Asia-Pasifik Kerja Sama Antikorupsi
A
A
A
BEIJING - Negara-negara Asia-Pasifik siap menyepakati jaringan transparansi antikorupsi, yang memungkinkan badan penegak hukum melacak dana yang melintas batas wilayah, termasuk di dalamnya terduga pelaku gratifikasi atau korupsi.
Direktur Eksekutif Sekretariat APEC Alan Bollard mengungkapkan, jaringan dipimpin oleh China tapi juga mendapat dukungan penuh Amerika Serikat (AS), akan membuka channel bagi badan penegak hukum berbagi informasi dan proses penuntutan lintas batas wilayah nasional (ekstradisi).
”Grup ini akan berusaha melakukan segala kerja sama yang memungkinkan adanya tukar informasi terutama terkait kasus yang berkembang, berbagi informasi tentang bagaimana mendapatkan keyakinan, dan jika diperlukan mengupayakan asetnya kembali,” kata Bollard dalam konferensi pers kemarin. Lebih lanjut Bollard mengatakan, kerja sama tersebut juga memungkinkan pelacakan kasus melintasi batas wilayah dan tindak lanjut terhadap aset ilegal yang sudah dibawa kabur ke luar negeri.
Rencananya, kerja sama tersebut dibahas dalam agenda pertemuan APEC di Beijing pekan depan. Dalam laporannya, The Wall Street Journal mengungkapkan, jaringan, yang bernama Act-Net, akan berbasis di pusat latihan tentara badan tertinggi antigratifikasi Partai Komunis China, yang mana memiliki kekuatan untuk memenjarakan dan menuntut pejabat partai tanpa adanya unsur tuduhan.
”Setiap negara yang tergabung harus berkomitmen menolak memberikan tempat perlindungan bagi tersangka korupsi. Kita harus sepakat memberikan akses untuk melakukan ekstradisi, memberikan bantuan hukum, dan membantu pemulihan atau pengembalian materi yang dibawa tersangka korupsi di luar negeri,” bunyi draf Act-Net.
China merancang khusus Act-Net agar arus informasi antarpenegak hukum dapat diakses tanpa mengenal batas wilayah. Namun, menurut orang yangtahumengenairencanaitu, Act-Net tidak bisa digunakan berdampingan dengan jaringan polisi dunia, Interpol. Pasalnya, dua jaringan itu kemungkinan akan saling ”bertabrakan”. Agustus lalu Act-Net pernah melakukan perkenalan. Saat itu beberapa perwakilan lembaga antikorupsi berbagi buah pemikiran tentang jaringan macam Act-Net dalam menangani korupsi.
Wakil Menteri Pencegahan Korupsi Nasional China Fu Kui mengatakan, Act-Net dapat meningkatkan kinerja dua negara, bahkan lebih. Kerja sama Indonesia-China misalnya. Kedua negara akan melakukan operasi gabungan dalam menyelidiki dan menuntut tersangka kejahatan korupsi di setiap saat. Koruptor Indonesia yang terbang ke China bisa diselidiki otoritas setempat.
Dengan seizin otoritas Indonesia, koruptor itu juga bisa diadili di China. China merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi hukum. Flora Sapio, ahli hukum Universitas China di Hong Kong, mengakui hal itu. Dia mengatakan bahwa China tidak hanya meningkatkan kualitas kurikulum hukum di berbagai akademi, tetapi juga mendesak setiap sekolah untuk menerapkan hukum secara tegas. China memang ambisius mengampanyekan pentingnya upaya perlawanan terhadap korupsi.
Agenda antikorupsi bahkan sering menjadi agenda internasional. Usaha China selama beberapa tahun terakhir itu tidak sia-sia. Beberapa negara tertarik untuk bekerja sama dengan China dalam memberantas korupsi. ”Ya, pelaku korupsi memang tidak pernah berhenti sampai perbatasan,” ungkap Max Baucus, duta besar AS untuk China. Namun, Baucus menolak memberikan komentar mengenai Act-Net.
Beberapa politisi elite Barat dan AS memilih diam saat munculnya ide rencana Act-Net. Upaya China dalam memerangi korupsi terbilang serius. Mereka menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. China sudah menangkap 180 tersangka korupsi yang sebelumnya melarikan diri ke luar negeri. Sekitar 104 di antaranya berhasil ditangkap di lapangan, sementara sisanya ditangkap setelah menyerahkan diri.
Global Financial Integrity Group mengatakan uang USD 1,08 triliun digondol ke luar negeri secara ilegal dari 2002-2011. Pemerintah Barat dan AS menolak melakukan ekstradisi dengan China. Pasalnya, mereka tidak senang dengan perlakuan China yang sering menyiksa tersangka korupsi saat meminta pengakuan. Selain itu, China tidak pernah memberikan ampun terhadap tersangka korupsi.
Mereka hampir pasti menjatuhkan hukuman mati. Sejauh ini, China memiliki kesepakatan ekstradisi dengan 38 negara, kecuali AS, Kanada, dan Australia, yang sering dijadikan tempat pelarian. Namun pada pertengahan Oktober, media lokal Australia melaporkan otoritas berwenang sepakat membantu China melakukan ekstradisi dan membekukan aset koruptor.
Muh shamil
Direktur Eksekutif Sekretariat APEC Alan Bollard mengungkapkan, jaringan dipimpin oleh China tapi juga mendapat dukungan penuh Amerika Serikat (AS), akan membuka channel bagi badan penegak hukum berbagi informasi dan proses penuntutan lintas batas wilayah nasional (ekstradisi).
”Grup ini akan berusaha melakukan segala kerja sama yang memungkinkan adanya tukar informasi terutama terkait kasus yang berkembang, berbagi informasi tentang bagaimana mendapatkan keyakinan, dan jika diperlukan mengupayakan asetnya kembali,” kata Bollard dalam konferensi pers kemarin. Lebih lanjut Bollard mengatakan, kerja sama tersebut juga memungkinkan pelacakan kasus melintasi batas wilayah dan tindak lanjut terhadap aset ilegal yang sudah dibawa kabur ke luar negeri.
Rencananya, kerja sama tersebut dibahas dalam agenda pertemuan APEC di Beijing pekan depan. Dalam laporannya, The Wall Street Journal mengungkapkan, jaringan, yang bernama Act-Net, akan berbasis di pusat latihan tentara badan tertinggi antigratifikasi Partai Komunis China, yang mana memiliki kekuatan untuk memenjarakan dan menuntut pejabat partai tanpa adanya unsur tuduhan.
”Setiap negara yang tergabung harus berkomitmen menolak memberikan tempat perlindungan bagi tersangka korupsi. Kita harus sepakat memberikan akses untuk melakukan ekstradisi, memberikan bantuan hukum, dan membantu pemulihan atau pengembalian materi yang dibawa tersangka korupsi di luar negeri,” bunyi draf Act-Net.
China merancang khusus Act-Net agar arus informasi antarpenegak hukum dapat diakses tanpa mengenal batas wilayah. Namun, menurut orang yangtahumengenairencanaitu, Act-Net tidak bisa digunakan berdampingan dengan jaringan polisi dunia, Interpol. Pasalnya, dua jaringan itu kemungkinan akan saling ”bertabrakan”. Agustus lalu Act-Net pernah melakukan perkenalan. Saat itu beberapa perwakilan lembaga antikorupsi berbagi buah pemikiran tentang jaringan macam Act-Net dalam menangani korupsi.
Wakil Menteri Pencegahan Korupsi Nasional China Fu Kui mengatakan, Act-Net dapat meningkatkan kinerja dua negara, bahkan lebih. Kerja sama Indonesia-China misalnya. Kedua negara akan melakukan operasi gabungan dalam menyelidiki dan menuntut tersangka kejahatan korupsi di setiap saat. Koruptor Indonesia yang terbang ke China bisa diselidiki otoritas setempat.
Dengan seizin otoritas Indonesia, koruptor itu juga bisa diadili di China. China merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi hukum. Flora Sapio, ahli hukum Universitas China di Hong Kong, mengakui hal itu. Dia mengatakan bahwa China tidak hanya meningkatkan kualitas kurikulum hukum di berbagai akademi, tetapi juga mendesak setiap sekolah untuk menerapkan hukum secara tegas. China memang ambisius mengampanyekan pentingnya upaya perlawanan terhadap korupsi.
Agenda antikorupsi bahkan sering menjadi agenda internasional. Usaha China selama beberapa tahun terakhir itu tidak sia-sia. Beberapa negara tertarik untuk bekerja sama dengan China dalam memberantas korupsi. ”Ya, pelaku korupsi memang tidak pernah berhenti sampai perbatasan,” ungkap Max Baucus, duta besar AS untuk China. Namun, Baucus menolak memberikan komentar mengenai Act-Net.
Beberapa politisi elite Barat dan AS memilih diam saat munculnya ide rencana Act-Net. Upaya China dalam memerangi korupsi terbilang serius. Mereka menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. China sudah menangkap 180 tersangka korupsi yang sebelumnya melarikan diri ke luar negeri. Sekitar 104 di antaranya berhasil ditangkap di lapangan, sementara sisanya ditangkap setelah menyerahkan diri.
Global Financial Integrity Group mengatakan uang USD 1,08 triliun digondol ke luar negeri secara ilegal dari 2002-2011. Pemerintah Barat dan AS menolak melakukan ekstradisi dengan China. Pasalnya, mereka tidak senang dengan perlakuan China yang sering menyiksa tersangka korupsi saat meminta pengakuan. Selain itu, China tidak pernah memberikan ampun terhadap tersangka korupsi.
Mereka hampir pasti menjatuhkan hukuman mati. Sejauh ini, China memiliki kesepakatan ekstradisi dengan 38 negara, kecuali AS, Kanada, dan Australia, yang sering dijadikan tempat pelarian. Namun pada pertengahan Oktober, media lokal Australia melaporkan otoritas berwenang sepakat membantu China melakukan ekstradisi dan membekukan aset koruptor.
Muh shamil
(ars)