Ada Novum, Eks Jaksa Urip Ajukan PK
A
A
A
JAKARTA - Pengadilan Tipikor menggelar sidang perdana PK terpidana kasus suap dana BLBI, terhadap mantan Jaksa Urip Tri Gunawan.
Menurut Urip, sidang PK atau peninjauan kembali, dilakukan setelah ditemukan bukti baru atau novum yang menyeretnya ke dalam penjara. Urip berpendapat ada sejumlah bukti baru kenapa dia mengajukan PK.
Novum pertama adalah, KPK dan Kejaksaan Agung sama-sama menyelidiki perkara BLBI ini. Dia mengaku tidak ada unsur 'melawan hukum' yang menjadi dasar tindak pidana terhadapnya.
Kemudian novum kedua, Urip mempersoalkan frasa hukum, di mana terdapat 'perintah supaya ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan'.
Padahal kata eks Jaksa Urip, frasa tersebut tidak ada dalam amar putusan. Dengan frasa itu, Urip berpendapat, hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012, sehingga putusan terhadapnya harus dibatalkan.
Kemudian pada novum ketiga, Urip berpendapat, jaksa pada KPK dinilai tidak berwenang dalam memutus perkara tersebut. Kata Urip, kewenangan itu ada di ranah jaksa pada Kejaksaan Agung.
Tak sampai di situ, pengajuan PK ini, karena Urip memandang terdapat ketidaksesuaian penerapan pasal suap kasus BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang dibebankan dirinya.
Menurut Urip, pihak pemberi suap, Artalyta Suryani telah divonis pengadilan sebagai pelaku aktif. Dia dinilai terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurut Urip, putusan terhadap Artalyta bertentangan dengan putusan pengadilan untuknya. Pendapatnya, mengacu pada putusan pengadilan, ia dituduh sebagai pelaku aktif.
"Seharusnya lebih tepat sebagai pelaku pasif," ujar Urip dalam sidang Tipikor, Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Lebih lanjut Urip mengatakan, pengajuan PK karena dalam pasal yang ditetapkan dirinya, yaitu Pasal 12 huruf b dan huruf e tidak tepat. Seharusnya, pasal yang tepat adalah Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor yang ancaman hukuman maksimalnya pidana 5 tahun penjara.
Terakhir menurut Urip, putusan pidana penjara selama 20 tahun dan denda Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 huruf b dan huruf e UU Tipikor, dirasa terlalu berat. Dia berharap kepada majelis hakim untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukannya.
"Terhadap pidana penjara yang dijatuhkan, terdapat ketimpangan yang menyolok dibandingkan pelaku tindak pidana korupsi yang lain, demikian pula denda yang diputuskan sangat berat, tidak mampu kami bayar," ungkapnya.
Dalam kasusnya, mantan Jaksa Urip divonis pada pengadilan tingkat pertama dengan hukuman penjara selama 20 tahun, dan denda sebesar Rp500 juta subsider satu tahun kurungan.
Urip terbukti memeras Artalyta Suryani, orang kepercayaan obligor BLBI Sjamsul Nursalim sebesar US$ 660 ribu. Urip dijerat sesuai dengan Pasal 12 huruf b dan huruf e UU Tipikor.
Tak puas vonis pertama, Urip Kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, kasasi Urip ditolak MA. Sehingga, Urip tetap harus menjalani hukuman pidana selama 20 tahun penjara.
Menurut Urip, sidang PK atau peninjauan kembali, dilakukan setelah ditemukan bukti baru atau novum yang menyeretnya ke dalam penjara. Urip berpendapat ada sejumlah bukti baru kenapa dia mengajukan PK.
Novum pertama adalah, KPK dan Kejaksaan Agung sama-sama menyelidiki perkara BLBI ini. Dia mengaku tidak ada unsur 'melawan hukum' yang menjadi dasar tindak pidana terhadapnya.
Kemudian novum kedua, Urip mempersoalkan frasa hukum, di mana terdapat 'perintah supaya ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan'.
Padahal kata eks Jaksa Urip, frasa tersebut tidak ada dalam amar putusan. Dengan frasa itu, Urip berpendapat, hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012, sehingga putusan terhadapnya harus dibatalkan.
Kemudian pada novum ketiga, Urip berpendapat, jaksa pada KPK dinilai tidak berwenang dalam memutus perkara tersebut. Kata Urip, kewenangan itu ada di ranah jaksa pada Kejaksaan Agung.
Tak sampai di situ, pengajuan PK ini, karena Urip memandang terdapat ketidaksesuaian penerapan pasal suap kasus BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang dibebankan dirinya.
Menurut Urip, pihak pemberi suap, Artalyta Suryani telah divonis pengadilan sebagai pelaku aktif. Dia dinilai terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurut Urip, putusan terhadap Artalyta bertentangan dengan putusan pengadilan untuknya. Pendapatnya, mengacu pada putusan pengadilan, ia dituduh sebagai pelaku aktif.
"Seharusnya lebih tepat sebagai pelaku pasif," ujar Urip dalam sidang Tipikor, Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Lebih lanjut Urip mengatakan, pengajuan PK karena dalam pasal yang ditetapkan dirinya, yaitu Pasal 12 huruf b dan huruf e tidak tepat. Seharusnya, pasal yang tepat adalah Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor yang ancaman hukuman maksimalnya pidana 5 tahun penjara.
Terakhir menurut Urip, putusan pidana penjara selama 20 tahun dan denda Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 huruf b dan huruf e UU Tipikor, dirasa terlalu berat. Dia berharap kepada majelis hakim untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukannya.
"Terhadap pidana penjara yang dijatuhkan, terdapat ketimpangan yang menyolok dibandingkan pelaku tindak pidana korupsi yang lain, demikian pula denda yang diputuskan sangat berat, tidak mampu kami bayar," ungkapnya.
Dalam kasusnya, mantan Jaksa Urip divonis pada pengadilan tingkat pertama dengan hukuman penjara selama 20 tahun, dan denda sebesar Rp500 juta subsider satu tahun kurungan.
Urip terbukti memeras Artalyta Suryani, orang kepercayaan obligor BLBI Sjamsul Nursalim sebesar US$ 660 ribu. Urip dijerat sesuai dengan Pasal 12 huruf b dan huruf e UU Tipikor.
Tak puas vonis pertama, Urip Kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, kasasi Urip ditolak MA. Sehingga, Urip tetap harus menjalani hukuman pidana selama 20 tahun penjara.
(maf)