Ideologi Trisakti Jokowi Dipertanyakan

Minggu, 16 November 2014 - 09:52 WIB
Ideologi Trisakti Jokowi Dipertanyakan
Ideologi Trisakti Jokowi Dipertanyakan
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan mempertanyakan ideologi Trisakti Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti digembargemborkan saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu.

Hal ini terkait dengan rencana kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam waktu dekat. Pertanyaan itu disampaikan politikus PDIP Effendi Simbolon dan pengamat minyak dan gas bumi Hendrajit.

Dalam pandangan mereka, langkah yang akan diambil Jokowi dengan menaikkan harga minyak merupakan bagian dari ideologi liberal. ”Presiden Jokowi mazhabnya aliran Trisakti, tapi membiarkan pemerintahannya beraliran liberal. Jadi ini kabinet Trisakti rasa liberal. Kami bisa rasakan itu dan di situlah dilematisnya,” ujar Effendi pada diskusi Polemik SINDO Trijaya Network di Warung Daun, Cikini, Jakarta kemarin.

Effendi berterus terang, PDIP berada pada posisi dilematis karena dari sisi teknis keekonomian dan realitas yang ada, kebijakan menaikkan harga BBM saat ini memang bisa dipahami. Pada posisi ini PDIP menilai memang perlu dilakukan realokasi subsidi BBM dari sisi konsumtif ke sisi produktif.

Tapi dari sisi ideologi, kata dia, timbul masalah karena soal BBM itu menyangkut kedaulatan sumber daya alam yang pengelolaannya tidak seharusnya diserahkan ke mekanisme pasar. ”Kami tidak bisa mengklaim bahwa ini pemerintahan PDIP. Ibarat kesebelasan sepak bola, penyerangnya mungkin dari blok sana, aliran liberal,” ujarnya.

Dia pun mengkritik solusi pemerintah yang dinilai pragmatis sehingga memilih mengatasi masalah pembengkakan subsidi BBM dengan cara menaikkan harga. Dalam pandangannya, seolah-olah kalau BBM tidak naik terjadi tsunami, kiamat, dan dunia akan gelap gulita. Padahal, lanjut Effendi, pemerintah seharusnya mengoreksi diri apakah pernah mengutak-atik fiskal atau mencoba menekan ongkos produksi.

”Pernahkah pembenahan secara serius? Empati pemerintah terhadap pengguna BBM hampir tidak ada, kita hanya diminta membeli dengan harga pasar,” ujarnya. Senada, Hendrajit menilai kenaikan harga BBM bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan roh kebijakan tersebut disebutnya sebagai bagian dari Washington Consensus yang mengusung ideologi neoliberalisme, bukan Trisakti ala Soekarno.

”Kenaikan harga BBM itu 90% lebih pada aspek politis dan 10% aspek migas. Ironisnya Jokowi hanya melihat migas sebagai aspek sektoral saja,” kata Hendrajit pada diskusi yang sama. Dia lantas mempertanyakan Jokowi yang tidak konsisten antara ucapan dan perbuatannya, sebab pada saat kampanye selalu mendengungkan isu prorakyat, tetapi pada saat jadi presiden kebijakan yang dipilih adalah menaikkan harga yang jelas propasar bebas.

Pendapat berbeda disampaikan mantan komisaris Pertamina Roes Aryawijaya. Menurutnya, harga BBM memang sebaiknya naik, sebab selama 10 tahun terakhir ada ketimpangan yang terjadi. Menurutnya, selama ini uang dibayarkan langsung ke Pertamina dan yang menerima manfaat adalah pelaku bisnis.

Dia menyebut sebanyak Rp150 triliun per tahun subsidi BBM dinikmati pelaku bisnis dan industri, sedangkan masyarakat kecil hanya kebagian Rp30 triliun. ”Apa ini mau terus dibiarkan?” ujarnya. Menurutnya, harga BBM tidak masalah naik, tapi sistem pengalihan subsidi harus diubah di mana sistemnya jangan subsidi harga, tapi realokasi subsidi itu langsung dibayarkan dengan menggunakan sistem perbankan. Untuk itu dia setuju dengan program Jokowi, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), sebagai kompensasi pengalihan subsidi BBM.

Masih Mengkaji

Pemerintah masih mengkaji rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dengan menelaah perkembangan harga minyak mentah dunia, inflasi, dan ketersediaan logistik. Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa pemerintah akan pula melihat inflasi dan melihat ketersediaan bahan bakar minyak di dalam negeri.

”Nanti kalau sudah sampai di Jakarta kita kan harus kalkulasi lagi karena kita harus mengerti harga minyak di dunia sudah turun kalkulasinya seperti apa,” kata Jokowi kepada wartawan di Brisbane, Australia, Jumat (14/11) malam. Direktur Energi Watch Ferdinan Hutahaen menilai pemerintah tidak pernah transparan kepada masyarakat mengenai hitung-hitungan harga minyak yang sebenarnya.

Ferdinan pun mendesak pemerintah menjelaskan kepada publik harga keekonomian yang sesungguhnya dari premium dan solar sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi ditetapkan. ”Berani tidak membuka ongkos produksi per liter BBM itu berapa sehingga kita tahu besaran subsidi yang sebenarnya. Kalau mau jujur, sampaikan berapa sih harga sebenarnya BBM per liter,” ujarnya.

Bakti m muni
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4591 seconds (0.1#10.140)