak seseorang dan tidak alasan untuk mengintervensinya. Tetapi ketika mereka mengatakan, ‘kita telah bergabung dengan ISIS dan meledakkan bom pekan depan’, maka kita harus mengintervensi,” kata Allan.
Memang, diakui Allan, pesan terorisme seharusnya tidak memiliki tempat pada segala bentuk media sosial. “Facebook tidak pernah menciptakan revolusi. Perubahan politik terjadi karena status media sosial,” paparnya, dikutip Khaleej Times. Hampir semua aplikasi media sosial memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Mereka juga bekerja sama dengan pemerintah suatu negara untuk mengontrol.
Langkah itu bukan mengganggu privasi seseorang, hanya untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan.
Andika hendra m
(ars)