Pertambahan DPT Pilpres 2014 Tak Wajar Secara Demografi
A
A
A
JAKARTA - Pertambahan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 yang mencapai angka enam juta pemilih dinilai tidak wajar.
Pasalnya, kalaupun dua juta dari jumlah tersebut merupakan pemilih yang bisa memilih karena sudah menikah, dalam ilmu demografi tidak mungkin ada pertambahan empat juta dalam kurun waktu tiga bulan saja.
“Harusnya enggak mungkin ada penambahan sampai empat juta pemilih dalam waktu tiga bulan,” kata Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Sonny Harry Budiotomo Harmadi ketika dihubungi SINDO di Jakarta, Senin 11 Agustus 2014.
Sonny menjelaskan, kalau penambahan enam juta itu merupakan pemilih baru yang berusia 17 tahun dan belum 17 tahun tapi sudah menikah. Jika pemilih yang belum berusia 17 tahun namun sudah menikah sebanyak dua juta orang, tetapi tidak mungkin rasanya dalam waktu tiga bulan ada penambahan empat juta pemilih baru yang berusia 17 tahun dalam waktu tiga bulan saja.
“Logikanya, 17 tahun yang lalu dalam kurun waktu April-Juli terdapat empat juta bayi yang lahir. Kan enggak wajar,” jelasnya.
Menurut Sonny, memang masih memungkinkan adanya pertambahan pemilih dalam kurun waktu tiga bulan namun, tidak mungkin sebanyak itu. Dia menduga, kesalahan ini dikarenakan oleh kesalahan dalam pencatatan dalam pemutakhiran daftar pemilih.
“Mungkin saja orang baru kembali dari luar negeri jadi baru tercatat, dan ada juga pemilih yang belum terdaftar,” terang Ekonom dari FEUI itu.
Selain itu, Sonny menduga, data sebelumnya atau data pemilih dalam pileg sudah tidak akurat. Sehingga, ketika dimutakhirkan masih ditemukan masalah meskipun, harus diakui jika data pemilih di pilpres sudah lebih baik ketimbang data yang digunakan dalam pileg.
“Pasti karena waktu itu data sebelumnya (pileg) lebih tidak akurat,” imbuhnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan, kepastian jumlah penduduk hanya Tuhan yang tahu. Karena tambahnya, sulit bisa mengetahui jumlah penduduk secara akurat jika tidak memiliki sistem data penduduk online.
Ditambahkannya, Indonesia belum memiliki sistem data penduduk yang dibutuhkan dan lagi harus melakukan pemutakhiran data dalam jumlah yang besar.
“Jadi updating datanya dalam waktu lama, dan enggak bisa cepat,” tandasnya.
Pasalnya, kalaupun dua juta dari jumlah tersebut merupakan pemilih yang bisa memilih karena sudah menikah, dalam ilmu demografi tidak mungkin ada pertambahan empat juta dalam kurun waktu tiga bulan saja.
“Harusnya enggak mungkin ada penambahan sampai empat juta pemilih dalam waktu tiga bulan,” kata Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Sonny Harry Budiotomo Harmadi ketika dihubungi SINDO di Jakarta, Senin 11 Agustus 2014.
Sonny menjelaskan, kalau penambahan enam juta itu merupakan pemilih baru yang berusia 17 tahun dan belum 17 tahun tapi sudah menikah. Jika pemilih yang belum berusia 17 tahun namun sudah menikah sebanyak dua juta orang, tetapi tidak mungkin rasanya dalam waktu tiga bulan ada penambahan empat juta pemilih baru yang berusia 17 tahun dalam waktu tiga bulan saja.
“Logikanya, 17 tahun yang lalu dalam kurun waktu April-Juli terdapat empat juta bayi yang lahir. Kan enggak wajar,” jelasnya.
Menurut Sonny, memang masih memungkinkan adanya pertambahan pemilih dalam kurun waktu tiga bulan namun, tidak mungkin sebanyak itu. Dia menduga, kesalahan ini dikarenakan oleh kesalahan dalam pencatatan dalam pemutakhiran daftar pemilih.
“Mungkin saja orang baru kembali dari luar negeri jadi baru tercatat, dan ada juga pemilih yang belum terdaftar,” terang Ekonom dari FEUI itu.
Selain itu, Sonny menduga, data sebelumnya atau data pemilih dalam pileg sudah tidak akurat. Sehingga, ketika dimutakhirkan masih ditemukan masalah meskipun, harus diakui jika data pemilih di pilpres sudah lebih baik ketimbang data yang digunakan dalam pileg.
“Pasti karena waktu itu data sebelumnya (pileg) lebih tidak akurat,” imbuhnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan, kepastian jumlah penduduk hanya Tuhan yang tahu. Karena tambahnya, sulit bisa mengetahui jumlah penduduk secara akurat jika tidak memiliki sistem data penduduk online.
Ditambahkannya, Indonesia belum memiliki sistem data penduduk yang dibutuhkan dan lagi harus melakukan pemutakhiran data dalam jumlah yang besar.
“Jadi updating datanya dalam waktu lama, dan enggak bisa cepat,” tandasnya.
(kri)