Jimly: Syirik Jika Burhanudin Merasa Paling Benar
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie akhirnya angkat bicara terkait sesumbar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi. Jimly menilai, ucapan Burhanudin yang merasa hasil risetnya paling benar sama saja hendak menyaingi Tuhan.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, hasil hitung cepat (quick count) masih memiliki celah kesalahan meski sudah menggunakan metode paling ilmiah sekalipun.
"Namanya juga ilmu pengetahuan terbuka untuk dikritik benar atau tidak benar metode ilmiah itu. Kalau seseorang mengklaim merasa benar maka sama saja dia menyaingi Tuhan. Bisa syirik itu," ujar Jimly di kediamannya di Pondok Labu Indah, Jalan Margasatwa Raya, Jakarta Selatan, Sabtu (12/7/2014) petang.
Menurutnya, seseorang harus percaya dengan ilmu pengetahuan sebagai anugerah Tuhan dimana kebenaran kembali pada-Nya.
"Bisa menyaingi Tuhan kalau suatu metode ilmiah pasti benar. Metode itu bisa benar bisa salah. Buruk kalau pemimpin tidak percaya dengan ilmu, itu sunnatullah. Jangankan profesor yang baru botak satu kali, profesor yang sudah botak lima kali pun belum tentu benar," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi menyatakan di media, bila hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sama dengan hasil quick count miliknya, maka KPU salah.
Dalam quick count yang dilakukan Burhanudin memenangkan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 52.95 persen. Sementara pasangan capres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya memperoleh 47,05 persen.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2014.
Dalam konferensi persnya itu juga hadir perwakilan survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Lembaga itu adalah Populi Center, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Cyrus yang bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, hasil hitung cepat (quick count) masih memiliki celah kesalahan meski sudah menggunakan metode paling ilmiah sekalipun.
"Namanya juga ilmu pengetahuan terbuka untuk dikritik benar atau tidak benar metode ilmiah itu. Kalau seseorang mengklaim merasa benar maka sama saja dia menyaingi Tuhan. Bisa syirik itu," ujar Jimly di kediamannya di Pondok Labu Indah, Jalan Margasatwa Raya, Jakarta Selatan, Sabtu (12/7/2014) petang.
Menurutnya, seseorang harus percaya dengan ilmu pengetahuan sebagai anugerah Tuhan dimana kebenaran kembali pada-Nya.
"Bisa menyaingi Tuhan kalau suatu metode ilmiah pasti benar. Metode itu bisa benar bisa salah. Buruk kalau pemimpin tidak percaya dengan ilmu, itu sunnatullah. Jangankan profesor yang baru botak satu kali, profesor yang sudah botak lima kali pun belum tentu benar," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi menyatakan di media, bila hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sama dengan hasil quick count miliknya, maka KPU salah.
Dalam quick count yang dilakukan Burhanudin memenangkan pasangan calon presiden (capres) nomor urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 52.95 persen. Sementara pasangan capres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya memperoleh 47,05 persen.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2014.
Dalam konferensi persnya itu juga hadir perwakilan survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Lembaga itu adalah Populi Center, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas, Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Cyrus yang bekerja sama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS).
(kri)