Merangsang Masyarakat Peduli Lingkungan
A
A
A
Bukan perkara mudah mengubah perilaku masyarakat untuk peduli pada lingkungan. Tapi menjadi lain ketika ajakan tersebut dibarengi dengan usaha peningkatan kesejahteraan.
Lingkungan bisa terjaga dengan baik sekaligus bisa menambah pendapatan masyarakat. Hal itulah yang ditawarkan dua dari 10 kandidat peraih penghargaan MNCTV Pahlawan untuk Indonesia 2014, yakni Untung Sutrisno (Bondowoso, Jawa Timur) dan Ziaul Haq Nawawi (Sulawesi Selatan). Keduanya menawarkan gerakan memadukan pelestarian lingkungan dengan pemberdayaan ekonomi.
Artinya, kepedulian lingkungan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang. Untung mampu menggerakkan masyarakat melakukan penanaman di sejumlah hutan gundul di Bondowoso. Keprihatinan Untung pada masalah lingkungan muncul ketika pada 2005 Bondowoso dilanda banjir bandang. Kala itu Untung masih berstatus sebagai PNS. Dia rela sepertiga gajinya dipergunakan untuk membeli bibit yang dibagikan kepada masyarakat.
Bukan hanya itu, dia juga menjual tujuh ekor sapi untuk membeli beberapa hektare tanah, bibit tanaman, dan mobil jenis pikap yang dipergunakan mengangkut bibit. Sebagian bibit dia tanam di tanah miliknya dan sisanya dibagikan kepada masyarakat. Untung mengaku awalnya sulit mendapatkan bibit dan terpaksa membeli.
Namun jumlahnya sangat minim. Lambat laun dia mendapatkan bantuan bibit dari Perhutani dan sejumlah lembaga lain meski jumlahnya tetap belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hutan yang harus ditanami. Saat ini sudah ada 23 kecamatan di Bondowoso yang mendapatkan pendampingan penanaman hutan dari Untung dan teman-temannya. Saat melakukan penanaman kembali, Untung bekerja sama dengan Lembaga Desa Hutan (LDH).
Pohon yang ditanam beragam seperti sengon, jabon. Sengon dan jabon bisa dipanen dalam waktu lima tahun dan hasilnya bisa dinikmati masyarakat. “Awalnya banyak masyarakat yang enggan menanam, tetapi setelah terbukti bisa meningkatkan perekonomian, mereka berebut untuk menanam pohon. Jika saya menyerahkan bibit kepada masyarakat langsung habis diambil sebelum saya sampai di rumah. Saya bekerja dengan masyarakat setempat untuk memastikan bahwa bibit benar-benar ditanam,” tutur pria kelahiran 1 September 1952 tersebut kepada KORAN SINDO (4/10).
Saat ini, jumlah lahan kritis di Bondowoso jauh berkurang. Dari sekitar 53.000 hektare pada 2005, saat ini mungkin hanya berkisar 12.000 hektare. Untung juga bekerja sama dengan kalangan pesantren untuk penanaman bibit. Dia memastikan bahwa penanaman bibit pohon sangat efektif untuk peningkatan ekonomi. Saat ini bahkan ada orang yang tertarik untuk berinvestasi menanam pohon.
Dalam hitung-hitungan Untung, untuk 1 hektare tanah bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp250 juta dalam waktu lima tahun atau sekitar Rp350 juta dalam tujuh tahun. Biaya sewa tanah hingga perawatan selama tujuh tahun hanya berkisar Rp50 juta. Tidak aneh jika saat ini banyak masyarakat yang bersemangat menghijaukan kembali lahan kosong. Kisah pemberdayaan juga diperlihatkan Ziaul Haq yang biasa disapa dengan panggilan Cawi.
Alumnus Universitas Hasanuddin Makassar angkatan 1998 ini tidak hanya melakukan pemberdayaan di sejumlah daerah di Sulawesi, tetapi juga Papua, Sumatera, dan beberapa waktu lalu bersama masyarakat di Kepulauan Seribu Jakarta. Awalnya Cawi adalah aktivis lingkungan. Dia memberikan perhatian besar pada masalah ekologi.
Untuk menjaga lingkungan dia mengaku tidak bisa hanya meminta masyarakat menghentikan kegiatan yang merusak lingkungan, tetapi juga perlu pemberdayaan ekonomi sebagai rangsangan. Pada setiap daerah yang dikunjungi, Cawi mencari potensi yang bisa dikembangkan. Lalu dia melatih masyarakat mengolah hasil alam yang ada menjadi barang yang mempunyai nilai tambah.
Tidak mengherankan, komoditas yang dikembangkan Cawi beragam mulai dari ikan, jambu mete, nanas hingga sukun dan lainnya. Produk yang dihasilkan beragam mulai dari keripik, selai sampai abon. Cawi mengontrol semua kualitas produk. Di sejumlah daerah dia bekerja sama dengan berbagai pihak untuk pemasaran. Kini dia banyak mendapat permintaan. Padahal dia tak memiliki gerai.
“Saya dulu sering demonstrasi saat kuliah. Tapi saya pikir demonstrasi tidak bisa menyelesaikan akar permasalahan di masyarakat. Akhirnya saya banting setir masuk ke desa-desa. Saya ingin ibu-ibu yang banyak memiliki waktu luang berlatih keterampilan dan meningkatkan kapasitas serta menghasilkan produk untuk menambah perekonomian mereka,” ujar Cawi kepada KORAN SINDO (4/10).
Saat kuliah Cawi tergabung dalam Forum Kajian Pesisir yang beranggotakan mahasiswa dari berbagai jurusan. Setelah lulus pada 2003, dia semakin aktif melakukan pemberdayaan dan membuat lembaga sendiri. “Kalau kita mau jujur, yang punya warga itu adalah desa dan kelurahan. Kecamatan dan kabupaten tidak mempunyai warga. Kalau kita ingin membuat perubahan, masuklah ke desa,” urai Cawi.
Apa yang dilakukan Untung dan Cawi adalah satu bukti bahwa paradigma masyarakat yang semula tak peduli pada lingkungan bisa diubah dengan rangsangan peningkatan kesejahteraan.
Islahuddin
Lingkungan bisa terjaga dengan baik sekaligus bisa menambah pendapatan masyarakat. Hal itulah yang ditawarkan dua dari 10 kandidat peraih penghargaan MNCTV Pahlawan untuk Indonesia 2014, yakni Untung Sutrisno (Bondowoso, Jawa Timur) dan Ziaul Haq Nawawi (Sulawesi Selatan). Keduanya menawarkan gerakan memadukan pelestarian lingkungan dengan pemberdayaan ekonomi.
Artinya, kepedulian lingkungan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang. Untung mampu menggerakkan masyarakat melakukan penanaman di sejumlah hutan gundul di Bondowoso. Keprihatinan Untung pada masalah lingkungan muncul ketika pada 2005 Bondowoso dilanda banjir bandang. Kala itu Untung masih berstatus sebagai PNS. Dia rela sepertiga gajinya dipergunakan untuk membeli bibit yang dibagikan kepada masyarakat.
Bukan hanya itu, dia juga menjual tujuh ekor sapi untuk membeli beberapa hektare tanah, bibit tanaman, dan mobil jenis pikap yang dipergunakan mengangkut bibit. Sebagian bibit dia tanam di tanah miliknya dan sisanya dibagikan kepada masyarakat. Untung mengaku awalnya sulit mendapatkan bibit dan terpaksa membeli.
Namun jumlahnya sangat minim. Lambat laun dia mendapatkan bantuan bibit dari Perhutani dan sejumlah lembaga lain meski jumlahnya tetap belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hutan yang harus ditanami. Saat ini sudah ada 23 kecamatan di Bondowoso yang mendapatkan pendampingan penanaman hutan dari Untung dan teman-temannya. Saat melakukan penanaman kembali, Untung bekerja sama dengan Lembaga Desa Hutan (LDH).
Pohon yang ditanam beragam seperti sengon, jabon. Sengon dan jabon bisa dipanen dalam waktu lima tahun dan hasilnya bisa dinikmati masyarakat. “Awalnya banyak masyarakat yang enggan menanam, tetapi setelah terbukti bisa meningkatkan perekonomian, mereka berebut untuk menanam pohon. Jika saya menyerahkan bibit kepada masyarakat langsung habis diambil sebelum saya sampai di rumah. Saya bekerja dengan masyarakat setempat untuk memastikan bahwa bibit benar-benar ditanam,” tutur pria kelahiran 1 September 1952 tersebut kepada KORAN SINDO (4/10).
Saat ini, jumlah lahan kritis di Bondowoso jauh berkurang. Dari sekitar 53.000 hektare pada 2005, saat ini mungkin hanya berkisar 12.000 hektare. Untung juga bekerja sama dengan kalangan pesantren untuk penanaman bibit. Dia memastikan bahwa penanaman bibit pohon sangat efektif untuk peningkatan ekonomi. Saat ini bahkan ada orang yang tertarik untuk berinvestasi menanam pohon.
Dalam hitung-hitungan Untung, untuk 1 hektare tanah bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp250 juta dalam waktu lima tahun atau sekitar Rp350 juta dalam tujuh tahun. Biaya sewa tanah hingga perawatan selama tujuh tahun hanya berkisar Rp50 juta. Tidak aneh jika saat ini banyak masyarakat yang bersemangat menghijaukan kembali lahan kosong. Kisah pemberdayaan juga diperlihatkan Ziaul Haq yang biasa disapa dengan panggilan Cawi.
Alumnus Universitas Hasanuddin Makassar angkatan 1998 ini tidak hanya melakukan pemberdayaan di sejumlah daerah di Sulawesi, tetapi juga Papua, Sumatera, dan beberapa waktu lalu bersama masyarakat di Kepulauan Seribu Jakarta. Awalnya Cawi adalah aktivis lingkungan. Dia memberikan perhatian besar pada masalah ekologi.
Untuk menjaga lingkungan dia mengaku tidak bisa hanya meminta masyarakat menghentikan kegiatan yang merusak lingkungan, tetapi juga perlu pemberdayaan ekonomi sebagai rangsangan. Pada setiap daerah yang dikunjungi, Cawi mencari potensi yang bisa dikembangkan. Lalu dia melatih masyarakat mengolah hasil alam yang ada menjadi barang yang mempunyai nilai tambah.
Tidak mengherankan, komoditas yang dikembangkan Cawi beragam mulai dari ikan, jambu mete, nanas hingga sukun dan lainnya. Produk yang dihasilkan beragam mulai dari keripik, selai sampai abon. Cawi mengontrol semua kualitas produk. Di sejumlah daerah dia bekerja sama dengan berbagai pihak untuk pemasaran. Kini dia banyak mendapat permintaan. Padahal dia tak memiliki gerai.
“Saya dulu sering demonstrasi saat kuliah. Tapi saya pikir demonstrasi tidak bisa menyelesaikan akar permasalahan di masyarakat. Akhirnya saya banting setir masuk ke desa-desa. Saya ingin ibu-ibu yang banyak memiliki waktu luang berlatih keterampilan dan meningkatkan kapasitas serta menghasilkan produk untuk menambah perekonomian mereka,” ujar Cawi kepada KORAN SINDO (4/10).
Saat kuliah Cawi tergabung dalam Forum Kajian Pesisir yang beranggotakan mahasiswa dari berbagai jurusan. Setelah lulus pada 2003, dia semakin aktif melakukan pemberdayaan dan membuat lembaga sendiri. “Kalau kita mau jujur, yang punya warga itu adalah desa dan kelurahan. Kecamatan dan kabupaten tidak mempunyai warga. Kalau kita ingin membuat perubahan, masuklah ke desa,” urai Cawi.
Apa yang dilakukan Untung dan Cawi adalah satu bukti bahwa paradigma masyarakat yang semula tak peduli pada lingkungan bisa diubah dengan rangsangan peningkatan kesejahteraan.
Islahuddin
(ars)