Pentingnya Membangun Kapabilitas Inovasi
A
A
A
Siap tidak siap, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (Asean Economic Community/MEA) tahun depan.
Tapi, segala sesuatunya harus sudah dipersiapkan, mulai dari pembangunan infrastruktur, penciptaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, perbaikan sistem birokrasi, hingga menumbuhkan iklim perusahaan yang kondusif. Dengan demikian, perekonomian dalam negeri akan terus stabil dan menjadi pemain kunci di pasar Asia Tenggara.
Namun sejauh ini apakah produk-produk dalam negeri memiliki daya saing dibanding sejumlah produk lain dari negeri-negeri seberang? Sebuah produk baru dapat dikatakan berdaya saing bila kualitasnya baik dan selalu ada inovasi baru yang ditawarkan ke pasar. Hanya saja, untuk menciptakan produk yang inovatif tidak bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana, perusahaan mesti membangun iklim inovasi di berbagai sisi, baik terhadap karyawan, CEO, tim kreatif, bahkan semua lingkungan internal institusi bisnis.
Iklim membangun kapabilitas inovasi itu baru bisa dilakukan bila pimpinan perusahaan mampu melakukan restrukturisasi organisasi di dalam. Pernyataan tersebut disampaikan Core Faculty Member School of Management PPM Riza Aryanto saat menjadi narasumber konferensi bertajuk Facing ASEAN Economic Community 2015 Through Product Development And Innovation Strategies, yang diselenggarakan PPM Manajemen, Kamis (23/10).
Kapabilitas inovasi itu patut dikembangkan bagi semua perusahaan. Menurut Riza, hal itu bisa dilakukan dengan melihat sejumlah variabel yang mempengaruhinya, yaitu visi dan strategi, kepemimpinan, kompetensi, intelijen perusahaan (pemahaman pasar dan pesaing), kreativitas dan ide, struktur organisasi, sistem dalam organisasi, budaya organisasi, teknologi, dan manajemen risiko. MEA adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi 10 negara ASEAN.
“Lalu apakah produk kita sejauh ini punya daya saing? Menurut saya, ada banyak produk industri kita yang sudah berdaya saing karena inovasinya. Tapi, potensi itu belum dilihat sebagai modal bagi kesiapan menuju MEA,” kata Riza kepada KORAN SINDO.
Dalam hal menciptakan iklim perusahaan yang inovatif, sekiranya semua pihak bisa melihat bagaimana sejumlah korporasi yang bergerak di bidang teknologi informasi merestrukturisasi organisasi di internal mereka. Kenyataan tersebut dapat disaksikan, misalnya pada Yahoo, Facebook, Google, dan Microsoft.
Sejumlah perusahaan raksasa tersebut bukan hanya melakukan restrukturisasi organisasi, melainkan juga mengonsep suasana kantornya agar semua karyawan merasa nyaman bekerja dan mudah menemukan ide juga inovasi yang kreatif setiap saat. Sehingga, terkadang publik menjumpai bahwa sebuah produk handphone, misalnya, seri terbaru belum habis di pasaran, lalu tak butuh waktu lama keluar seri yang paling baru lagi. “Kita tidak bisa merealisasikan ide itu sendirian dalam sebuah perusahaan, tapi harus lewat sistem, tanpa ada sistem yang kuat maka ide itu tidak akan berjalan,” kata Riza.
Saat ini, untuk melakukan kapabilitas inovasi sebuah perusahaan akan menghadapi sejumlah tantangan, yaitu terkait dengan era kolaborasi (co-creation, coideation, crowdsourching , dan open innovation ), meningkatnya tuntutan pasar, ketergantungan inovasi satu dengan yang lain, serta perkembangan teknologi.
Di era MEA nanti, sudah pasti produk yang bisa melahirkan inovasi-inovasi baru yang akan mudah diterima konsumen lintas negara. Kebebasan pasar akan mendorong setiap produk untuk saling berkompetisi, sayangnya dalam prinsip berbisnis hampir tak ada konsumen yang idealis dengan hanya akan membeli produk- produk dalam negerinya saja. Sebab pada dasarnya sifat konsumen akan tertarik dengan barang-barang yang berkualitas, inovatif, dan punya daya saing tinggi.
Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro mengatakan, membangun kapabilitas inovasi sangat penting bagi semua perusahaan. Pada konteks menghadapi MEA, produk-produk dalam negeri mutlak memiliki inovasi setiap saat. Seperti halnya di RNI, meski perusahaan BUMN ini memiliki sektor produksi yang beragam namun kapabilitas inovasi menjadi pokok utama.
Sementara di tempat yang berbeda, Kepala Bidang Ekonomi di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Djisman Simanjuntak menjelaskan, sangat terlambat bila sebagian pelaku bisnis di dalam negeri membincangkan kesiapan Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN saat ini. Sebab pada dasarnya, selama ini konsep kerja sama ekonomi di antara negara-negara ASEAN sudah lama terjalin. Justru, pada tahun depan itu merupakan klimaksnya di mana 10 negara akan mengevaluasi kerja sama ini, baik di bidang transportasi logistik maupun pertukaran tenaga kerja.
Penerapan MEA tinggal menghitung hari. Apapun fakta yang terjadi di Indonesia saat ini, negara ini harus menjadi pemain di dalamnya. Tinggal menentukan, apakah Indonesia akan menjadi pemain aktif atau pasif. Tunggu saja!
Nafi muthohirin
Tapi, segala sesuatunya harus sudah dipersiapkan, mulai dari pembangunan infrastruktur, penciptaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, perbaikan sistem birokrasi, hingga menumbuhkan iklim perusahaan yang kondusif. Dengan demikian, perekonomian dalam negeri akan terus stabil dan menjadi pemain kunci di pasar Asia Tenggara.
Namun sejauh ini apakah produk-produk dalam negeri memiliki daya saing dibanding sejumlah produk lain dari negeri-negeri seberang? Sebuah produk baru dapat dikatakan berdaya saing bila kualitasnya baik dan selalu ada inovasi baru yang ditawarkan ke pasar. Hanya saja, untuk menciptakan produk yang inovatif tidak bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana, perusahaan mesti membangun iklim inovasi di berbagai sisi, baik terhadap karyawan, CEO, tim kreatif, bahkan semua lingkungan internal institusi bisnis.
Iklim membangun kapabilitas inovasi itu baru bisa dilakukan bila pimpinan perusahaan mampu melakukan restrukturisasi organisasi di dalam. Pernyataan tersebut disampaikan Core Faculty Member School of Management PPM Riza Aryanto saat menjadi narasumber konferensi bertajuk Facing ASEAN Economic Community 2015 Through Product Development And Innovation Strategies, yang diselenggarakan PPM Manajemen, Kamis (23/10).
Kapabilitas inovasi itu patut dikembangkan bagi semua perusahaan. Menurut Riza, hal itu bisa dilakukan dengan melihat sejumlah variabel yang mempengaruhinya, yaitu visi dan strategi, kepemimpinan, kompetensi, intelijen perusahaan (pemahaman pasar dan pesaing), kreativitas dan ide, struktur organisasi, sistem dalam organisasi, budaya organisasi, teknologi, dan manajemen risiko. MEA adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi 10 negara ASEAN.
“Lalu apakah produk kita sejauh ini punya daya saing? Menurut saya, ada banyak produk industri kita yang sudah berdaya saing karena inovasinya. Tapi, potensi itu belum dilihat sebagai modal bagi kesiapan menuju MEA,” kata Riza kepada KORAN SINDO.
Dalam hal menciptakan iklim perusahaan yang inovatif, sekiranya semua pihak bisa melihat bagaimana sejumlah korporasi yang bergerak di bidang teknologi informasi merestrukturisasi organisasi di internal mereka. Kenyataan tersebut dapat disaksikan, misalnya pada Yahoo, Facebook, Google, dan Microsoft.
Sejumlah perusahaan raksasa tersebut bukan hanya melakukan restrukturisasi organisasi, melainkan juga mengonsep suasana kantornya agar semua karyawan merasa nyaman bekerja dan mudah menemukan ide juga inovasi yang kreatif setiap saat. Sehingga, terkadang publik menjumpai bahwa sebuah produk handphone, misalnya, seri terbaru belum habis di pasaran, lalu tak butuh waktu lama keluar seri yang paling baru lagi. “Kita tidak bisa merealisasikan ide itu sendirian dalam sebuah perusahaan, tapi harus lewat sistem, tanpa ada sistem yang kuat maka ide itu tidak akan berjalan,” kata Riza.
Saat ini, untuk melakukan kapabilitas inovasi sebuah perusahaan akan menghadapi sejumlah tantangan, yaitu terkait dengan era kolaborasi (co-creation, coideation, crowdsourching , dan open innovation ), meningkatnya tuntutan pasar, ketergantungan inovasi satu dengan yang lain, serta perkembangan teknologi.
Di era MEA nanti, sudah pasti produk yang bisa melahirkan inovasi-inovasi baru yang akan mudah diterima konsumen lintas negara. Kebebasan pasar akan mendorong setiap produk untuk saling berkompetisi, sayangnya dalam prinsip berbisnis hampir tak ada konsumen yang idealis dengan hanya akan membeli produk- produk dalam negerinya saja. Sebab pada dasarnya sifat konsumen akan tertarik dengan barang-barang yang berkualitas, inovatif, dan punya daya saing tinggi.
Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro mengatakan, membangun kapabilitas inovasi sangat penting bagi semua perusahaan. Pada konteks menghadapi MEA, produk-produk dalam negeri mutlak memiliki inovasi setiap saat. Seperti halnya di RNI, meski perusahaan BUMN ini memiliki sektor produksi yang beragam namun kapabilitas inovasi menjadi pokok utama.
Sementara di tempat yang berbeda, Kepala Bidang Ekonomi di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Djisman Simanjuntak menjelaskan, sangat terlambat bila sebagian pelaku bisnis di dalam negeri membincangkan kesiapan Indonesia menghadapi pasar bebas ASEAN saat ini. Sebab pada dasarnya, selama ini konsep kerja sama ekonomi di antara negara-negara ASEAN sudah lama terjalin. Justru, pada tahun depan itu merupakan klimaksnya di mana 10 negara akan mengevaluasi kerja sama ini, baik di bidang transportasi logistik maupun pertukaran tenaga kerja.
Penerapan MEA tinggal menghitung hari. Apapun fakta yang terjadi di Indonesia saat ini, negara ini harus menjadi pemain di dalamnya. Tinggal menentukan, apakah Indonesia akan menjadi pemain aktif atau pasif. Tunggu saja!
Nafi muthohirin
(ars)