Ombudsman Kantongi Bukti Penyimpangan
A
A
A
JAKARTA - Ombudsman mengaku sudah memiliki alat bukti dugaan penyimpangan yang dilakukan tiga hakim agung pemutus peninjauan kembali (PK) sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Ombudsman menilai ketiga hakim agung, yakni M Saleh, Hamdan, dan Abdul Manan, diduga melakukan penyimpangan dengan menabrak aturan dan kode etik serta Undang-Undang (UU) Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
“Alat bukti tinggal sedikit lagi, tim kami yang handlingmasalah itu,” tandas Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana di Jakarta akhir pekan lalu. Menurut Danang, pelanggaran kode etik oleh para hakim tersebut baru pada tahap indikasi. “Yang bisa membuktikan dan memberikan sanksi itu KY (Komisi Yudisial),” tandasnya.
Selain itu, Ombudsman juga mensinyalir ada kedekatan antara pihak Siti Hardianti Rukmana atau Tutut dengan tiga hakim agung tersebut. Terlebih muncul desas-desus yang menyebut tiga hakim tersebut diduga terima suap. “Dan kita melihat ada masalah lain, ada ketetapan yang cukup tidak fair untuk seseorang menyidang dalam hal itu sehingga ada dugaan uang itu, tapi itu baru dugaan,” paparnya.
Danang juga melihat banyak kejanggalan atas penolakan PK kasus TPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama tersebut. Sebab kasus itu sedang dipersidangkan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). “Seharusnya tidak boleh. BANI itu memiliki kewenangan yang cukup kuat dan mereka sedang berproses. Jadi tidak boleh kasus yang sama diambil alih oleh lembaga peradilan mana pun,” paparnya.
Ombudsman, menurutnya, akan menindaklanjuti setiap aspek pelanggarannya. Menurut dia, tiga hakim yang mengadili perkara tersebut harus diberi teguran keras karena sistem pengadilan tidak boleh saling bersaing. “Kemudian BANI memutuskan sesuatu yang berbeda dari putusan pengadilan, ini yang menjadi masalah. Apalagi misalnya pengadilansedangberjalan di PTUN, tiba-tiba pengadilannegeri mengambilalih. Itu tidak boleh, dua sisi pengadilan dilakukan yang sama atau objek yang sama,” urainya.
Pengamat hukum Universitas Paramadina Herdi Sahrasad mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk segera melakukan investigasi atas putusan penolakan PK kasus TPI oleh hakim MA. “Harus cepat dilakukan agar rasa keadilan tercapai,” tandasnya. Menurut Herdi, rasa keadilan itu bersifat objektif, sedangkan kebenaran itu relatif. “Rasa keadilan itu bisa kita rasakan, misalnya kita diperlakukan tidak adil atau keputusan pengadilan tidak adil bagi satu pihak,” ujarnya.
Investigasi dan penilaian yang akan dilakukan KY, menurut Herdi, harus dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Jika dibiarkan berlarut-larut, implikasinya akan membiarkan satu kesalahan dan terjadi kesalahan-kesalahan berikutnya. “Pihak yang bersengketa harus mendapat titik temu atas kasusnya,” papar dia.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Arif Hidayat mensinyalir adanya suap pada kasus sengketa perdata kepemilikan saham TPI ini. “Ada sinyalemen itu karena tidak mungkin hakim agung tidak paham bahwa sengketa itu sudah didaftarkan ke BANI,” ungkap Arif.
Menurut dia, jika satu kasus sudah ditangani BANI, seharusnya tidak boleh diintervensi proses hukum mana pun dengan dalih apa pun. Dalam hukum perdata dan bisnis, lanjutnya, hal yang paling tinggi adalah kesepakatan. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pancasila Hukum dan Demokrasi (Puskaphdem) ini mengatakan, istilah lain yang sering digunakan adalah Pacta Sun Servanda.
“Jika nanti ada keputusan dari BANI atas sengketa ini, hal tersebut akan membatalkan keputusan di MA, pengadilan tinggi (PT) maupun pengadilan negeri (PN),” kata Arif. Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa menyatakan, Komisi III akan mengawal dan mempertanyakan kasus dugaan pelanggaran penanganan perkara PT Berkah Karya Bersama dengan Tutut terkait sengketa kepemilikan TPI. ”Iya (dikawal), ini salah satu yang akan dibahas dalam rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung (MA) di pertemuan mendatang,” ungkap Desmond.
Menurut Desmond, di pertemuan sebelumnya Komisi III juga sudah memanggil KY dan sempat disinggung mengenai persoalan ini. Apalagi, kasus tersebut juga sudah disampaikan ke Komisi III. Sementara itu, hakim agung M Saleh sampai saat ini masih enggan berkomentar terkait persoalan ini. Pun ketika berusaha ditemui di kediamannya, M Saleh juga tidak terlihat.
Nurul adriyana/ Danti daniel/ Sindonews
Ombudsman menilai ketiga hakim agung, yakni M Saleh, Hamdan, dan Abdul Manan, diduga melakukan penyimpangan dengan menabrak aturan dan kode etik serta Undang-Undang (UU) Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
“Alat bukti tinggal sedikit lagi, tim kami yang handlingmasalah itu,” tandas Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana di Jakarta akhir pekan lalu. Menurut Danang, pelanggaran kode etik oleh para hakim tersebut baru pada tahap indikasi. “Yang bisa membuktikan dan memberikan sanksi itu KY (Komisi Yudisial),” tandasnya.
Selain itu, Ombudsman juga mensinyalir ada kedekatan antara pihak Siti Hardianti Rukmana atau Tutut dengan tiga hakim agung tersebut. Terlebih muncul desas-desus yang menyebut tiga hakim tersebut diduga terima suap. “Dan kita melihat ada masalah lain, ada ketetapan yang cukup tidak fair untuk seseorang menyidang dalam hal itu sehingga ada dugaan uang itu, tapi itu baru dugaan,” paparnya.
Danang juga melihat banyak kejanggalan atas penolakan PK kasus TPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama tersebut. Sebab kasus itu sedang dipersidangkan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). “Seharusnya tidak boleh. BANI itu memiliki kewenangan yang cukup kuat dan mereka sedang berproses. Jadi tidak boleh kasus yang sama diambil alih oleh lembaga peradilan mana pun,” paparnya.
Ombudsman, menurutnya, akan menindaklanjuti setiap aspek pelanggarannya. Menurut dia, tiga hakim yang mengadili perkara tersebut harus diberi teguran keras karena sistem pengadilan tidak boleh saling bersaing. “Kemudian BANI memutuskan sesuatu yang berbeda dari putusan pengadilan, ini yang menjadi masalah. Apalagi misalnya pengadilansedangberjalan di PTUN, tiba-tiba pengadilannegeri mengambilalih. Itu tidak boleh, dua sisi pengadilan dilakukan yang sama atau objek yang sama,” urainya.
Pengamat hukum Universitas Paramadina Herdi Sahrasad mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk segera melakukan investigasi atas putusan penolakan PK kasus TPI oleh hakim MA. “Harus cepat dilakukan agar rasa keadilan tercapai,” tandasnya. Menurut Herdi, rasa keadilan itu bersifat objektif, sedangkan kebenaran itu relatif. “Rasa keadilan itu bisa kita rasakan, misalnya kita diperlakukan tidak adil atau keputusan pengadilan tidak adil bagi satu pihak,” ujarnya.
Investigasi dan penilaian yang akan dilakukan KY, menurut Herdi, harus dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Jika dibiarkan berlarut-larut, implikasinya akan membiarkan satu kesalahan dan terjadi kesalahan-kesalahan berikutnya. “Pihak yang bersengketa harus mendapat titik temu atas kasusnya,” papar dia.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Arif Hidayat mensinyalir adanya suap pada kasus sengketa perdata kepemilikan saham TPI ini. “Ada sinyalemen itu karena tidak mungkin hakim agung tidak paham bahwa sengketa itu sudah didaftarkan ke BANI,” ungkap Arif.
Menurut dia, jika satu kasus sudah ditangani BANI, seharusnya tidak boleh diintervensi proses hukum mana pun dengan dalih apa pun. Dalam hukum perdata dan bisnis, lanjutnya, hal yang paling tinggi adalah kesepakatan. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pancasila Hukum dan Demokrasi (Puskaphdem) ini mengatakan, istilah lain yang sering digunakan adalah Pacta Sun Servanda.
“Jika nanti ada keputusan dari BANI atas sengketa ini, hal tersebut akan membatalkan keputusan di MA, pengadilan tinggi (PT) maupun pengadilan negeri (PN),” kata Arif. Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa menyatakan, Komisi III akan mengawal dan mempertanyakan kasus dugaan pelanggaran penanganan perkara PT Berkah Karya Bersama dengan Tutut terkait sengketa kepemilikan TPI. ”Iya (dikawal), ini salah satu yang akan dibahas dalam rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung (MA) di pertemuan mendatang,” ungkap Desmond.
Menurut Desmond, di pertemuan sebelumnya Komisi III juga sudah memanggil KY dan sempat disinggung mengenai persoalan ini. Apalagi, kasus tersebut juga sudah disampaikan ke Komisi III. Sementara itu, hakim agung M Saleh sampai saat ini masih enggan berkomentar terkait persoalan ini. Pun ketika berusaha ditemui di kediamannya, M Saleh juga tidak terlihat.
Nurul adriyana/ Danti daniel/ Sindonews
(ars)