Anggap sebagai Potensi, Bekali dengan Keterampilan
A
A
A
Menjadi negara terpandang tidak selamanya mendatangkan keuntungan, apalagi jika pamornya sudah memancing keinginan para imigran. Sejumlah masalah sosial harus siap dihadapi mulai dari minimnya pekerjaan hingga silang budaya.
Namun, Jerman mampu melebur perbedaan para imigran dan membuat mereka menjadi manusia produktif. Sayangnya, ada harga mahal untuk keproduktifan itu yakni tergerusnya budaya asli Jerman.
“Semua orang sepertinya ingin pindah ke Jerman. Dalam satu bulan saya bertemu banyak orang dari berbagai penjuru dunia,” demikian kata Govan, seorang musisi Jazz asal Prancis yang sedang berada dalam kelas bahasa Jerman, kelas yang khusus dibangun untuk orangorang yang baru tiba di Berlin.
Wajah-wajah di sekeliling Govan nampak muda dan beraksen Eropa. Mereka bercerita tentang laju demografi Jerman yang berubah cepat dan menjadi negara kedua terpopuler di dunia yang menjadi tujuan para imigran setelah Amerika Serikat (AS). Setiap tahunnya ada ratusan ribu imigran yang memasuki Ibu Kota Jerman, Berlin. Tahun 2012 lalu Jerman mengalami migrasi tertingginya selama 20 tahun terakhir.
Dua tahun lalu ada 400.000 migran permanen yang memasuki kawasan Jerman. Jumlah ini meningkat 38% dari 2011 lalu. Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD) menyebut fenomena ini sebagai booming. Imigran tersebut rata-rata berasal dari Eropa Timur dan negaranegara zona Eropa Selatan.
Para imigran memilih Jerman karena terpikat dengan kekuatan ekonomi dan banyaknya lapangan kerja. Apalagi, Pemerintah Jerman sangat terbuka dengan pendatang yang berkualitas tinggi maupun rendah. Pemerintah Jerman memberikan hak kepada para imigran untuk tinggal selama lebih dari satu tahun.
Kedatangan para imigran yang dijuluki willkommesnkultur ini ditengarai dapat menutup kesenjangan keterampilan yang melanda negara tersebut. Ada beberapa sektor kerja yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh warga Jerman, terutama karena jumlah penduduk yang makin menyusut akibat angka kelahiran yang sangat rendah.
“Sangat penting untuk menarik orang-orang berkualitas, karena itulah pemerintah akhirnya mempermudah proses imigrasi, mencoba berinvestasi dengan para imigran dan membuat budaya para imigran lebih diterima,” terang Dr Ingrid Tucci dari German Institute for Economic Research dilansir BBC.
Berbeda dengan negara lain di Eropa yang menganggap imigran sebagai ancaman, Jerman justru melihat imigran sebagai potensi terutama dalam perkembangan bisnis lokal. Untuk mengembangkan potensi tersebut, Jerman bahkan memberikan kelas bahasa Jerman gratis. Sayang, keterbukaan Jerman terhadap budaya lain justru membawa dampak negatif yakni tergerusnya budaya asli Jerman.
Negeri Hitler kini harus berjuang mempertahankan budayanya sendiri. Para ahli budaya menyebut imigran tak mampu menjadi warga Jerman yang sesungguhnya. Kendati mendapat kesempatan pekerjaan dan pendidikan yang sama dengan warga asli Jerman, para imigran enggan melepas budaya lamanya.
Pemerintah Jerman pun kini mulai ketar-ketir dengan semakin menurunnya angka kelahiran warganya. Sebab, koloni Jerman akan terus berkurang dan bukan tidak mungkin Jerman akan menghadapi hal serupa kaum Indian di AS yakni menjadi jajahan di negeri sendiri. Dengan 7,6 juta orang asing, Jerman harus memiliki sebuah aturan khusus untuk melindungi warganya.
Belum lagi kini sudah banyak imigran yang membentuk partai politik untuk meningkatkan kastanya di mata masyarakat. Jika partai-partai ini terus berkembang, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Jerman akan dipimpin orang asing. Hal ini adalah salah satu yang paling dihindari.
“Tidak mudah memahami apa artinya menjadi Jerman karena kehidupan terus berubah. Negara kami menunjukkan bagaimana perubahan itu. Beberapa dari kami masih memegang gagasan untuk menjadi homogen,” tegas Presiden Jerman Joachim Gauck.
Rini agutina
Namun, Jerman mampu melebur perbedaan para imigran dan membuat mereka menjadi manusia produktif. Sayangnya, ada harga mahal untuk keproduktifan itu yakni tergerusnya budaya asli Jerman.
“Semua orang sepertinya ingin pindah ke Jerman. Dalam satu bulan saya bertemu banyak orang dari berbagai penjuru dunia,” demikian kata Govan, seorang musisi Jazz asal Prancis yang sedang berada dalam kelas bahasa Jerman, kelas yang khusus dibangun untuk orangorang yang baru tiba di Berlin.
Wajah-wajah di sekeliling Govan nampak muda dan beraksen Eropa. Mereka bercerita tentang laju demografi Jerman yang berubah cepat dan menjadi negara kedua terpopuler di dunia yang menjadi tujuan para imigran setelah Amerika Serikat (AS). Setiap tahunnya ada ratusan ribu imigran yang memasuki Ibu Kota Jerman, Berlin. Tahun 2012 lalu Jerman mengalami migrasi tertingginya selama 20 tahun terakhir.
Dua tahun lalu ada 400.000 migran permanen yang memasuki kawasan Jerman. Jumlah ini meningkat 38% dari 2011 lalu. Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD) menyebut fenomena ini sebagai booming. Imigran tersebut rata-rata berasal dari Eropa Timur dan negaranegara zona Eropa Selatan.
Para imigran memilih Jerman karena terpikat dengan kekuatan ekonomi dan banyaknya lapangan kerja. Apalagi, Pemerintah Jerman sangat terbuka dengan pendatang yang berkualitas tinggi maupun rendah. Pemerintah Jerman memberikan hak kepada para imigran untuk tinggal selama lebih dari satu tahun.
Kedatangan para imigran yang dijuluki willkommesnkultur ini ditengarai dapat menutup kesenjangan keterampilan yang melanda negara tersebut. Ada beberapa sektor kerja yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh warga Jerman, terutama karena jumlah penduduk yang makin menyusut akibat angka kelahiran yang sangat rendah.
“Sangat penting untuk menarik orang-orang berkualitas, karena itulah pemerintah akhirnya mempermudah proses imigrasi, mencoba berinvestasi dengan para imigran dan membuat budaya para imigran lebih diterima,” terang Dr Ingrid Tucci dari German Institute for Economic Research dilansir BBC.
Berbeda dengan negara lain di Eropa yang menganggap imigran sebagai ancaman, Jerman justru melihat imigran sebagai potensi terutama dalam perkembangan bisnis lokal. Untuk mengembangkan potensi tersebut, Jerman bahkan memberikan kelas bahasa Jerman gratis. Sayang, keterbukaan Jerman terhadap budaya lain justru membawa dampak negatif yakni tergerusnya budaya asli Jerman.
Negeri Hitler kini harus berjuang mempertahankan budayanya sendiri. Para ahli budaya menyebut imigran tak mampu menjadi warga Jerman yang sesungguhnya. Kendati mendapat kesempatan pekerjaan dan pendidikan yang sama dengan warga asli Jerman, para imigran enggan melepas budaya lamanya.
Pemerintah Jerman pun kini mulai ketar-ketir dengan semakin menurunnya angka kelahiran warganya. Sebab, koloni Jerman akan terus berkurang dan bukan tidak mungkin Jerman akan menghadapi hal serupa kaum Indian di AS yakni menjadi jajahan di negeri sendiri. Dengan 7,6 juta orang asing, Jerman harus memiliki sebuah aturan khusus untuk melindungi warganya.
Belum lagi kini sudah banyak imigran yang membentuk partai politik untuk meningkatkan kastanya di mata masyarakat. Jika partai-partai ini terus berkembang, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Jerman akan dipimpin orang asing. Hal ini adalah salah satu yang paling dihindari.
“Tidak mudah memahami apa artinya menjadi Jerman karena kehidupan terus berubah. Negara kami menunjukkan bagaimana perubahan itu. Beberapa dari kami masih memegang gagasan untuk menjadi homogen,” tegas Presiden Jerman Joachim Gauck.
Rini agutina
(bbg)