Manusia Pasca-Foto Bersama
A
A
A
Acara yang bersifat komunal, baik resmi atau tak resmi, saat ini tak bisa meninggalkan diri dari ritual foto bersama; sekelompok orang berjejer untuk foto bersama.
Dengan pose ”resmi” maupun ”selfie ”. Ketika suatu acara dihadiri oleh ”tokoh penting”, berfoto dengan sang tokoh menjadi ritus yang sulit ditinggalkan. Perkembangan teknologi, yang berhasil memadukan telepon dan kamera, membuat orang bisa mudah memotret, semudah orang meludah.
Dalam sebuah acara, pemotret dari seksi dokumentasi sering dimintai tolong beberapa orang untuk memotret dengan beberapa gadget . Foto disimpan secara pribadi atau diunggah ke akun jejaring sosial, sebagai lanjutan dari efek generasi me me me . Foto bersama para tokoh adalah penanda bahwa audiens pernah bertemu dengan tokoh tertentu, menghadiri acara, dan foto itu menjadi bukti sahih.
Foto bersama dengan demikian menjadi semacam foto berita. Roland Barthes menyebut bahwa foto tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memerlukan judul, penjelasan, dan komentar. Media sosial membuka diri seluas-luasnya bagi ”umatnya” untuk memberikan judul, penjelasan, dan komentar.
Tokoh dikenal
Seorang tokoh, utamanya, ditemui lewat pikiran. Dia dikenal publik karena memiliki buku, karya, dan jabatan tertentu. Di sini terjadi ketegangan: apakah tujuan sebuah seminar atau acara lain diadakan? Apakah seminar adalah ikhtiar manusia mengolah potensinya demi hidup yang lebih baik?
Para peserta, mungkin kebanyakan hanya ingin bertemu sang tokoh, yang sebelumnya cuma dilihat fotonya di media massa. Lalu peserta mengajak berfoto dengan back ground spanduk yang menjelaskan identitas acara tertentu. Begitulah, fotografi memenuhi hasrat manusia untuk tampil narsistik dan selfis .
Seseorang bertemu tokoh, cuma mengandaikan pertemuan fisik. Semakin banyak bertemu tokoh penting, kemudian mengabadikan dalam foto, semakin merasa penting dan banyak kenalan. Maka sangat dimaklumi ketika ada orang yang mengoleksi foto bersama tokoh penting.
Tetapi apa yang terjadi setelah momen foto bersama itu dilakukan? Masyarakat yang berpikiran sehat, sangat berharap bahwa setelah bertemu tokoh penting dalam sebuah acara dan terjadi diskusi, akan ada suatu gerakan dan perubahan baru sebagai manifestasi pikiran tokoh penting itu. Sang tokoh memberi inspirasi bagi khalayak, untuk bertindak serupa atau melampaui tindakan sang tokoh itu.
Gagasan tokoh
Wajah para tokoh publik bukan semata wajah seperti orang kebanyakan. Padanya melekat pelbagai identitas; jabatan, karya, gagasan, pemikiran. Emanuel Levinas menyebut wajah menyimpan epifani, manifestasi atas esensi atau makna realitas tertentu (Tjaya, 2011). Wajah menyimpan makna tertentu, bukan semata wadag (fisik). Orang bisa menghadirkan orang lain melalui foto, tetapi tak bisa sepenuhnya menghadirkan orang lain melalui gagasan.
Dengan gagasan, manusia mengeksplorasi potensi individu dan sosialnya, seraya menarasikan ide yang terus begejolak di otaknya. Tidak banyak orang yang bisa menangkap gagasan utuh dari seseorang. Untuk apa sebetulnya sebuah penyelenggara acara mengundang tokoh tertentu? Jangan- jangan, sebuah acara diadakan, misi utamanya adalah berhasil mendatangkan pembicara utama, lantas diabadikan ke dalam foto, dan menjadi laporan pertanggungjawaban yang penuh prestise .
Gagasan sang tokoh berhenti seketika saat dia mengakhiri materi yang disampaikan. ”Manusia fisik” dan ”manusia gagasan” ini adalah keping sisi mata uang manusia. Mengabadikan ”manusia fisik” cukup dengan kamera, mengumpulkannya dalam sebuah album atau folder di komputer.
Mengabadikan ”manusia gagasan” dengan membaca pemikirannya, lewat buku dan karya-karyanya, serta berdiskusi secara intensif. Tinggal Anda memilih cara yang mana untuk menemui manusia. ●
Junaidi Abdul Munif
Direktur el-Wahid Center, Semarang
Dengan pose ”resmi” maupun ”selfie ”. Ketika suatu acara dihadiri oleh ”tokoh penting”, berfoto dengan sang tokoh menjadi ritus yang sulit ditinggalkan. Perkembangan teknologi, yang berhasil memadukan telepon dan kamera, membuat orang bisa mudah memotret, semudah orang meludah.
Dalam sebuah acara, pemotret dari seksi dokumentasi sering dimintai tolong beberapa orang untuk memotret dengan beberapa gadget . Foto disimpan secara pribadi atau diunggah ke akun jejaring sosial, sebagai lanjutan dari efek generasi me me me . Foto bersama para tokoh adalah penanda bahwa audiens pernah bertemu dengan tokoh tertentu, menghadiri acara, dan foto itu menjadi bukti sahih.
Foto bersama dengan demikian menjadi semacam foto berita. Roland Barthes menyebut bahwa foto tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memerlukan judul, penjelasan, dan komentar. Media sosial membuka diri seluas-luasnya bagi ”umatnya” untuk memberikan judul, penjelasan, dan komentar.
Tokoh dikenal
Seorang tokoh, utamanya, ditemui lewat pikiran. Dia dikenal publik karena memiliki buku, karya, dan jabatan tertentu. Di sini terjadi ketegangan: apakah tujuan sebuah seminar atau acara lain diadakan? Apakah seminar adalah ikhtiar manusia mengolah potensinya demi hidup yang lebih baik?
Para peserta, mungkin kebanyakan hanya ingin bertemu sang tokoh, yang sebelumnya cuma dilihat fotonya di media massa. Lalu peserta mengajak berfoto dengan back ground spanduk yang menjelaskan identitas acara tertentu. Begitulah, fotografi memenuhi hasrat manusia untuk tampil narsistik dan selfis .
Seseorang bertemu tokoh, cuma mengandaikan pertemuan fisik. Semakin banyak bertemu tokoh penting, kemudian mengabadikan dalam foto, semakin merasa penting dan banyak kenalan. Maka sangat dimaklumi ketika ada orang yang mengoleksi foto bersama tokoh penting.
Tetapi apa yang terjadi setelah momen foto bersama itu dilakukan? Masyarakat yang berpikiran sehat, sangat berharap bahwa setelah bertemu tokoh penting dalam sebuah acara dan terjadi diskusi, akan ada suatu gerakan dan perubahan baru sebagai manifestasi pikiran tokoh penting itu. Sang tokoh memberi inspirasi bagi khalayak, untuk bertindak serupa atau melampaui tindakan sang tokoh itu.
Gagasan tokoh
Wajah para tokoh publik bukan semata wajah seperti orang kebanyakan. Padanya melekat pelbagai identitas; jabatan, karya, gagasan, pemikiran. Emanuel Levinas menyebut wajah menyimpan epifani, manifestasi atas esensi atau makna realitas tertentu (Tjaya, 2011). Wajah menyimpan makna tertentu, bukan semata wadag (fisik). Orang bisa menghadirkan orang lain melalui foto, tetapi tak bisa sepenuhnya menghadirkan orang lain melalui gagasan.
Dengan gagasan, manusia mengeksplorasi potensi individu dan sosialnya, seraya menarasikan ide yang terus begejolak di otaknya. Tidak banyak orang yang bisa menangkap gagasan utuh dari seseorang. Untuk apa sebetulnya sebuah penyelenggara acara mengundang tokoh tertentu? Jangan- jangan, sebuah acara diadakan, misi utamanya adalah berhasil mendatangkan pembicara utama, lantas diabadikan ke dalam foto, dan menjadi laporan pertanggungjawaban yang penuh prestise .
Gagasan sang tokoh berhenti seketika saat dia mengakhiri materi yang disampaikan. ”Manusia fisik” dan ”manusia gagasan” ini adalah keping sisi mata uang manusia. Mengabadikan ”manusia fisik” cukup dengan kamera, mengumpulkannya dalam sebuah album atau folder di komputer.
Mengabadikan ”manusia gagasan” dengan membaca pemikirannya, lewat buku dan karya-karyanya, serta berdiskusi secara intensif. Tinggal Anda memilih cara yang mana untuk menemui manusia. ●
Junaidi Abdul Munif
Direktur el-Wahid Center, Semarang
(ars)