Menjawab Tantangan Dunia Kerja
A
A
A
Indonesia membutuhkan semakin banyak tenaga kerja terampil. Hal ini seiring dengan permintaan dunia kerja yang terus berlombalomba mengeluarkan produk baru yang lebih inovatif dan berdaya saing.
Demi menjawab tantangan tersebut, Indonesia dituntut melahirkan banyak SDM berkualitas, baik dari sisi kecerdasan intelektual, etos kerja yang mumpuni, maupun penguasaan teknologi. Namun, untuk menjawabnya tidak cukup dengan mengeluarkan kata-kata. Pemerintah perlu mengupayakannya secara sungguh-sungguh, seperti melalui penyelenggaraan pendidikan yang menekankan pada aspek pengetahuan dan keterampilan.
Meski selama ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mengaktualisasikannya melalui penerapan Kurikulum 2013 atau pada kurikulum lain sebelumnya, faktanya semuaitubelumcukupberhasil. Selama ini publik masih kerap menjumpai pelajar bertindak kekerasan, tawuran, dan terjerumus pada pergaulan bebas, sementara beberapa siswa yang sering kali berprestasi di bidang robotik, sains, atau lomba karya ilmiah lain berasal dari sekolah-sekolah bertarif mahal.
Sehingga untuk melahirkan SDMSDM yang berkualitas dan memiliki etos kerja bagus ibaratnya masih jauh panggang dari api. Menurut sejumlah pengamat pendidikan, hal ini disebabkan sekolah- sekolah belum banyak yang memfokuskan model pendidikannya dengan penguasaan ilmu sains, teknologi, teknik, dan matematika.
Dosen pengajar di Prasetiya Mulya Business School (PMBS) Andreas Budiharjo mengatakan, dalam beberapa hal, tenaga kerja Indonesia perlu mengejar dan meneladani semangat etos kerja kelompok produktif di China, Malaysia, dan Thailand. “Beberapa negara ini sukses melahirkan SDM-SDM yang punya ide bisnis inovatif karena sejak di sekolah, mereka sudah dibenihkan penguasaan teknologi dan keterampilan ilmuilmu teknik,” kata Andreas kepada KORAN SINDO pekan lalu.
Bahkan, dalam beberapa tahun ini, khusus untuk menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Vietnam dengan serius menggarap sektor pendidikan yang diorientasikan untuk mencetak banyak tenaga kerja terampil di bidang bisnis. “Pemerintah Vietnam saat ini terus berupaya mencetak tenaga kerja yang terampil. Bahkan para karyawan perusahaan yang mulanya tidak bisa berbahasa Inggris, mereka diberi beasiswa untuk mengikuti kuliah-kuliah khusus belajar bahasa Inggris,” jelas Andreas.
Pengamat pendidikan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) Choirul Mahfud Marshahid menjelaskan, modelpendidikan berbasiskan STEM (science, technology, engineering, dan math) penting untuk diterapkan sesegera mungkin. Selain relevan dengan kebutuhan siswa, penguasaan ilmu-ilmu ini kontekstual dengan kebutuhan dunia kerja di era kekinian dan masa yang akan datang.
Kini, korporasi-korporasi global merekrut tenaga kerja yang tidak hanya pandai berbahasa asing, tetapi juga punya etos kerja berkualitas dan punya kecerdasan khusus di bidang teknologi informasi. Menurut Mahfud, bahkan sejumlahperusahaanlokalpunmulaipilih- pilih tenaga kerja yang punya kualitas baik. “Karena itu, pendidikan menjadi kunci bagi kelahiran tenaga-tenaga kerja yang terampil dan berintelektual,” ucap penulisbukuberjudul PendidikanMultikultural (Pustaka Pelajar: 2006) tersebut.
Persoalannya, hingga saat ini masih banyak sekolah yang belum mampu menerapkan pembelajaran berbasiskan STEM tersebut. Selain keterbatasan dana dan infrastruktur, kemampuan pengajar juga masih banyak yang perlu dikoreksi. Jika mau berkata secara jujur, profesi guru di Indonesia masih banyak yang menjadikannya sekadar pekerjaan sampingan (side job).
Setelah lulusan perguruan tinggi tidak mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan, mereka lalu pasrah melamar ke sekolah-sekolah untuk menjadi guru dengan gaji yang tidak besar. Alhasil secara kompetensi mengajar pun, mereka sangat diragukan sehingga kemampuan siswa menyerap pelajaran menjadi tidak maksimal.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki tugas berat dengan tidak hanya berupaya mencetak kualitas siswa, tetapi juga memfasilitasi perbaikan daya saing para pendidik.
Nafi muthohirin
Demi menjawab tantangan tersebut, Indonesia dituntut melahirkan banyak SDM berkualitas, baik dari sisi kecerdasan intelektual, etos kerja yang mumpuni, maupun penguasaan teknologi. Namun, untuk menjawabnya tidak cukup dengan mengeluarkan kata-kata. Pemerintah perlu mengupayakannya secara sungguh-sungguh, seperti melalui penyelenggaraan pendidikan yang menekankan pada aspek pengetahuan dan keterampilan.
Meski selama ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mengaktualisasikannya melalui penerapan Kurikulum 2013 atau pada kurikulum lain sebelumnya, faktanya semuaitubelumcukupberhasil. Selama ini publik masih kerap menjumpai pelajar bertindak kekerasan, tawuran, dan terjerumus pada pergaulan bebas, sementara beberapa siswa yang sering kali berprestasi di bidang robotik, sains, atau lomba karya ilmiah lain berasal dari sekolah-sekolah bertarif mahal.
Sehingga untuk melahirkan SDMSDM yang berkualitas dan memiliki etos kerja bagus ibaratnya masih jauh panggang dari api. Menurut sejumlah pengamat pendidikan, hal ini disebabkan sekolah- sekolah belum banyak yang memfokuskan model pendidikannya dengan penguasaan ilmu sains, teknologi, teknik, dan matematika.
Dosen pengajar di Prasetiya Mulya Business School (PMBS) Andreas Budiharjo mengatakan, dalam beberapa hal, tenaga kerja Indonesia perlu mengejar dan meneladani semangat etos kerja kelompok produktif di China, Malaysia, dan Thailand. “Beberapa negara ini sukses melahirkan SDM-SDM yang punya ide bisnis inovatif karena sejak di sekolah, mereka sudah dibenihkan penguasaan teknologi dan keterampilan ilmuilmu teknik,” kata Andreas kepada KORAN SINDO pekan lalu.
Bahkan, dalam beberapa tahun ini, khusus untuk menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Vietnam dengan serius menggarap sektor pendidikan yang diorientasikan untuk mencetak banyak tenaga kerja terampil di bidang bisnis. “Pemerintah Vietnam saat ini terus berupaya mencetak tenaga kerja yang terampil. Bahkan para karyawan perusahaan yang mulanya tidak bisa berbahasa Inggris, mereka diberi beasiswa untuk mengikuti kuliah-kuliah khusus belajar bahasa Inggris,” jelas Andreas.
Pengamat pendidikan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) Choirul Mahfud Marshahid menjelaskan, modelpendidikan berbasiskan STEM (science, technology, engineering, dan math) penting untuk diterapkan sesegera mungkin. Selain relevan dengan kebutuhan siswa, penguasaan ilmu-ilmu ini kontekstual dengan kebutuhan dunia kerja di era kekinian dan masa yang akan datang.
Kini, korporasi-korporasi global merekrut tenaga kerja yang tidak hanya pandai berbahasa asing, tetapi juga punya etos kerja berkualitas dan punya kecerdasan khusus di bidang teknologi informasi. Menurut Mahfud, bahkan sejumlahperusahaanlokalpunmulaipilih- pilih tenaga kerja yang punya kualitas baik. “Karena itu, pendidikan menjadi kunci bagi kelahiran tenaga-tenaga kerja yang terampil dan berintelektual,” ucap penulisbukuberjudul PendidikanMultikultural (Pustaka Pelajar: 2006) tersebut.
Persoalannya, hingga saat ini masih banyak sekolah yang belum mampu menerapkan pembelajaran berbasiskan STEM tersebut. Selain keterbatasan dana dan infrastruktur, kemampuan pengajar juga masih banyak yang perlu dikoreksi. Jika mau berkata secara jujur, profesi guru di Indonesia masih banyak yang menjadikannya sekadar pekerjaan sampingan (side job).
Setelah lulusan perguruan tinggi tidak mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan, mereka lalu pasrah melamar ke sekolah-sekolah untuk menjadi guru dengan gaji yang tidak besar. Alhasil secara kompetensi mengajar pun, mereka sangat diragukan sehingga kemampuan siswa menyerap pelajaran menjadi tidak maksimal.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki tugas berat dengan tidak hanya berupaya mencetak kualitas siswa, tetapi juga memfasilitasi perbaikan daya saing para pendidik.
Nafi muthohirin
(ars)