Pelegalan Aborsi, Rawan di Salahgunakan Oknum
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang di dalamnya diatur melegalkan aborsi bagi perempuan yang hamil akibat pemerkosaan disinyalir mudah disalahgunakan oleh oknum. Untuk itu, pengawasan dan manajemennya harus jelas dan tertata benar.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Uninversitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengatakan PP tersebut dapat menyebabkan konflik. Dalam permasalahan etik, dapat dibenarkan anak dari korban pemerkosaan karena tidak diinginkan dapat menyebabkan psikologis ibunya ke depan.
“Bisa jadi hal tersebut disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Diungkapnya hasil pemerkosaan padahal bukan. Sehingga PP ini rawan disalahgunakan,” katanya saat dihubungi SINDO, Senin 11 Agustus 2014.
Menurut dia, agar tidak disalahgunakan administrasi dan pengawasan haruslah ketat. Hal ini dapat dilihat dari prosedur pemeriksaan harus sesuai dan tanpa ada kongkalikong sehingga penyalahgunaan kebijakan tersebut tidak disalahgunakan.
Dalam unsur kesehatan, diyakini Hasbullah bahwa hal itu tidak membahayakan kesehatan si ibu. Karena saat ini teknologi aborsi dan alat-alat kedokteran sudah sangat bagus.
“Yang ditakuti adalah mereka yang tidka melakukan teknik aborsi bukan pada ahlinya seperti dukun dan itu menambah angka kematian pada ibu. Karena mereka salah tempat, itu yang membahayakan,” tandasnya.
Selanjutnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut. Karena sering kali peraturan yang dibuat lemah dalam implementasinya karena ketidaktahuan masyarakat. Sehingga mudah disalah gunakan.
Dengan dilengkapi bukti aturan medis, prosedur evaluasi dari psikiater, dan pembuktian kasus pemerkosaan yang tidak diinginkan menjadi bukti kuat untuk dapat seorang ibu melakukan aborsi.
“Akibat pemerkosaan itu membuat jiwanya terganggu ditambah si ibu harus melahirkan maka dapat dipertimbangkan. Kecuali pada kasus si ibu tidak boleh hamil karena suatu penyakit dan membahayakan kesehatan ibunya, maka diharuskan aborsi tapi kasus tersebut jarang terajdi,” paparnya.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Uninversitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengatakan PP tersebut dapat menyebabkan konflik. Dalam permasalahan etik, dapat dibenarkan anak dari korban pemerkosaan karena tidak diinginkan dapat menyebabkan psikologis ibunya ke depan.
“Bisa jadi hal tersebut disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Diungkapnya hasil pemerkosaan padahal bukan. Sehingga PP ini rawan disalahgunakan,” katanya saat dihubungi SINDO, Senin 11 Agustus 2014.
Menurut dia, agar tidak disalahgunakan administrasi dan pengawasan haruslah ketat. Hal ini dapat dilihat dari prosedur pemeriksaan harus sesuai dan tanpa ada kongkalikong sehingga penyalahgunaan kebijakan tersebut tidak disalahgunakan.
Dalam unsur kesehatan, diyakini Hasbullah bahwa hal itu tidak membahayakan kesehatan si ibu. Karena saat ini teknologi aborsi dan alat-alat kedokteran sudah sangat bagus.
“Yang ditakuti adalah mereka yang tidka melakukan teknik aborsi bukan pada ahlinya seperti dukun dan itu menambah angka kematian pada ibu. Karena mereka salah tempat, itu yang membahayakan,” tandasnya.
Selanjutnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut. Karena sering kali peraturan yang dibuat lemah dalam implementasinya karena ketidaktahuan masyarakat. Sehingga mudah disalah gunakan.
Dengan dilengkapi bukti aturan medis, prosedur evaluasi dari psikiater, dan pembuktian kasus pemerkosaan yang tidak diinginkan menjadi bukti kuat untuk dapat seorang ibu melakukan aborsi.
“Akibat pemerkosaan itu membuat jiwanya terganggu ditambah si ibu harus melahirkan maka dapat dipertimbangkan. Kecuali pada kasus si ibu tidak boleh hamil karena suatu penyakit dan membahayakan kesehatan ibunya, maka diharuskan aborsi tapi kasus tersebut jarang terajdi,” paparnya.
(kri)