Pembukaan Kotak Suara Dinilai Jadi Kesalahan KPU
A
A
A
JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Endang Sulastri mengatakan harusnya KPU lebih berhati-hati dalam melakukan pembukaan kotak suara sehingga tidak disalahkan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk berbuat kecurangan.
"Pembukaan kotak suara oleh KPU adalah maksud baik yang dilakukan tanpa cara yang benar sehingga ini menjadi kesalahan KPU," kata Endang ketika dihubungi wartawan, Senin (11/8/2014).
Menurutnya, meski tidak ada sanksi pidana yang diberlakukan dalam UU Pemilu, tetapi bisa saja kesalahan ini dihubungkan dengan pelanggaran terhadap aset negara yang bisa juga menyeret sanksi pidana KPU.
"Jadi bisa saja ini menjadi pidana jika dihubungkan dengan perusakan aset negara," ujarnya.
Dikatakannya, bahwa sesuai Pasal 149 UU Pilpres penyelenggara pemilu wajib menjaga dan mengamankan kotak suara setelah proses rekapitulasi sehingga kotak suara terbut menjadi milik negara
Yang menjadi persoalan adalah, semua berkas dimasukan ke dalam kotak suara sehingga manakala membutuhkan salah satu berkas pemilu maka harus membuka kotak suara tersebut. "Ini yang menjadi persoalan yang sebelumnya harusnya bisa diantisipasi oleh KPU, sehingga tidak jadi celah yang dipersoalkan," ujarnya.
Hal inilah yang akhirnya dipersoalkan oleh pasangan Prabowo-Hatta yang menggugat profesionalisme KPU di Mahkamah Konstitusi (MK) dan juga di Dewan Kehomatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dalam sidang etik di DKPP nanti, kata Endang, kesalahan ini akan dinilai oleh Majelis Hakim apakah penyelenggara pemilu melanggar kode etiknya sebagai penyelenggara pemilu.
"Kode etik ini sanksinya bisa bemacam-macam sampai sanksi terberatnya adalah pemecatan," katanya.
Meski demikian, sambungnya, keputusan DKPP besifat personal sehingga tidak mempengaruhi keputusan lembaga. "Artinya keputusan DKPP tidak akan mempengaruhi keputusan KPU sebelumnya," ujarnya.
Akan tetapi keputusan DKPP ini bisa saja dijadikan pertimbangan hakim di MK sehingga bisa juga mempengaruhi keputusan KPU sebagaimana yang diadukan oleh para penggugat.
Sebelumnya, Sidang kedua gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di gedung MK kembali digelar hari ini. Dalam pembukaan pembacaan berkas tuntutannya, tim Prabowo-Hatta selaku pemohon menyoroti kasus pembukaan kotak suara yang dilakukan secara sepihak oleh KPU di beberapa TPS.
"KPU membuka alat bukti dengan melawan hukum. Oleh sebab itu bukti yang diajukan dalam persidangan sengketa pemilukada ini merupakan alat bukti yang tidak sah," kata Anggota tim kuasa hukum Prabowo-Hatta, Didi Supriyanto.
Menurut Didi apa yang dilakukan KPU merupakan pelanggatan etik penyelenggaraan pemilu. Selain itu bertentang dengan perundang-undangan
yang berlaku.
"Berdasarkan Pasal 149 UU Pilpres, KPU Kabupaten Kota menyimpan dan menjaga keutuhan kotak suara dalam keadaan digembok dan disegel di tempat yang terjaga kerahasiaannya. Dengan begitu seolah KPU sudah mengetahui terkait materi PHPU yang diajukan pemohon," imbuhnya.
Menurut kubu Prabowo-Hatta, pembukaan kotak suara tersebut adalah perbuatan melanggar hukum. "Selain dari kondisi tersebut di atas, tidak ditemukan peraturan yang memperbolehkan pembukaan dokumen perhitungan suara, tidak dibenarkan menurut hukum," ujarnya.
Prabowo-Hatta juga menduga, KPU beserta jajarannya melanggar peraturan perundang-undangan terkait pilpres. Di antaranya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan KPU Nomor 5, Nomor 18, Nomor 19, dan Nomor 20, serta Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kuasa hukum Merah Putih Maqdir Ismail meminta MK menyatakan batal dan tidak sah terhadap keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang
Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Setelah itu, pemohon lewat kuasa hukumnya, meminta MK menyatakan bahwa perolehan suara yang benar adalah yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan 66.435.124 suara.
"Pembukaan kotak suara oleh KPU adalah maksud baik yang dilakukan tanpa cara yang benar sehingga ini menjadi kesalahan KPU," kata Endang ketika dihubungi wartawan, Senin (11/8/2014).
Menurutnya, meski tidak ada sanksi pidana yang diberlakukan dalam UU Pemilu, tetapi bisa saja kesalahan ini dihubungkan dengan pelanggaran terhadap aset negara yang bisa juga menyeret sanksi pidana KPU.
"Jadi bisa saja ini menjadi pidana jika dihubungkan dengan perusakan aset negara," ujarnya.
Dikatakannya, bahwa sesuai Pasal 149 UU Pilpres penyelenggara pemilu wajib menjaga dan mengamankan kotak suara setelah proses rekapitulasi sehingga kotak suara terbut menjadi milik negara
Yang menjadi persoalan adalah, semua berkas dimasukan ke dalam kotak suara sehingga manakala membutuhkan salah satu berkas pemilu maka harus membuka kotak suara tersebut. "Ini yang menjadi persoalan yang sebelumnya harusnya bisa diantisipasi oleh KPU, sehingga tidak jadi celah yang dipersoalkan," ujarnya.
Hal inilah yang akhirnya dipersoalkan oleh pasangan Prabowo-Hatta yang menggugat profesionalisme KPU di Mahkamah Konstitusi (MK) dan juga di Dewan Kehomatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dalam sidang etik di DKPP nanti, kata Endang, kesalahan ini akan dinilai oleh Majelis Hakim apakah penyelenggara pemilu melanggar kode etiknya sebagai penyelenggara pemilu.
"Kode etik ini sanksinya bisa bemacam-macam sampai sanksi terberatnya adalah pemecatan," katanya.
Meski demikian, sambungnya, keputusan DKPP besifat personal sehingga tidak mempengaruhi keputusan lembaga. "Artinya keputusan DKPP tidak akan mempengaruhi keputusan KPU sebelumnya," ujarnya.
Akan tetapi keputusan DKPP ini bisa saja dijadikan pertimbangan hakim di MK sehingga bisa juga mempengaruhi keputusan KPU sebagaimana yang diadukan oleh para penggugat.
Sebelumnya, Sidang kedua gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di gedung MK kembali digelar hari ini. Dalam pembukaan pembacaan berkas tuntutannya, tim Prabowo-Hatta selaku pemohon menyoroti kasus pembukaan kotak suara yang dilakukan secara sepihak oleh KPU di beberapa TPS.
"KPU membuka alat bukti dengan melawan hukum. Oleh sebab itu bukti yang diajukan dalam persidangan sengketa pemilukada ini merupakan alat bukti yang tidak sah," kata Anggota tim kuasa hukum Prabowo-Hatta, Didi Supriyanto.
Menurut Didi apa yang dilakukan KPU merupakan pelanggatan etik penyelenggaraan pemilu. Selain itu bertentang dengan perundang-undangan
yang berlaku.
"Berdasarkan Pasal 149 UU Pilpres, KPU Kabupaten Kota menyimpan dan menjaga keutuhan kotak suara dalam keadaan digembok dan disegel di tempat yang terjaga kerahasiaannya. Dengan begitu seolah KPU sudah mengetahui terkait materi PHPU yang diajukan pemohon," imbuhnya.
Menurut kubu Prabowo-Hatta, pembukaan kotak suara tersebut adalah perbuatan melanggar hukum. "Selain dari kondisi tersebut di atas, tidak ditemukan peraturan yang memperbolehkan pembukaan dokumen perhitungan suara, tidak dibenarkan menurut hukum," ujarnya.
Prabowo-Hatta juga menduga, KPU beserta jajarannya melanggar peraturan perundang-undangan terkait pilpres. Di antaranya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan KPU Nomor 5, Nomor 18, Nomor 19, dan Nomor 20, serta Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kuasa hukum Merah Putih Maqdir Ismail meminta MK menyatakan batal dan tidak sah terhadap keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang
Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Setelah itu, pemohon lewat kuasa hukumnya, meminta MK menyatakan bahwa perolehan suara yang benar adalah yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan 66.435.124 suara.
(kri)