Sengketa TPI, MA Belum Bisa Beberkan Putusan
A
A
A
JAKARTA - Berbagai kalangan menyesalkan langkah Mahkamah Agung terkait putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto.
MA dinilai seharusnya menunggu putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BAN) dalam penanganan perkara ini.
Kendati sudah memutuskan perkara ini, MA belum bisa membeberkan pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini.
"Saat ini masih dalam proses administrasi, kita tunggu saja. Saya tidak menjelaskan apa yang jadi alasan dari putusan yang isinya menolak permohonan PK dari pemohon PK tersebut. Baru itu informasi yang dimiliki oleh humas MA," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (11/11/2014).
Dia pun meminta media untuk menunggu proses administrasi itu selesai. Jika proses tersebut telah selesai, kata dia, pertimbangan majelis hakim terkait PK kepemilikan TPI itu bisa dilihat di situs resmi MA.
"Bisa dilihat directory putusan, bahkan bisa di-download, apa yang menjadi pertimbangan majelis. Karena Humas tidak punya kewenangan kalau kita belum lihat langsung apa yang jadi pertimbangan majelis hakim perkara ini," tuturnya.
Dia membenarkan putusan MA yang menolak PK PT Berkah Karya Bersama atas kepemilikan TPI.
"Jadi memang benar perkara nomor 238 PK/PDT/2014 di dalam informasi perkara MA pada situs kepaniteraan MA itu sudah memuat putusan atas nama pemohon PT Berkah Karya Bersama dengan termohon Siti Hardiyanti Rukmana dan kawan-kawan, yang amar putusannya, singkatnya adalah menolak permohonan PK dari pemohon PK yaitu PT. Berkah Karya Bersama dan menghukum pemohon PK untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2,5 juta," katanya.
Dia menuturkan, putusan tersebut dijatuhkan pada tanggal 29 Oktober 2014.
Sementara itu, berbagai kalangan menilai seharusnya MA menunggu putusan BANI dalam menangani perkara ini. Sebab kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan persoalan ini melalui arbitrase.
"MA tidak boleh memeriksa perkara yang ditangani BANI," tegas Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin, Senin 10 November 2014.
Pakar hukum arbitrase, Humphrey Djemat menilai MA telah melanggar hukum arbitrase dalam perkara ini.
Humphrey menyayangkan adanya putusan tersebut. Seharusnya, jika ada perkara yang sedang ditangani Badan Arbitrase BANI ditolak pengadilan sejak awal.
"Pengadilan harus menolak, arbitrase yang harus memutuskan," ujarnya Humprey, Senin 10 November 2014.
MA dinilai seharusnya menunggu putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BAN) dalam penanganan perkara ini.
Kendati sudah memutuskan perkara ini, MA belum bisa membeberkan pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini.
"Saat ini masih dalam proses administrasi, kita tunggu saja. Saya tidak menjelaskan apa yang jadi alasan dari putusan yang isinya menolak permohonan PK dari pemohon PK tersebut. Baru itu informasi yang dimiliki oleh humas MA," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (11/11/2014).
Dia pun meminta media untuk menunggu proses administrasi itu selesai. Jika proses tersebut telah selesai, kata dia, pertimbangan majelis hakim terkait PK kepemilikan TPI itu bisa dilihat di situs resmi MA.
"Bisa dilihat directory putusan, bahkan bisa di-download, apa yang menjadi pertimbangan majelis. Karena Humas tidak punya kewenangan kalau kita belum lihat langsung apa yang jadi pertimbangan majelis hakim perkara ini," tuturnya.
Dia membenarkan putusan MA yang menolak PK PT Berkah Karya Bersama atas kepemilikan TPI.
"Jadi memang benar perkara nomor 238 PK/PDT/2014 di dalam informasi perkara MA pada situs kepaniteraan MA itu sudah memuat putusan atas nama pemohon PT Berkah Karya Bersama dengan termohon Siti Hardiyanti Rukmana dan kawan-kawan, yang amar putusannya, singkatnya adalah menolak permohonan PK dari pemohon PK yaitu PT. Berkah Karya Bersama dan menghukum pemohon PK untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2,5 juta," katanya.
Dia menuturkan, putusan tersebut dijatuhkan pada tanggal 29 Oktober 2014.
Sementara itu, berbagai kalangan menilai seharusnya MA menunggu putusan BANI dalam menangani perkara ini. Sebab kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan persoalan ini melalui arbitrase.
"MA tidak boleh memeriksa perkara yang ditangani BANI," tegas Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin, Senin 10 November 2014.
Pakar hukum arbitrase, Humphrey Djemat menilai MA telah melanggar hukum arbitrase dalam perkara ini.
Humphrey menyayangkan adanya putusan tersebut. Seharusnya, jika ada perkara yang sedang ditangani Badan Arbitrase BANI ditolak pengadilan sejak awal.
"Pengadilan harus menolak, arbitrase yang harus memutuskan," ujarnya Humprey, Senin 10 November 2014.
(dam)