Kartu Jokowi Langgar Disiplin Anggaran

Sabtu, 08 November 2014 - 17:33 WIB
Kartu Jokowi Langgar...
Kartu Jokowi Langgar Disiplin Anggaran
A A A
JAKARTA - Program bantuan masyarakat yang digulirkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam bentuk tiga kartu dinilai telah melanggar disiplin anggaran. Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menyatakan, penerbitan dan pembiayaan tiga kartu sakti Jokowi otomatis berstatus ilegal karena tidak pernah dikonsultasikan dan disetujui oleh DPR.

Apalagi jika sumber dana ketiga kartu tersebut menggunakan dana corporate social responsbility (CSR). “Hal itu tetap saja pelanggaran karena dilakukan tanpa landasan hukum yang benar,” tandas Bambang kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin. Menurutdia, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN), untuk menetapkan konsekuensi biaya dari semua program dan kegiatan pemerintah, harus dikonsultasikan dan disetujui DPR.

Karena berstatus ilegal, pembagian KIS, KIP, dan KKS bisa menjadi bukti untuk mendakwa presiden dengan tuduhan melanggar disiplin anggaran. Bambang mengatakan, penerbitan dan pembagian tiga kartu yang telah dilakukan presiden memang berada dalam ranah program dan kegiatan pemerintah. Namun, perlu diingat juga bahwa konsekuensi biaya dari ketiga kartu tersebut tidak kecil.

“Yang menjadi pertanyaan besar, dari mana Presiden Jokowi akan membiayai KIS, KIP, dan KKS itu? sementara APBN 2015 tidak memasukkan mata anggaran untuk pembiayaan KIS, KIP, dan KKS,” ujarnya. Terlebih, APBN tahun mendatang tidak mengenal program KIS, KIP, dan KKS itu.

Karena itu, lanjut Bambang, jika Presiden Jokowi memaksakan penggunaan dana APBN 2015 untuk membiayai program dari ketiga kartu itu, maka presiden otomatis melanggar disiplin anggaran. Dan jika ini yang terjadi maka akan ada konsekuensi hukum yang sangat serius bagi presiden. “Jaminan sosial dalam tiga kartu sakti Presiden Jokowi sama baiknya dengan program BPJS. Bedanya, BPJS itu legal, sedangkan tiga kartu sakti itu ilegal jika dikaitkan dengan UU APBN,” tandasnya.

Ketua Komisi IV DPR Eddy Prabowo mengatakan, prinsip dana CSR itu adalah untuk wilayah sekitar perusahaan di manaperusahaan beroperasi. Karena itu, ujarnya, dana ini tidak bisa dipakai untuk wilayah lain kecuali wilayah di sekitar perusahaan tersebut. “Misalnya, kalau perusahaannya di kabupaten A maka kabupaten A itu yang merasakan manfaatnya langsung,” ungkap Wakil Ketua DPP Partai Gerindra ini.

Selain itu, tidak ada aturan dan landasan hukum untuk penggunaan dana CSR dalam tiga kartu itu. Dia mengakui bahwa program ini memang bagus. Namun, pemerintah jangan berpikir yang terpenting adalah hasilnya. Sebab, diperlukan juga landasan hukum dan sistem. “Jadi, kalau mengurus sesuatu tidak bisa dari kepala lantas diimplementasikan. Sistemnya harus dibangun terlebih dulu,” tandasnya.

Sebelumnya, anggota Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka menyatakan kebijakan tiga kartu tersebut merupakan perintah konstitusi yang sudah selayaknya dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). “Kalau KIS itu adalah perintah Pasal 28a ayat 3, mengenai pendidikan itu Pasal 31, turunannya,” kata Rieke.

Menurut dia, asumsi yang memolemikkan program tersebut saja sudah tidak tepat karena mengaitkannya dengan wacana soal kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi. Rieke pun menandaskan bahwa pemberian KIS, KIP, dan KKS bukan merupakan kompensasi dari akan dinaikkannya BBM oleh pemerintah. “Kami harus meluruskan beberapa opini yang terjadi bahwa KIS dan KIP itu sebagai kompensasi dari kenaikan BBM. Itu tidak tepat sama sekali,” tandasnya.

Rieke juga mengaku ikut menyusun program tersebut dalam kampanye lalu, sehingga mengetahui secara detail bahwa program itu diluncurkan bukan terkait wacana kenaikan harga BBM, melainkan sebagai sebuah kehendak politik yang mengikuti perintah konstitusi. Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswesdan mengaku kesulitan untuk menyalurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Kendala besarnya adalah pada integrasi pendataan. Anies mengatakan, KIP berbeda dengan bantuan siswa miskin (BSM) karena menjangkau anak di luar sekolah. Masalahnya, lanjut Anies, Kemendikbud tidak memiliki dataanakusia sekolahyangtidak bersekolah itu. Menurut Anies, data anak yang tidak tercatat di institusi pendidikan ada di Kementerian Sosial (Kemensos). “Ini harus dibereskan lagi datanya.

Dan ini menjadi tantangan bagi kami untuk menyambungkan data (penerima KIP) dengan Kemensos. Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk membuat database-nya,” ungkap Anies di Gedung Kemendikbud, Jakarta, kemarin. Penggagas Indonesia Mengajar ini mengatakan, jumlah siswa mulai dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas mencapai 53 juta orang, sedangkan siswa miskin ada 12,8 juta orang. Anies pun memproyeksikan penerima KIP ada 18 juta anak. Namun, jumlah penerima KIP itu akan terus naik dalam lima tahun.

Kiswondari/Neneng zubaidah
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2307 seconds (0.1#10.140)