MUI Tolak Perkawinan Beda Agama

Jum'at, 07 November 2014 - 15:20 WIB
MUI Tolak Perkawinan Beda Agama
MUI Tolak Perkawinan Beda Agama
A A A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap menolak perkawinan berbeda agama. Menurut MUI, perkawinan beda agama justru menempatkan manusia pada posisi yang rendah karena tujuan melanjutkan keturunan hanya berdasarkan kesepakatan usia kawin dan perasaan suka.

“Tidak ada bedanya dengan makhluk hidup lain, dalam hal ini binatang, yang hanya kawin dan melanjutkan keturunan karena suka sama suka,” tandas Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Luthfie Hakim saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian Undang-Undang 1 Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (5/11).

Menurut dia, Indonesia memang mengadopsi nilai-nilai hak asasimanusia (HAM) yangdiatur dalam UDHR atau DUHAM terkait pembatasan perkawinan. Namun, Indonesia bukanlah penganut HAM bebas. Bagaimanapun, realitas socio religio cultural Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara yang menganut HAM bebas.

Lagi pula, berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, hukum memiliki kaitan yang kuat dengan Tuhan sebagai sumber hukum utama, sehingga segala bentuk perundangan yang berlaku wajib mengakui dan menghormati segala aturan hukum yang telah ada dalam agama. Karena itu, ujarnya, aturan perkawinan yang didasari hukum agama telah seusia dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Pendapat yang menyatakan adanya penyelundupan hukum seperti yang diungkapkan sangat keliru. Sebab jika memang ada penyelundupan hukum yang terjadi atas berlakunya Pasal 2 ayat (1), seharusnya ada bukti data statistik yang akurat. “Cara pandang pemohon tampak dangkal dan tumpul. Mengapa? karena justru pada Pasal 2 ayat (1) itulah terletak aspek religius hukum perkawinan,” paparnya.

MUI hadir di persidangan sebagai pihak terkait dalam pengujian UU Perkawinan terkait permintaan keabsahan pernikahan beda agama yang diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Luthfi Saputra, dan Anbar Jayadi. SelainMUI, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) juga hadir sebagai pihak terkait.

Sementara itu, Komisi Hukum PGI Nikson Gans Lalu justru mendukung perkawinan berbeda agama atas nama Bhinneka Tunggal Ika. Menurut dia, lahirnya UU Perkawinan saat itu tidak memperhatikan unsur perbedaan agama, sehingga Pasal 2 ayat (1) justru mengabaikan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan tidak menghargai multikulturalisme.

“Meskipun agama bukanlah suatu yang ideal, tetapi perkawinan antara orang yang berbeda suku, rasa, dan agama bukanlah hal mustahil, apalagi di era modern,” tandas Nikson. Menurut dia, Pasal 2 ayat (1) harus mengikuti perkembangan pluralisme dan interpretasi sesuai semangat Bhinneka Tunggal Ika. Justru jika terus dipertahankan, ungkapnya, maka terdapat pelanggaran hak warga untuk melangsungkan perkawinan.

Nurul adriyana
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4652 seconds (0.1#10.140)