Sebanyak 35,8 Juta Orang di Dunia Jadi Korban Perbudakan Modern
A
A
A
Praktik perbudakan seharusnya sudah tidak ada lagi di zaman modern seperti sekarang. Faktanya, hingga saat ini praktik perbudakan masih terus terjadi di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan tahunan kedua Indeks Perbudakan Global (GSI) 2014 yang dikeluarkan Yayasan Walk Free, lembaga berbasis di Australia, saat ini di seluruh dunia terdapat sekitar 35,8 juta manusia yang menjadi korban perbudakan modern. GSI menyebutkan ada sekitar 20% lebih manusia menjadi korban perbudakan modern. India mempunyai angka tertinggi dari praktik perbudakan modern.
“Ada asumsi yang menganggap bahwa perbudakan hanyalah isu dari zaman yang telah hilang. Ada pula anggapan bahwa perbudakan hanya ada pada negara-negara yang dilanda peperangan dan kemiskinan,” ungkap Ketua Yayasan Walk Free, seperti dilansir Al Jazeera.
Yayasan Walk Free mendefinisikan beberapa kegiatan yang masuk kategori perbudakan modern. Di antaranya kawin paksa, eksploitasi anak, perdagangan manusia, dan kerja paksa. Laporan yang dibuat dengan melibatkan kegiatan di 167 negara ini juga menyebutkan bahwa perbudakan modern ini berkontribusi terhadap produksi sedikitnya 122 macam barang dari 58 negara.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi keuntungan dari hasil kerja paksa di seluruh dunia ini mencapai USD150 miliar (sekitar Rp1.823.439.861.000.000) per tahun. ILO juga memperkirakan hampir 21 juta orang menjadi korban akibat kerja paksa. “Sekarang beberapa manusia terlahir dalam situasi perbudakan secara turun-temurun. Hal yang mengejutkan, tapi merupakan kenyataan pahit, khususnya di wilayah Afrika Barat dan Asia Selatan,” tulis laporan itu.
“Korban lainnya ditangkap atau diculik sebelum dijual atau disimpan untuk dieksploitasi dengan cara kawin paksa, kerja tanpa bayaran pada perahu nelayan, atau sebagai pekerja domestik. Yang lainnya ditipu dan terpikat ke dalam situasi yang membuat mereka tak dapat melarikan diri dengan janji palsu akan mendapatkan pekerjaan bagus atau mendapat pendidikan layak,” tulisnya.
Ada sepuluh negara yang memiliki angka perbudakan modern tinggi dan jumlahnya mencapai tiga per empat dari keseluruhan perbudakan di dunia. Negara-negara tersebut yakni India yang menempati peringkat teratas dengan 13,9 juta orang, diikuti China (2,9 juta), Pakistan (2,1 juta), Nigeria (701.000), Etiopia (651.000), Rusia (516.000), Thailand (473.000), Kongo (462.000), Myanmar (384.000), dan Bangladesh (343.000).
Sementara di Mauritania, perbudakan sudah menjadi hal umum. Artinya status budak diturunkan ke generasi berikutnya. Banyak majikan yang membeli, menjual, menyewa, atau memberikan budaknya sebagai hadiah. Situasi perbudakan juga lazim ditemukan di Haiti. Para orang tua yang miskin dianjurkan untuk menyerahkan anak-anak mereka kepada keluarga kaya raya.
Kebanyakan nasib mereka berakhir dengan eksploitasi dan disalahgunakan. Negara lain yang juga tercatat memiliki angka tinggi kasus perbudakan modern yakni Pakistan, Nepal, Moldova, Benin, Pantai Gading, Gambia, dan Gabon. Sementara Islandia mempunyai angka terendah yakni kurang dari 100 orang. CEO Walk Free Nick Grono mengatakan, indeks tahunan ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan para aktivis untuk memerangi praktik perbudakan.
ARVIN
Berdasarkan laporan tahunan kedua Indeks Perbudakan Global (GSI) 2014 yang dikeluarkan Yayasan Walk Free, lembaga berbasis di Australia, saat ini di seluruh dunia terdapat sekitar 35,8 juta manusia yang menjadi korban perbudakan modern. GSI menyebutkan ada sekitar 20% lebih manusia menjadi korban perbudakan modern. India mempunyai angka tertinggi dari praktik perbudakan modern.
“Ada asumsi yang menganggap bahwa perbudakan hanyalah isu dari zaman yang telah hilang. Ada pula anggapan bahwa perbudakan hanya ada pada negara-negara yang dilanda peperangan dan kemiskinan,” ungkap Ketua Yayasan Walk Free, seperti dilansir Al Jazeera.
Yayasan Walk Free mendefinisikan beberapa kegiatan yang masuk kategori perbudakan modern. Di antaranya kawin paksa, eksploitasi anak, perdagangan manusia, dan kerja paksa. Laporan yang dibuat dengan melibatkan kegiatan di 167 negara ini juga menyebutkan bahwa perbudakan modern ini berkontribusi terhadap produksi sedikitnya 122 macam barang dari 58 negara.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi keuntungan dari hasil kerja paksa di seluruh dunia ini mencapai USD150 miliar (sekitar Rp1.823.439.861.000.000) per tahun. ILO juga memperkirakan hampir 21 juta orang menjadi korban akibat kerja paksa. “Sekarang beberapa manusia terlahir dalam situasi perbudakan secara turun-temurun. Hal yang mengejutkan, tapi merupakan kenyataan pahit, khususnya di wilayah Afrika Barat dan Asia Selatan,” tulis laporan itu.
“Korban lainnya ditangkap atau diculik sebelum dijual atau disimpan untuk dieksploitasi dengan cara kawin paksa, kerja tanpa bayaran pada perahu nelayan, atau sebagai pekerja domestik. Yang lainnya ditipu dan terpikat ke dalam situasi yang membuat mereka tak dapat melarikan diri dengan janji palsu akan mendapatkan pekerjaan bagus atau mendapat pendidikan layak,” tulisnya.
Ada sepuluh negara yang memiliki angka perbudakan modern tinggi dan jumlahnya mencapai tiga per empat dari keseluruhan perbudakan di dunia. Negara-negara tersebut yakni India yang menempati peringkat teratas dengan 13,9 juta orang, diikuti China (2,9 juta), Pakistan (2,1 juta), Nigeria (701.000), Etiopia (651.000), Rusia (516.000), Thailand (473.000), Kongo (462.000), Myanmar (384.000), dan Bangladesh (343.000).
Sementara di Mauritania, perbudakan sudah menjadi hal umum. Artinya status budak diturunkan ke generasi berikutnya. Banyak majikan yang membeli, menjual, menyewa, atau memberikan budaknya sebagai hadiah. Situasi perbudakan juga lazim ditemukan di Haiti. Para orang tua yang miskin dianjurkan untuk menyerahkan anak-anak mereka kepada keluarga kaya raya.
Kebanyakan nasib mereka berakhir dengan eksploitasi dan disalahgunakan. Negara lain yang juga tercatat memiliki angka tinggi kasus perbudakan modern yakni Pakistan, Nepal, Moldova, Benin, Pantai Gading, Gambia, dan Gabon. Sementara Islandia mempunyai angka terendah yakni kurang dari 100 orang. CEO Walk Free Nick Grono mengatakan, indeks tahunan ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan para aktivis untuk memerangi praktik perbudakan.
ARVIN
(bbg)