Jokowi-JK Diingatkan Relawannya Agar Tak Salah Pilih Menteri
A
A
A
JAKARTA - Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla diingatkan relawannya agar tidak asal memilih menterinya.
Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi – Jusuf Kalla, Sukmadji Indro Tjahyono, mengatakan para menteri di kabinet Jokowi-Jusuf Kalla nantinya harus tokoh yang bersih dari perbuatan tercela, pekerja keras, memihak rakyat, benar-benar profesional dan bukan politisi busuk.
Dia pun mengakui, untuk memilih menteri yang memiliki kriteria itu tidaklah mudah.
Menurut dia, hal demikian memang tugas berat bagi Jokowi – Jusuf Kalla, yang dari awal sesumbar untuk membentuk kabinet ahli, kabinet karya atau zaken kabinet.
Padahal, lanjut dia, kenyataannya pembentukan kabinet yang berlangsung selama ini juga memasukkan tokoh-tokoh partai politik yang mendukung atau bahkan yang sebelumnya jelas-jelas sebagai lawan politik Jokowi – JK.
"Mengharap profesionalisme dari tokoh-tokoh partai politik seperti menegakkan benang basah, karena mereka jelas-jelas akan mengusung misi kepentingan partainya," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/10/2014).
Sukmadji menambahkan, belum juga habis kekecewaan tentang gagalnya pembentukan kabinet ahli, Jokowi – JK ternyata juga 'ramah' terhadap beberapa orang yang ditengarai sebagai jaringan mafia yang membegal perekonomian negara.
Dia menegaskan, kekecewaan juga bertambah ketika muncul banyak susunan kabinet spekulatif yang memasukkan orang-orang yang dibenci dan menjadi musuh rakyat.
Termasuk, lanjut dia, para selebritas dan orang-orang yang tidak ikut serta berjuang dalam memenangkan Jokowi – JK, tetapi tiba-tiba ingin masuk di jajaran kabinet.
"Mungkin saja karena relawan umumnya adalah para loyalis, anomali-anomali dalam penyusunan kabinet tersebut ditolerir terus," katanya.
Hal ini, sambung dia, juga karena menghargai hak prerogatif presiden dalam menyusun kabinet.
Namun, kata dia, jika hak prerogatif presiden tersebut menafikan harapan rakyat;
khususnya para relawan yang selama ini dengan jerih payah berjuang memenangkan Jokowi – JK, maka kabinet yang disusun oleh presiden sangat berpotensi menjadi anti klimak bagi hubungan presiden dengan para relawan.
“Ibaratnya mengubah euforia menjadi satu tragedi," timpalnya. Sikap relawan, tutur dia, bisa saja berbalik menjadi pihak yang tidak lagi suportif terhadap pemerintahan saat ini.
Kekecewaan seperti ini, ungkap dia, pernah terjadi pada saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden pada 2004.
Kekecewaan tersebut, katanya, berlanjut menjadi trauma politik yang menyudutkan SBY sebagai seorang pecundang sampai lengser dari kekuasaannya.
"SBY yang pragmatis dengan membentuk Sekretariat Gabungan para partai politik pendukungnya dan membiarkan mereka melakukan bancakan Anggaran Negara, membuktikan SBY hanya menjalankan adagium 'power for the sake of power' alias mengejar kekuasaan semata," tegasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, kecenderungan semacam ini juga diindikasikan oleh bagaimana Presiden Jokowi menyusun kabinetnya.
Walaupun, menurut dia, mungkin tidak ada transaksi dengan hitung-hitungan yang bersifat kongkret, tetapi mengajak semua partai politik ikut dalam kabinet merupakan bentuk dari transaksi virtual.
“Barangkali para relawan tidak akan memberi reaksi yang bersifat frontal begitu kabinet diumumkan. Tetapi setelah 100 hari kerja, keadaan bisa saja berbalik 180 derajat," ujarnya yang juga koordinator People Power Front for Democracy (PPFD) ini.
Kekuasaan itu bisa menjadi amanat, sambung dia, tetapi juga bisa mendatangkan laknat kalau dijalankan dengan sewenang-wenang.
Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi – Jusuf Kalla, Sukmadji Indro Tjahyono, mengatakan para menteri di kabinet Jokowi-Jusuf Kalla nantinya harus tokoh yang bersih dari perbuatan tercela, pekerja keras, memihak rakyat, benar-benar profesional dan bukan politisi busuk.
Dia pun mengakui, untuk memilih menteri yang memiliki kriteria itu tidaklah mudah.
Menurut dia, hal demikian memang tugas berat bagi Jokowi – Jusuf Kalla, yang dari awal sesumbar untuk membentuk kabinet ahli, kabinet karya atau zaken kabinet.
Padahal, lanjut dia, kenyataannya pembentukan kabinet yang berlangsung selama ini juga memasukkan tokoh-tokoh partai politik yang mendukung atau bahkan yang sebelumnya jelas-jelas sebagai lawan politik Jokowi – JK.
"Mengharap profesionalisme dari tokoh-tokoh partai politik seperti menegakkan benang basah, karena mereka jelas-jelas akan mengusung misi kepentingan partainya," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/10/2014).
Sukmadji menambahkan, belum juga habis kekecewaan tentang gagalnya pembentukan kabinet ahli, Jokowi – JK ternyata juga 'ramah' terhadap beberapa orang yang ditengarai sebagai jaringan mafia yang membegal perekonomian negara.
Dia menegaskan, kekecewaan juga bertambah ketika muncul banyak susunan kabinet spekulatif yang memasukkan orang-orang yang dibenci dan menjadi musuh rakyat.
Termasuk, lanjut dia, para selebritas dan orang-orang yang tidak ikut serta berjuang dalam memenangkan Jokowi – JK, tetapi tiba-tiba ingin masuk di jajaran kabinet.
"Mungkin saja karena relawan umumnya adalah para loyalis, anomali-anomali dalam penyusunan kabinet tersebut ditolerir terus," katanya.
Hal ini, sambung dia, juga karena menghargai hak prerogatif presiden dalam menyusun kabinet.
Namun, kata dia, jika hak prerogatif presiden tersebut menafikan harapan rakyat;
khususnya para relawan yang selama ini dengan jerih payah berjuang memenangkan Jokowi – JK, maka kabinet yang disusun oleh presiden sangat berpotensi menjadi anti klimak bagi hubungan presiden dengan para relawan.
“Ibaratnya mengubah euforia menjadi satu tragedi," timpalnya. Sikap relawan, tutur dia, bisa saja berbalik menjadi pihak yang tidak lagi suportif terhadap pemerintahan saat ini.
Kekecewaan seperti ini, ungkap dia, pernah terjadi pada saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden pada 2004.
Kekecewaan tersebut, katanya, berlanjut menjadi trauma politik yang menyudutkan SBY sebagai seorang pecundang sampai lengser dari kekuasaannya.
"SBY yang pragmatis dengan membentuk Sekretariat Gabungan para partai politik pendukungnya dan membiarkan mereka melakukan bancakan Anggaran Negara, membuktikan SBY hanya menjalankan adagium 'power for the sake of power' alias mengejar kekuasaan semata," tegasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, kecenderungan semacam ini juga diindikasikan oleh bagaimana Presiden Jokowi menyusun kabinetnya.
Walaupun, menurut dia, mungkin tidak ada transaksi dengan hitung-hitungan yang bersifat kongkret, tetapi mengajak semua partai politik ikut dalam kabinet merupakan bentuk dari transaksi virtual.
“Barangkali para relawan tidak akan memberi reaksi yang bersifat frontal begitu kabinet diumumkan. Tetapi setelah 100 hari kerja, keadaan bisa saja berbalik 180 derajat," ujarnya yang juga koordinator People Power Front for Democracy (PPFD) ini.
Kekuasaan itu bisa menjadi amanat, sambung dia, tetapi juga bisa mendatangkan laknat kalau dijalankan dengan sewenang-wenang.
(sms)