Quick Count Sebuah Prediksi Bukan Kepastian

Jum'at, 11 Juli 2014 - 09:38 WIB
Quick Count Sebuah Prediksi Bukan Kepastian
Quick Count Sebuah Prediksi Bukan Kepastian
A A A
JAKARTA - Hasil penghitungan cepat atau quick count yang dijadikan dasar untuk mendeklarasikan kemenangan Pilpres 2014 oleh pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dinilai melanggar etika.

Direktur INDex yang juga pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI) Andy Agung Prihatna mengaku, sedih dan sangat menyesalkan karena hasil sebuah riset yang ilmiah memicu keadaan dan membuat tensi politik menjadi panas.

Padahal, riset seharusnya mendinginkan suasana. Menurut dia, hasil quick count dibangun berdasarkan prinsip-prinsip statistik di mana memberikan ruang adanya kesalahan. Makanya ada margin of error kemudian tingkat kepercayaan.

"Hasil quick count adalah sebuah prediksi bukan kepastian. Hasil penghitungan cepat tidak bisa dijadikan pegangan keras buat kita untuk dijadikan sebagai acuan yang benar karena sifatnya memang prediksi," ujarnya di Jakarta, Jumat (11/7/2014).

Etikanya, sebuah lembaga survei yang melakukan quick count harus menyatakan berkali-kali bahwa ini adalah hasil penghitungan cepat dan bukan hasil resmi serta tidak bisa dijadikan dasar hukum yang kuat.

"Etikanya harus menunggu hasil akhir rekapitulasi KPU, jangan kemudian ngomong bahwa pasti kami yang benar sementara yang lain pasti salah, ini buruk karena dampaknya ke masyarakat yang melihat," katanya.

Mantan Sekjen Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) ini menjabarkan mengenai beberapa hal yang menyebabkan sebuah penghitungan cepat itu meleset atau salah. Pertama, bisa karena sampling error dan non sampling error.

Dia mencontohkan, sampling error ini terkait dengan sample. Apabila suatu lembaga survei tidak cermat dalam mensitribusikan sample dan ternyata jatuh pada wilayah yang menjadi basis massa salah satu capres maka hasilnya bias. "Ini dimungkinkan terjadi walaupun metodologi yang digunakan sudah benar," katanya.

Kemungkinan kedua karena untuk menghemat biaya dan untuk mempercepat mengirimkan data kepusat datanya masing-masing. Sehingga sample-sample yang jauh ditarik dengan sengaja ke kota. Dengan demikian, mendekati daerah yang mudah dijangkau.

Berdasarkan data yang dimiliki, di Indonesia terdapat sekitar 20 sampai 25 persen merupakan wilayah remote yang sulit dijangkau. Kemungkinan lainnya, kata dia, ada beberapa lembaga survei berbeda nama namun dimiliki oleh satu orang.

Sehingga ada kemungkinan sharing data. "Ini juga bisa menyebabkan kesalahan karena kemungkinan wilayah remote area yang banyak itu ada kemungkinan memiliki persepsi berbeda dengan wilayah yang dekat (kota)," ungkapnya.

Karena itu, suatu lembaga survei tidak boleh mengklaim bahwa dirinya yang paling benar dan lebih baik dari lembaga survei lainnya. Sedangkan, bagi masyarakat, jadikan data penghitungan cepat tersebut hanya sebagai acuan saja sebab keputusan final ada pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki dasar hukum.

Mantan peneliti di Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) ini menambahkan, semua lembaga survei yang melakukan quick count patut didalami lebih jauh teknik sampling yang mereka gunakan karena dalam waktu cepat sudah mencapai 90 sampai 95 persen.

"Bagaimana dengan daerah-daerah terpencil, sebab pengalaman saya dibutuhkan waktu empat sampai lima jam untuk dapat sinyal akibat TPS nya jauh sekali. Ini keraguan dan kecurigaan saja, apakah semua daerah remote dicover semua," ujarnya.

Apabila ada unsur kesengajaan dalam memanipulasi data quick count, kata dia, itu artinya ada upaya pembohongan publik dan bisa dikenai sanksi hukum karena memberikan informasi yang salah.

Sedangkan, hal-hal yang non sampling error misalnya soal objektivitas lembaga survei akibat berafiliasi kepada salah satu pasangan calon presiden.

"Lembaga survei harusnya tidak secara terbuka baik secara institusi maupun personal berafiliasi kesiapapun karena bisa berpengaruh kepada data yang ada," katanya.

Dia menambahkan, lembaga survei sedianya harus terbuka untuk diaudit baik oleh asosiasi maupun masyarakat. Peneliti CSRC Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini mengaku, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara detil data, kemudian bagaimana mengambil sample dan metode yang digunakan lembaga survei. Sebab, mereka sudah men-declare informasi kepada publik.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8144 seconds (0.1#10.140)