KY Siap Lakukan Eksaminasi

Rabu, 19 November 2014 - 12:38 WIB
KY Siap Lakukan Eksaminasi
KY Siap Lakukan Eksaminasi
A A A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) siap melakukan eksaminasi atau pemeriksaan hasil putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) atas kasus sengketa TPI. Langkah eksaminasi itu diperlukan untuk mengungkap adanya dugaan pelanggaran hakim agung dalam membuat putusan yang kontroversial itu.

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrohman Syahuri menandaskan, eksaminasi yang dilakukan KY nantinya berfungsi untuk meninjau kembali sebuah putusan. “Oh (eksaminasi) sangat bisa. Eksaminasi ini (dilakukan) jika ada permintaan dari luar. Karena sebenarnya ada kewajiban KY secara anotasi mengkaji putusan hakim,” ujar Taufiq di Jakarta kemarin.

Menurut dia, secara harfiah, eksaminasi berbeda dengan anotasi. Tapi, secara substansi sama, yakni mengkaji ulang putusan hakim MA. Bahkan eksaminasi bisa dilakukan pihak di luar KY. “Kalau anotasi memang pekerjaan KY untuk menilai sebuah putusan. Itu (anotasi) kan tugas sehari-hari dari KY,” paparnya.

Adapun Komisioner KY Eman Suparman menyatakan, salinan putusan MA atas kasus sengketa TPI bisa menjadi pintu masuk KY untuk mengusut kasus ini. “Laporan dari pelapor dari PT Berkah (soal kejanggalan putusan MA) sudah diterima. Yang masih kurang adalah kelengkapan dokumen berupa salinan putusan (perkara TPI),” kata Eman.

Menurut dia, salinan putusan MA menjadi dokumen penting yang harus diserahkan pihak pelapor kepada KY. Melalui salinan itu, KY akan memulai mendalami putusan tersebut. Dia menjelaskan, salinan itu yang akan digunakan untuk menilai kembali hasil putusan atau anotasi KY dalam menelusuri ada atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik para hakim MA dalam memutus perkara tersebut.

“KY tidak bisa mengerjakan apa pun selama laporan dari pelapor belum lengkap. Nah kita butuh salinan putusan itu,” ujarnya. Mantan hakim agung Djoko Sarwoko mengaku belum membaca pertimbangan MA atas putusan PK TPI. Namun apabila ada pihak lain yang menggunakan jalur peradilan selain Badan Arbitrase Nasional Negara (BANI) harusnya berkeberatan disampaikan sejak pengadilan tingkat pertama.

Sebab tidak bisa dua lembaga memproses atau memeriksa perkara dalam waktu bersamaan. “Ya itu mestinya kan waktu diproses di MA atau di pengadilan, kan harusnya ada eksepsi atau keberatan atau perlawanan supaya dihentikan dulu karena sedang diproses. Tapi memang tidakbolehdua-duanya bersamaan memeriksa begitu. Nanti kan bisa kacau itu,” ungkap Djoko.

MA Dinilai Sembrono

Pertimbangan MA atas sengketa kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) dinilai sembrono karena tidak mempertimbangkan pihak lain yang terlibat dalam investment agreement. Dalam perjanjian tersebut ada klausul penyelesaian sengketa diserahkan kepada BANI.

Untuk diketahui, dalam pertimbangan majelis hakim MA yang diketuai M Saleh dengan dua hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan dikatakan perjanjian investment agreement terjadi antara penggugat dengan tergugat I dan turut tergugat I, sedangkan tergugat II dan turut tergugat lainnya tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut sehingga pengadilan negeri berwenang mengadili perkara tersebut.

Atas dasar itulah upaya hukum PK yang diajukan PT Berkah Karya Bersama ditolak. Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menerangkan majelis hakim MA seharusnya mempertimbangkan adanya klausul arbitrase terhadap tergugat I. Dengan begitu, dalam memproses perkaranya harus dipisahkan para pihaknya, tidak bisa disatukan.

“Harusnya memisahkan pihaknya, jadi pihak yang terikat perjanjian merasa kok malah ke pengadilan, itu dipertanyakan dan memunculkan sesuatu yang mencurigakan. Mestinya ya dikeluarkan dulu pihaknya yang telah terikat di BANI. Jadi orang menilai MA sembrono. Alasan adanya pihak lain yang tidak terikat itu jadi dalih MA tidak bersalah mengadili,” ungkap Asep.

Menurut dia, sangat aneh ketika BANI diabaikan karena sudah jelas apa yang dikeluarkan MA itu melanggar undangundang. Bahkan, di beberapa negara, BANI lebih kuat pengaruhnya daripada peng-adilan. Sebab dalam sengketa bisnis memang lebih diutamakan jalur arbitrase daripada pengadilan.

“Itu kan sistem harusnya dihormati. Banyak pertanyaan, jadinya kok begini menyelesaikannya serta-merta mengabaikan UU. Agak merusak sistem,” tandasnya. Langkah MA yang berkeputusan untuk menolak PK PT Berkah Karya Bersama jelas-jelas melanggar undang- undang (UU). “Jika merujuk pada UU, apa yang dilakukan MA melanggar,” ujarnya.

UU yang dimaksud adalah UU No 30 /1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. “Seharusnya pengadilan menolak perkara yang diajukan jika kasus itu sudah ditangani BANI,” katanya. Pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan jika ada pihak lain yang tidak terikat dalam penyelesaian di BANI, proses peradilan merupakan jalur yang adil untuk menyelesaikan sengketa.

Namun seharusnya para pihak diberi kesempatan yang sama untuk melakukan proses penyelesaian sengketa. Jika ada pihak yang berkeberatandenganpenyelesaian di pengadilan, sebaiknya keberatan tersebut dikemukakan saat perkara diperiksa di pengadilan negeri. “Jika keberatan ini tidak dikemukakan, sikap itu bernilai hukum yang menundukkan diri sukarela atas penyelesaian di pengadilan negeri itu,” papar Margarito.

Dia juga mengatakan bahwa eksaminasi tersebut bisa menjadi rujukan jika para hakim agung itu terbukti melakukan pelanggaran kode etik. “Kalau ditemukan pelanggaran etik, misalnya hakim agung bertemu dengan pihak beperkara atau menggunakan fasilitas dari pihak beperkara, eksaminasi itu menjadi acuan untuk memberikan sanksi etik kepada para hakim,” ujarnya.

Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan eksaminasi terkait dengan kasus sengketa kepemilikan saham TPI antara PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) tidak hanya dilakukan pada saat PK, tetapi juga di putusan-putusan sebelumnya.

“Bahkan dari putusan sebelumnya juga perlu dilakukan eksaminasi. Mengapa jika sudah ada kesepakatandiselesaikandiBANI tetap diputus?” ujar Abdul Fickar Hadjar. Dia mengatakan seharusnya pengadilan di tingkat mana pun tidak berhak memutus perkara yang sedang ditangani BANI.

Maka dari itu eksaminasi perlu dilakukan dari awal proses pengadilan sehingga sampai pada proses PK. “Putusan dari bawah harus di eksaminasi, di mana salahnya. Di tingkat apa pun harus diberhentikan,” ujarnya. Abdul mengatakan eksaminasi dilakukan untuk mengukur apakah sebuah putusan sudah memenuhi kaidah yang berlaku atau tidak.

Alat eksaminasi adalah aturan-aturan dari UU, peraturan menteri sampai hukum acara. “Kenapa mengambil putusan? Hakim dipanggil dan hakim bisa mengklarifikasi saat eksaminasi dilakukan,” katanya. Dalam hal ini KY setelah mendapatkan salinan putusan dapat langsung melakukan eksaminasi.

“Eksaminasi dilakukan KY mengikat. Mengawasi hakim-hakim. Kalau ditemukan kejanggalan hakimnya bisa dipanggil. KY bisa melibatkan PPATK untuk melihat rekening. Jika ada kejanggalan bisa dihubungkan,” urainya.

Nurul adriyana/dita angga/ sindonews/okezone
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6298 seconds (0.1#10.140)