Yamin, Puisi, Sumpah Pemuda

Minggu, 02 November 2014 - 11:23 WIB
Yamin, Puisi, Sumpah Pemuda
Yamin, Puisi, Sumpah Pemuda
A A A
Puisi mengantarkan imajinasi bangsa, tanah air, dan bahasa. Muhammad Yamin suguhkan sekian puisi sebagai referensi mengimajinasikan Indonesia.

Puisi tak sekadar deretan kata. Puisi bisa mengabarkan dan meramalkan. Kita mengingat puisi seperti membuka bilik sejarah Indonesia saat memerlukan kata dan imajinasi sebagai penghampiran nasionalisme. Puisi adalah geliat pengharapan di arus sejarah Indonesia. Yamin berbekal bahasa menggerakkan imajinasi tentang tanah air. Puisi Tanah Air (1920) adalah jelmaan puja atas gagasan ruang hidup dan semaian nasionalisme di Sumatra.

Tanah air dituliskan dalam deretan kata menggugah: Pada batasan, Boekit Barisan/ Memandang kepantai, teloek permai/ Tampaklah air, air segala/ Itoelah laoet, Samoedra Hindia/ Tampaklah ombak, gelombang pelbagai/ Memetjah kepasir berderai/ Ia memekik, berandai-andai/ Wahai Andalas, poela Sumatera/ Haroemkan nama, selatan oetara. Puja itu perlahan berubah menjelang ruang politik Indonesia saat Yamin mengafirmasi pergerakan politik di Jawa.

Tanah Air adalah negeri kepulauan. Jejak puisi telah mengingatkan dambaan mengucap dan menjelaskan nasib manusia di negeri terjajah. Puisi melenggang bersama gairah Yamin menggerakkan politik-nasionalisme di Jong Sumatranen Bond. Puisi memberi suluh mencipta Indonesia. Yamin memberi diri bersama puisi untuk melunaskan gairah menulis Indonesia.

Gairah menjelma dalam penggunaan bahasa Melayu sebagai rujukan identitas kultural dan politik. Yamin dalam puisi Bahasa, Bangsa (1921) berdalih: ”Tiada bahasa, bangsapoen hilang.” Yamin membuat propaganda agar bahasa Melayu bergerak di agenda nasionalisme. Bahasa Melayu memiliki etos revolusioner: melawan kolonialisme dan mempertemukan referensi-referensi etnisitas. Puisi Bahasa, Bangsa terus mengilhami Yamin mengajukan bahasa Melayu sebagai bahasa politik di pergerakan nasionalisme.

Ajakan Yamin menguat dalam Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928). Puisi telah mengobarkan puja bahasa. Yamin (1928) sesumbar tentang peran bahasa Melayu meski disampaikan dalam bahasa Belanda. Yamin memberi propaganda bahwa bahasa Melayu adalah bahasa pergaulan dan bahasa persatuan. Peradaban Indonesia bakal ditentukan oleh penggunaan bahasa Melayu.

Optimisme itu tercantum di Sumpah Pemuda dengan mengubah sebutan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Puisi dan orasi bahasa menggenapi imajinasi Indonesia. Puisi ada di Sumpah Pemuda. Yamin suguhkan puisi Indonesia, Toempah Darahkoe (1928) berpamrih mengucap dan menerangkan Indonesia. Yamin menulis: ”Karena kita sedarah-sebangsa, bertanah air Indonesia.” Pengakuan ini mengental di teks Sumpah Pemuda.

Puisi-puisi Yamin seolah mengawali pengesahan Sumpah Pemuda. Imajinasi tentang bangsa, tanah air, bahasa bertaburan di puisi menjelang 1928. Puisi ibarat arus imajinasi mengejawantah di ruang dan waktu historis. Kesejarahan puisi turut menentukan pemaknaan Sumpah Pemuda. Puisi tak sekadar tulisan dan lantunan melenakan. Puisi adalah keinsafan mengingat sejarah dan mengamalkan pengharapan di masa depan.

Yamin pun pantas tampil sebagai pujangga agung dengan puisi-puisi menjelang Indonesia. Sumpah Pemuda tak sekadar ”kerapatan” selama dua hari oleh kaum muda dari pelbagai penjuru negeri. Sumpah Pemuda ibarat ritus puisi untuk meluruhkan ide-ide dan imajinasi-imajinasi Indonesia. Sumpah Pemuda adalah puncak gairah puitik di jalan politik. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) menganggap puisi-puisi Yamin adalah representasi optimisme di kalangan elite terpelajar muda untuk pengakuan sebagai orang Indonesia.

Pengakuan itu mendahului klaim sebagai orang Minangkabau, Jawa, Batak, Sunda, Kristen, dan Islam. Puisi sanggup memberi terang dalam perbedaan politik. Puisi justru menampik siasat kolonialisme. Yamin menggunakan puisi di jalan pencerahan politik Indonesia. Ingatan atas puisi dan Sumpah Pemuda memberi rujukan atas nasib Indonesia. Puisi perlahan jarang menentukan politik Indonesia. Pengesahan bahasa Indonesia secara konstitusional justru meminggirkan puisi. Politik bergerak di jalan prosa. Indonesia adalah antologi penjelasan prosaik.

Gairah puitik ada di pinggiran narasi Indonesia. Imajinasi seolah haram di pengucapan dan selebrasi politik. Kita justru mengenangkan puisi di buku pelajaran: diam dan lungkrah. Puisi hampir tak mengilhami arus politik Indonesia? Yudi Latif (2009) menghendaki pujangga bisa dekat dengan politik tanpa melekat. Puisi menempuh perjalanan pelik untuk menguatkan atau meruntuhkan politik.

Biografi politik dan puisi-puisi Yamin adalah kenangan silam saat ada ”kemesraan” antara gairah puitik dan politik. Kemesraan itu demi Indonesia. Waktu pun berlalu dan puisi pun berjalan di keheningan. Puisi memang bisa mendekati politik tanpa luruh untuk pamrih-pamrih picisan.

BANDUNG MAWARDI
Pengelola Jagat Abjad Solo
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3902 seconds (0.1#10.140)