Tak Ada Lembaga Survei yang Bisa Paksa KPU
A
A
A
JAKARTA - Pemerhati pemilu Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) menegaskan bahwa quick count (hitung cepat) adalah bentuk partisipasi masyarakat yang harus memenuhi kaidah undang-undang. Diantaranya hasil hitung cepat tidak bersifat mengikat kepada penyelenggara pemilu.
Menurut Direktur Sigma Said Salahudin, jika sebuah lembaga survei membuat hitung cepat maka dia tidak bisa memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengamini hasil itu.
"Bisa saja perhitungan dia itu tepat, bisa saja akurat, tapi sifatnya tidak pasti. Juga tidak diklaim oleh lembaga tertentu saja. Banyaknya lembaga survei membuka peluang di antara lembaga-lembaga itu ada yang bisa akurat, ada yang kurang akurat, dan ada yang tidak akurat," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Minggu (13/7/2014).
Keakuratan hasil hitung cepat lembaga survei itu, lanjut dia, baru akan diketahui setelah hasil penetapan suara KPU secara nasional. Sebelum penetapan hasil KPU, maka tidak ada satu pun lembaga survei yang bisa dikatakan hasil hitung cepatnya paling akurat.
"Dikatakan akurat itu kalau ada data sandingannya. Data sandingannya adalah hasil hitung resmi KPU. Sebelum itu, tidak ada lembaga survei yang bisa dikatakan lebih akurat, kurang akurat atau tidak akurat," tandasnya.
Ia menegaskan, tak ada satu lembaga survei pun yang bisa mengatur penyelenggara pemilu agar hasilnya itu sesuai dengan hasil hitung cepat mereka. Menurutnya, berlebihan dan sangat kelewatan kalau ada lembaga survei yang mengatakan hasil pilpres harus sesuai dengan yang mereka punya.
"Kalau tidak sesuai berarti curang. Ini pernyataan yang berbahaya. Ini akan memicu konflik. Seandainya hasil KPU tidak sama, maka masyarakat bisa terprovokasi bahwa benar penyelenggara negara berbuat curang," tegasnya.
Sebelumnya di media Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi merasa hasil quick count yang dilakukan lembaganya sudah benar. Bahkan dengan lantang, Burhanudin menuding KPU salah jika hasil real count nya berbeda dengan hasil quick count miliknya.
Dalam quick count yang dilakukan Burhanudin memenangkan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 52.95 persen. Sementara pasangan capres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya memperoleh 47,05 persen.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2014.
Dalam konferensi persnya itu juga hadir perwakilan survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Lembaga itu adalah Populi Center, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Cyrus yang bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Menurut Direktur Sigma Said Salahudin, jika sebuah lembaga survei membuat hitung cepat maka dia tidak bisa memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengamini hasil itu.
"Bisa saja perhitungan dia itu tepat, bisa saja akurat, tapi sifatnya tidak pasti. Juga tidak diklaim oleh lembaga tertentu saja. Banyaknya lembaga survei membuka peluang di antara lembaga-lembaga itu ada yang bisa akurat, ada yang kurang akurat, dan ada yang tidak akurat," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Minggu (13/7/2014).
Keakuratan hasil hitung cepat lembaga survei itu, lanjut dia, baru akan diketahui setelah hasil penetapan suara KPU secara nasional. Sebelum penetapan hasil KPU, maka tidak ada satu pun lembaga survei yang bisa dikatakan hasil hitung cepatnya paling akurat.
"Dikatakan akurat itu kalau ada data sandingannya. Data sandingannya adalah hasil hitung resmi KPU. Sebelum itu, tidak ada lembaga survei yang bisa dikatakan lebih akurat, kurang akurat atau tidak akurat," tandasnya.
Ia menegaskan, tak ada satu lembaga survei pun yang bisa mengatur penyelenggara pemilu agar hasilnya itu sesuai dengan hasil hitung cepat mereka. Menurutnya, berlebihan dan sangat kelewatan kalau ada lembaga survei yang mengatakan hasil pilpres harus sesuai dengan yang mereka punya.
"Kalau tidak sesuai berarti curang. Ini pernyataan yang berbahaya. Ini akan memicu konflik. Seandainya hasil KPU tidak sama, maka masyarakat bisa terprovokasi bahwa benar penyelenggara negara berbuat curang," tegasnya.
Sebelumnya di media Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi merasa hasil quick count yang dilakukan lembaganya sudah benar. Bahkan dengan lantang, Burhanudin menuding KPU salah jika hasil real count nya berbeda dengan hasil quick count miliknya.
Dalam quick count yang dilakukan Burhanudin memenangkan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 52.95 persen. Sementara pasangan capres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya memperoleh 47,05 persen.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2014.
Dalam konferensi persnya itu juga hadir perwakilan survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Lembaga itu adalah Populi Center, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Cyrus yang bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS).
(kri)