Kejagung Butuh Sosok Reformatif

Rabu, 29 Oktober 2014 - 15:43 WIB
Kejagung Butuh Sosok Reformatif
Kejagung Butuh Sosok Reformatif
A A A
JAKARTA - Prestasi Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam penegakan hukum yang cenderung menurun hendaknya menjadi pertimbangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menetapkan jaksa agung baru nanti.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan menilai kinerja Kejagung beberapa tahun terakhir memang menurun. Bahkan Kejagung justru semakin tenggelam jika dibandingkan dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Karena itu, menurut Otto, jaksa agung baru pengganti Basrief Arief nantinya harus sosok yang mampu membangun kembali organisasi kejaksaan. “Butuh sosok reformatif agar institusi kejaksaan tidak tenggelam oleh KPK,” tandas Otto di Jakarta kemarin.

Menurut dia, jaksa agung selanjutnya harus dapat membangkitkan korps Adhyaksa untuk dapat bersaing dengan KPK secara positif. Selain itu, Kejagung harus cepat memperbaiki kinerja seperti KPK. “Sekarang ini kan seolah-olah KPK lebih superior, padahal tidak boleh. KPK ada, tapi Kejagung harus lebih hebat,” ujarnya.

Menurut Otto, akan lebih baik jika Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk mengangkat jaksa agung dari kalangan eksternal kejaksaan. Sebab selama ini lebih sering jaksa agung yang diangkat dari kalangan internal tidak menunjukkan hasil yang baik. Selama dipimpin jaksa karier, tidak ada perubahan yang signifikan di tubuh Kejagung. Hal ini disebabkan jaksa karier sudah terbiasa dengan rutinitas dan lebih mengutamakan stabilitas sehingga kepemimpinannya akan biasa saja. “Biasa saja dan tidak ada guncangan. Tidak ada yang berarti dan lebih agresif,” katanya.

Adapun Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Tony Spontana menyatakan, kalangan internal kejaksaan menginginkan jaksa agung baru nanti berasal dari lingkup internal. Menurut dia, kejaksaan memiliki stok sosok yang pantas memimpin Kejagung.

Meski mendukung calon internal, Tony meminta agar sosok yang memimpin Kejagung nantinya tetap memiliki integritas dan kapasitas yang tidak diragukan. “Sesuai kriteria dapat membangun organisasi besar ini ke depan. Sosok yang profesional,” tandasnya.

Yang paling penting, ujarnya, jaksa agung nantinya dapat menghadapi tantangan yang semakin berkembang. Sebab kejahatan akan semakin meningkat. Apalagi menghadapi tahun depan yang memasuki masa komunitas ASEAN. “Jadi artinya kejaksaan harus menjawab tantangan ini,” ujarnya.

Menurut dia, jaksa agung yang baru nanti sebenarnya tinggal melanjutkan program yang telah ada. Sebab selama ini dia menilai di bawah kepemimpinan Basrief Arief, kinerja Kejagung sudah baik. “Tinggal melanjutkan yang berjalan dan menyesuaikan visi dan misi yang baru saja,” tandasnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir menilai, lebih baik jika jaksa agung baru nanti berasal dari kalangan internal sebagaimana penegak hukum lainnya seperti Polri dan Mahkamah Agung (MA). “Kapolri diangkat dari mana? Polisi kan? Ketua MA dipilih dari hakim agung juga. Jadi terkait jaksa agung juga harus diambil dari internal. Karena jaksa agung adalah jaksa, maka harusnya berasal dari jaksa aktif secara fungsional dan diakui sebagai jaksa,” katanya.

Menurut dia, tidak ada pemimpin lembaga penegak hukum yang dipilih dari luar. Dia juga menyangkal bahwa jaksa agung merupakan jabatan politik. Sebab jaksa agung adalah jaksa, dengan demikian tidak mungkin mengangkat sosok dari luar. “Pengacara tidak mungkin diangkat jadi jaksa. Dosen juga tidak mungkin. Jaksa menegakkan hukum, bukan prokelompok tertentu, tapi projustisia,” paparnya.

Namun, menurutnya, yang paling penting adalah di era kepemimpinan Jokowi-JK ini harus terjadi perubahan penegakan hukum. Sebab, selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Mudzakkir menilai hukum hanya berjalan secara emosional. “Era Jokowi ini hukum harus menjadi hukum rasional bukan emosional. Hukum rasional dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan hukum yang tepat dan benar serta ilmiah. Alat utamanya adalah ilmu pengetahuan hukum. Karena itu, jaksa juga harus profesional dan berdasarkan ilmu pengetahuan, terutama hukum pidana,” ujarnya.

Dia mencontohkan era hukum emosional di masa kepemimpinan SBY antara lain untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi diajukanlah hukuman mati. Padahal, tidak ada dasar hukum untuk melakukan itu. “Itu tidak rasional. Memang kelihatannya luar biasa, tapi menabrak aturan. Jaksa harus on the track. Ini dikhawatirkan jika jaksanya emosional, Jokowi akan dihadapkan pada banyak persoalan,” sebutnya.

Selain itu, jaksa agung yang baru nanti harus bisa menegakan hukum dengan taat pada aturan yang ada, yaitu tidak ada lagi penegakan hukum yang asal tabrak aturan. “Menegakkan hukum tidak kasar dengan menabrak rambu-rambu hukum dan harus sesuai aturan. Jokowi harus melakukan seleksi dari jaksa-jaksa. Mana yang tidak pernah menyimpang. Jangan sampai dipilih jaksa yang tidak pernah mempraktikkan hukum secara benar,” ujarnya.

Dita Angga
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5856 seconds (0.1#10.140)