Jokowi Dinilai Mulai Tak Konsisten
A
A
A
JAKARTA - Kontroversi penunjukan kader Partai NasDem M Prasetyo sebagai jaksa agung terus bergulir. Apalagi dalam penunjukan tersebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak meminta pertimbangan KPK dan PPATK.
Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat mengatakan, ada inkonsistensi oleh Jokowi saat menunjuk jaksa agung. ”Harusnya hal yang sama juga dilakukan saat menentukan jaksa agung karena jaksa agung merupakan jabatan strategis dalam penegakan hukum. Bahkan jauh lebih penting dan strategis dari jabatan lain seperti menteri,” katanya di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut, anggota Dewan Pertimbangan Partai Gerindra itu menyatakan harusnya Jokowi konsisten meminta pertimbangan KPK dan PPATK supaya masyarakat yakin bahwa Jokowi ingin membuat kabinetnya bersih. ”Kok jabatan strategis tidak minta pertimbangan PPATK dan KPK.
Jadi ada inkonsistensi ketika meminta pertimbangan kedua lembaga tersebut, saat menentukan menteri dan jaksa agung,” katanya. Sementara itu, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR Sohibul Iman menilai langkah Jokowi telah mencederai sikapnya yang selama ini ingin agar pemerintahannya diisi kalangan profesional, bukan politisi.
”Seharusnya kekuasaan yudikatif secara prinsip itu terbebas dari orang poli-tik. Ini untuk jaksa agung yang cuma satu-satunya kok diambil dari orang partai. Ini mencederai visi awal Jokowi,” ujar Sohibul. Sohibul menjelaskan hadirnya orang politik di tubuh yudikatif berpotensi menghadirkan konflik kepentingan dalam penyelesaian kasus hukum.
Hal itu yang sangat berbahaya karena persoalan hukum sangat erat kaitannya dengan kesamaan hak dan kewajiban dan keadilan bagi seluruh masyarakat. ”Lah iya dong, pasti ada (konflik kepentingan),” jelasnya.
Mahasiswa Luar Negeri Kecewa
Langkah Jokowi menunjuk HM Prasetyo sebagai jaksa agung terus menuai kecaman. Kali ini suara keras datang dari Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Indonesia di Australia untuk Kebinekaan. ”Ini memalukan. Penunjukan politisi sebagai jaksa agung adalah langkah mundur dari komitmen Jokowi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi,” kata juru bicara koalisi perwakilan Sidney Bhatara Ibnu Reza dalam rilis kemarin.
Bhataramenambahkan, jaksa agung adalah penuntut umum tertinggi di Indonesia. Semestinya Kejaksaan Agung dipimpin sosok berintegritas tinggi, rekam jejak plus, serta berani mengambil langkah hukum demi menegakkan keadilan. Avi Mahaningtyas, wakil koalisi dari Canberra, menegaskan bahwa Kejaksaan Agung adalah satu dari tiga pilar utama penegakan hukum untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, bersih, dan bertanggung jawab.
Jika pilar ini kuat, rakyat bisa memastikan check and balances terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan agenda utama mereformasi lembaga Kejaksaan Agung sendiri dan memberantas KKN secara sistematis. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, proses pemilihan Jaksa Agung dilakukan melalui mekanisme clearence perangkat yang ada, yaitu Tim Penilai Akhir (TPA).
Andi mencontohkan pemilihan melalui mekanisme TPA itu antara lain seperti penunjukan Ketua SKK Migas dan Dirjen Migas. Rapat TPA dilakukan di kompleks Istana yang dipimpin Presiden, Wapres, dan menteri terkait yang ingin melakukan perubahan jajaran pejabat. Dalam laporan itu, Presiden bisa memita laporan tertulis dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan laporan tertutup dari instansi-instansi lain yang dibutuhkan.
Dian ramadhani/Sucipto/Rarasati syarief
Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat mengatakan, ada inkonsistensi oleh Jokowi saat menunjuk jaksa agung. ”Harusnya hal yang sama juga dilakukan saat menentukan jaksa agung karena jaksa agung merupakan jabatan strategis dalam penegakan hukum. Bahkan jauh lebih penting dan strategis dari jabatan lain seperti menteri,” katanya di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut, anggota Dewan Pertimbangan Partai Gerindra itu menyatakan harusnya Jokowi konsisten meminta pertimbangan KPK dan PPATK supaya masyarakat yakin bahwa Jokowi ingin membuat kabinetnya bersih. ”Kok jabatan strategis tidak minta pertimbangan PPATK dan KPK.
Jadi ada inkonsistensi ketika meminta pertimbangan kedua lembaga tersebut, saat menentukan menteri dan jaksa agung,” katanya. Sementara itu, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR Sohibul Iman menilai langkah Jokowi telah mencederai sikapnya yang selama ini ingin agar pemerintahannya diisi kalangan profesional, bukan politisi.
”Seharusnya kekuasaan yudikatif secara prinsip itu terbebas dari orang poli-tik. Ini untuk jaksa agung yang cuma satu-satunya kok diambil dari orang partai. Ini mencederai visi awal Jokowi,” ujar Sohibul. Sohibul menjelaskan hadirnya orang politik di tubuh yudikatif berpotensi menghadirkan konflik kepentingan dalam penyelesaian kasus hukum.
Hal itu yang sangat berbahaya karena persoalan hukum sangat erat kaitannya dengan kesamaan hak dan kewajiban dan keadilan bagi seluruh masyarakat. ”Lah iya dong, pasti ada (konflik kepentingan),” jelasnya.
Mahasiswa Luar Negeri Kecewa
Langkah Jokowi menunjuk HM Prasetyo sebagai jaksa agung terus menuai kecaman. Kali ini suara keras datang dari Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Indonesia di Australia untuk Kebinekaan. ”Ini memalukan. Penunjukan politisi sebagai jaksa agung adalah langkah mundur dari komitmen Jokowi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi,” kata juru bicara koalisi perwakilan Sidney Bhatara Ibnu Reza dalam rilis kemarin.
Bhataramenambahkan, jaksa agung adalah penuntut umum tertinggi di Indonesia. Semestinya Kejaksaan Agung dipimpin sosok berintegritas tinggi, rekam jejak plus, serta berani mengambil langkah hukum demi menegakkan keadilan. Avi Mahaningtyas, wakil koalisi dari Canberra, menegaskan bahwa Kejaksaan Agung adalah satu dari tiga pilar utama penegakan hukum untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, bersih, dan bertanggung jawab.
Jika pilar ini kuat, rakyat bisa memastikan check and balances terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan agenda utama mereformasi lembaga Kejaksaan Agung sendiri dan memberantas KKN secara sistematis. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, proses pemilihan Jaksa Agung dilakukan melalui mekanisme clearence perangkat yang ada, yaitu Tim Penilai Akhir (TPA).
Andi mencontohkan pemilihan melalui mekanisme TPA itu antara lain seperti penunjukan Ketua SKK Migas dan Dirjen Migas. Rapat TPA dilakukan di kompleks Istana yang dipimpin Presiden, Wapres, dan menteri terkait yang ingin melakukan perubahan jajaran pejabat. Dalam laporan itu, Presiden bisa memita laporan tertulis dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan laporan tertutup dari instansi-instansi lain yang dibutuhkan.
Dian ramadhani/Sucipto/Rarasati syarief
(bbg)