Menkumham Jangan Jadi Alat Politik

Kamis, 30 Oktober 2014 - 17:33 WIB
Menkumham Jangan Jadi...
Menkumham Jangan Jadi Alat Politik
A A A
JAKARTA - Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly melegalkan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi kubu Romahurmuziy mengundang banyak kecaman.

Yasonna diingatkan untuk tidak menjadikan Kemenkumham sebagai alat politik untuk kepentingan kelompok tertentu. Yasonna dinilai tergesa-gesa dan gegabah karena mengesahkan susunan kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar VIII Surabaya padahal dia baru dua hari menjabat sebagai menteri.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut juga dinilai mengabaikan UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik yang mengatur bahwa penyelesaian perselisihan internal partai politik dilakukan oleh mahkamah partai dari partai politik bersangkutan. Menkumham dinilai telah menabrak prinsip-prinsip dan asas yang benar dalam membuat sebuah kebijakan. Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan, kesan bahwa Menkumham telah bermain politik dan menjadi alat politik sangat kuat karena kubu Romahurmuziy (Romi) merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

“Sedangkan KIH ini berafiliasi dengan kekuasaan. Kesan menjadi alat politik itu tidak bisa dihindari. Padahal seharusnya netral,” ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin. Menurut Asep, suatu keputusan dari sisi hukum bisa dikatakan netral dan independen ketika setidaknya memenuhi tiga prinsip, yakni kecermatan, persamaan, dan keterbukaan. Namun melihat putusan Menkumham yang dikeluarkan dua hari setelah Yasonna menjabat, sulit untuk melihat bahwa tiga prinsip itu telah diterapkan.

Asas kehati-hatian atau kecermatan jelas tidak dilakukan karena baru menjabat dua hari sudah mengeluarkan keputusan sebesar itu. Kemudian prinsip persamaan juga diabaikan, karena nyatanya Kemenkumham seperti tidak mau meminta keterangan dari pihak yang masih berkonflik. “Padahal, kubu SDA (Suryadharma Ali) juga mengklaim sebagai kepengurusan yang legal. Tetapi tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan, langsung diputuskan,” ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, asas atau prinsip keterbukaan juga tidak dilakukan karena keluarnya keputusan Kemenkumham tersebut terkesan mendadak. Padahal, keterbukaan ini sangat penting karena menyangkut masalah besar. Selain itu, lanjut dia, keputusan tersebut juga cenderung politis dan masuk ranah rumah tangga partai mengingat sebenarnya saat ini dua kubu bertikai sedang dalam proses islah oleh Majelis Syariah dan Mahkamah Partai. Penilaian senada disampaikan pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun.

Menurut dia, bukannya menyelesaikan masalah di PPP, keputusan Menkumham justru menyebabkan meruncingnya konflik internal di tubuh PPP. “Jadi Mahkamah Partai belum selesai menyelesaikan tugasnya, Menkumham mendahului. Ini faktor penyebab konflik PPP makin meruncing,” katanya. Maka itu, kata dia, sangat wajar ketika keputusan tersebut menjadi kontroversial dan berbuah wacana interpelasi oleh beberapa anggota DPR.

Sementara itu, Menkumham Yasonna H Laoly mengatakan, sebelum mengeluarkan keputusan, terlebih dahulu dia memanggil Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU), kemudian dirapatkan dan dianalisis pokok persoalannya, lalu diputuskan. Dia beralasan, berdasarkan analisis terhadap pelaksanaan Muktamar Surabaya, itu sudah cukup jelas karena dihadiri 1.000 peserta yang punya hak suara dan hak berbicara sesuai AD/ ART partai.

“Kalau sudah memenuhi AD/ART partai, sah. Bukan di kita, tapi muktamar partainya. Dalam AD/ART, muktamar tertinggi,” ungkapnya. Yasonna membantah keputusan itu atas perintah Presiden Joko Widodo. Menurutnya, dia hanya melaporkan ke Presiden pada hari Selasa (28/10) pukul 15.30 setelah mengambil keputusan pada pukul 13.00. “Saya lapor Presiden bahwa saya mengambil keputusan ini atas dasar asas kepastian hukum,” ujarnya.

Menurut dia, boleh ada orang yang berpenafsiran lain, tapi keputusan itu diambil semata untuk memberi asas kepastian hukum. Dia mengatakan, jika ada yang tidak sepakat, dia siap digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Saya sudah melapor ke Pak Presiden dan saya siap mengambil tanggung jawab atas keputusan itu,” ujarnya. Politikus senior PDIP Pramono Anung mengatakan, Kemenkumham tentu sudah memiliki pertimbangan matang dalam memutuskan masalah PPP.

Dan saat ini, kata dia, PPP yang sah sesuai peraturan perundangan adalah hasil Muktamar VIII Surabaya dengan Ketua Umum Romahurmuziy. “Jadi PPP yang sah menurut pemerintah, ya kubunya Romahurmuziy, itu menurut pemerintah. Kan SK Menkumham sudahkeluarterkaititu,” katanya.

Pendapat berbeda diungkapkan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Almuzzammil Yusuf. Dia menilai Menkumham ceroboh dan melanggar UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2/ 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2/2008. Dia menuding Menkumham berpihak pada salah satu kubu PPP yang sedang bertikai. “Perbuatannya melanggar UU Partai Politik Pasal 24, 32, dan 33. Saya mohon maaf harus mengatakan bahwa ini adalah catatan buruk pertama Menkumham,” jelasnya.

SDA Gugat ke PTUN

Kubu Ketua Umum PPP versi Muktamar Bandung, SDA, mengajukan gugatan ke PTUN terkait keputusan Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Romi. Kuasa hukum PPP versi SDA, Andreas Nahot Silitonga mengatakan, gugatan dilakukan lantaran menganggap Kemenkumham tidak konsisten dengan kebijakan sebelumnya, yang mengatakan tidak akan mengeluarkan keputusan apa pun sebelum konflik di tubuh PPP selesai.

Ketua DPP PPP yang juga menjabat sebagai Juru Bicara PPP Bidang Hukum, Ahmad Yani, mengatakan, pihaknya kini menunggu proses yang akan berlangsung di PTUN. Dia juga menegaskan, putusan Kemenkumham yang mengesahkan kepengurusan PPP kubu Romi tidak akan mengubah pelaksanaan Muktamar PPP VIII di Jakarta yang rencananya digelar hari ini. “Muktamar tetap akan diselenggarakan karena ini yang sah,” tegasnya.

Rahmat sahid/ Dian ramdhani/ Kiswondari/Sabir laluhu
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5524 seconds (0.1#10.140)