Indikasi Kecurangan Pilpres 2014 Semakin Jelas

Selasa, 12 Agustus 2014 - 17:10 WIB
Indikasi Kecurangan Pilpres 2014 Semakin Jelas
Indikasi Kecurangan Pilpres 2014 Semakin Jelas
A A A
JAKARTA - Kecurangan-kecurangan yang diduga terjadi pada Pilpres 2014 merupakan kemunduran dari proses demokrasi di negeri ini. Otoritas-otoritas yang diberi kewenangan oleh konstitusi dan undang-undang harus mengungkap segala bentuk kecurangan agar Pilpres 2014 tidak tercatat sebagai pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia.

Seperti yang terjadi di 12 kabupaten di Papua, Tim Pembela Merah Putih Prabowo-Hatta menganggap tidak terjadi pelaksanaan pilpres karena pelaksana pilpres langsung membagikan surat suara untuk kemudian dicoblos.

Dalam pleno di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prabowo-Hatta mengajukan keberatan terhadap hasil perhitungan suara di 12 kabupaten/kota di Papua yang mengunakan sistem noken. Dengan demikian, terdapat keberatan terhadap lima kabupaten yaitu Kabupaten Sarmi, Kepulauan Yapen, Nabire, Keroom, dan Kota Jayapura.

Selain itu, terkait gugatan penggunaan sistem noken, dimana ada 12 kabupaten yang digugat diantaranya Yalimo, Yahukimo, Puncak Jaya, Jayawijaya dan sejumlah kabupaten lainnya di Pegunungan Tengah Papua.

Salah satu saksi Elvincent Dokomo memberikan keterangan bahwa di Kabupaten Dogiyai pasangan nomor urut 1, Prabowo-Hatta mendapat angka nol.

“Kabupaten Dogiyai dapat nol karena ketua penyelenggara, beserta empat anggotanya itu memerintahkan PPS, PPD, sampai KPPS untuk mereka nomor satu kosong, semua suara dikasih ke nomor dua, jadi tidak ada pencoblosan,” kata Elvincent saat bersaksi di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (12/8/2014).

Tim Pembela Merah Putih Maqdir Ismail mengatakan, pilpres ini tidak berjalan dengan segala sistem yang telah disepakati. Ini sesuatu yang semestinya tidak terjadi.

Lebih lanjut, kata dia, kejanggalan terjadi di Sumatera Utara, khususnya Nias, ada saksi yang mengemukakan bahwa ada pencoblosan yang dilakukan oleh KPPS, jadi penyelenggara tingkat bawah yang melakukan pemilihan siapa yang akan mereka pilih. “Saya kira tidak benar cara-cara seperti ini,” katanya.

Bahkan, salah satu saksi memberikan kesaksian bahwa orang tuanya yang sudah meninggal pun tercatat ikut memilih. “Orang tua yang sudah meninggal ini tercatat sebagai pemilih dan namanya tercatat empat kali sebagai pemilih, bahkan dirinya dan kakaknya tercatat enam kali sebagai pemilih,” terangnya.

Sementara, salah satu Anggota Tim Pembela Merah Putih Firman Wijaya mengemukakan, data KPU sulit dipertanggungjawabkan. Mahkamah Konstitusi (MK), kata Firman, perlu menguji kalau kecurangan-kecurangan ini ada kaitannya dengan tekanan, intimidasi yang merusak sistem penyelenggaraan Pemilu.

“Ini sudah masuk wilayah elections of crime yang dimensi kerusakannya itu luar biasa, maka, saya menawarkan konsep yang namanya whistle blower. Saksi-saksi ini harus dilindungi keamanannya karena keberanian mereka mengungkapkan fakta,” kata Firman.

Sementara, Pengamat politik Didin Muhafidin mengatakan, MK merupakan lembaga politik yang berarti seluruh informasi, saran, masukan (input) terhadap keberatan penyelenggaraan pilpres harus dapat diakomodir.

"Semuanya harus dapat diakomodir agar pada akhirnya dapat memberikan kebijakan yang lebih baik dan diterima semua pihak," katanya.

Didin meminta seluruh informasi, saran, masukan (input) terhadap keberatan penyelenggaraan pilpres di wilayah-wilayah yang diduga terjadi sejumlah wilayah Indonesia termasuk di Papua sekalipun harus dihimpun.

Menurut Didin, dalam sidang MK sebenarnya perbedaan-perbedaan pandangan antara penggugat dengan KPU sebenarnya dapat memiliki titik temu apabila sejak awal sudah ada sikap tegas.

"Misalnya seperti apa yang disebut dengan pelanggaran terstruktur, kalau pandangan saya berarti melibatkan penyelenggara dari tingkat RT sampai presiden, maka pandangan itu saja yang digunakan," bebernya.

Didin yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan ICMI mengatakan MK sebagai lembaga negara juga harus memiliki fungsi katalis public interest, yang berarti dalam menyiapkan keputusan harus mampu menjaga agar jangan sampai terjadi disintegrasi bangsa.

MK harus memiliki kemampuan menjaga kedaulatan bangsa dalam setiap keputusannya sehingga harus ada alat ukur yang jelas untuk membuktikan apakah telah terjadi pelanggaran atau tidak.

"MK sebagai lembaga negara harus memperlihatkan diri tetap netral dalam mengeluarkan kebijakan termasuk dalam persiapannya," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6134 seconds (0.1#10.140)