Keabsahan Pelantikan Ahok di DPRD-Mendagri
A
A
A
JAKARTA - Bola panas pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta definitif terus menggelinding. Setelah DPRD DKI Jakarta meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA), kemarin institusi tersebut menyerahkan status hukum pelantikan Ahok kepada DPRD dan menteri dalam negeri (mendagri).
”MA bukan satu-satunya lembaga yang memutuskan statusnya Ahok. Masih ada DPRD dan mendagri sesuai kewenangannya masing-masing,” ucap Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di Jakarta kemarin. Hingga saat ini pimpinan MA belum mengeluarkan pendapatnya atas fatwa yang dimintakan DPRD DKI. Bukan hal mudah mengeluarkan fatwa atas permasalahan yang sedang terjadi sehingga MA membutuhkan waktu untuk memberikan jawaban.
Namun, yang pasti permohonan fatwa atas status hukum pelantikan Ahok sedang dibahas pimpinan MA. ”Fatwa MA sebataspandanganterhadap sebuah permasalahan, bukan terkait legalitas hukum untuk dijadikan pedoman,” katanya. Jika MA mengeluarkan fatwa setelah pelantikan gubernur, pelantikan tersebut tetap sah dan tidak terpengaruh oleh fatwa.
”Intinya fatwa ini juga tidak akan mengubah status hukum pelantikan Ahok atau tidak bergantung fatwa MA,” kata Ridwan. DPRD DKI melayangkan surat ke MA untuk berkonsultasi atas ketentuan UU yang akan digunakan melantik Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Dalam pembahasan pengangkatan Ahok ada tiga peraturan perundang-undangan yang dipersoalkan.
Ketiganya yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pasal 173 menyatakan, jika gubernur berhalangan tetap, wakilnya tak serta-merta menggantikan.
Sedangkan Pasal 174 ayat 4 dalam perppu itu juga disebutkan pemilihan gubernur pengganti akan dilakukan melalui DPRD jika masa jabatannya masih di atas 18 bulan. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik mengatakan masih bersikukuh dengan menunggu keputusan resmi dari MA terkait pelantikan Ahok sebagai gubernur definitif. Menurutnya, rekomendasi dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri tidak dapat dijadikan patokan utama karena DKI Jakarta menggunakan UU No 29 Tahun 2007.
Dalam UU itu jelas dinyatakan pasangan kepala daerah yang terpilih harus mendapatkan suara di pilkada langsung 50% tambah satu. ”Saya perlu lihat surat resmi dari MA. Rekomendasi dari Ditjen Otda tidak mutlak,” ucapnya. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dody Riyatmadi menuturkan bahwa pihaknya telah mengirim rekomendasi ke DPRD.
Kemudian Ahok sudah bertemu Mendagri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi tentang mekanisme pengangkatannya menjadi gubernur definitif. ”Kini tinggal dari DPRD untuk mengagendakan pelantikan Ahok,” ucapnya. Bila tidak juga diagendakan, pelantikan dapat diambil alih oleh Presiden melalui mendagri. ”Kita tidak memberikan tenggat waktu untuk pelantikan Ahok. Semua sudah jelas dalam UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” ujar Dody.
Nurul adriyana/Ilham safutra
”MA bukan satu-satunya lembaga yang memutuskan statusnya Ahok. Masih ada DPRD dan mendagri sesuai kewenangannya masing-masing,” ucap Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di Jakarta kemarin. Hingga saat ini pimpinan MA belum mengeluarkan pendapatnya atas fatwa yang dimintakan DPRD DKI. Bukan hal mudah mengeluarkan fatwa atas permasalahan yang sedang terjadi sehingga MA membutuhkan waktu untuk memberikan jawaban.
Namun, yang pasti permohonan fatwa atas status hukum pelantikan Ahok sedang dibahas pimpinan MA. ”Fatwa MA sebataspandanganterhadap sebuah permasalahan, bukan terkait legalitas hukum untuk dijadikan pedoman,” katanya. Jika MA mengeluarkan fatwa setelah pelantikan gubernur, pelantikan tersebut tetap sah dan tidak terpengaruh oleh fatwa.
”Intinya fatwa ini juga tidak akan mengubah status hukum pelantikan Ahok atau tidak bergantung fatwa MA,” kata Ridwan. DPRD DKI melayangkan surat ke MA untuk berkonsultasi atas ketentuan UU yang akan digunakan melantik Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Dalam pembahasan pengangkatan Ahok ada tiga peraturan perundang-undangan yang dipersoalkan.
Ketiganya yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pasal 173 menyatakan, jika gubernur berhalangan tetap, wakilnya tak serta-merta menggantikan.
Sedangkan Pasal 174 ayat 4 dalam perppu itu juga disebutkan pemilihan gubernur pengganti akan dilakukan melalui DPRD jika masa jabatannya masih di atas 18 bulan. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik mengatakan masih bersikukuh dengan menunggu keputusan resmi dari MA terkait pelantikan Ahok sebagai gubernur definitif. Menurutnya, rekomendasi dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri tidak dapat dijadikan patokan utama karena DKI Jakarta menggunakan UU No 29 Tahun 2007.
Dalam UU itu jelas dinyatakan pasangan kepala daerah yang terpilih harus mendapatkan suara di pilkada langsung 50% tambah satu. ”Saya perlu lihat surat resmi dari MA. Rekomendasi dari Ditjen Otda tidak mutlak,” ucapnya. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dody Riyatmadi menuturkan bahwa pihaknya telah mengirim rekomendasi ke DPRD.
Kemudian Ahok sudah bertemu Mendagri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi tentang mekanisme pengangkatannya menjadi gubernur definitif. ”Kini tinggal dari DPRD untuk mengagendakan pelantikan Ahok,” ucapnya. Bila tidak juga diagendakan, pelantikan dapat diambil alih oleh Presiden melalui mendagri. ”Kita tidak memberikan tenggat waktu untuk pelantikan Ahok. Semua sudah jelas dalam UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” ujar Dody.
Nurul adriyana/Ilham safutra
(bbg)