Presiden Mendatang Harus Mampu Berpikir Manajerial
A
A
A
JAKARTA - Calon presiden mendatang harus mampu berpikir manajerial dalam memimpin negara tidak bisa lagi regional karena menyangkut kepentingan yang lebih luas.
"Kalau dalam tataran gubernur, bupati, wali kota memang memerlukan wawasan regional, tetapi untuk presiden cakupannya harus lebih luas," kata ahli kebijakan publik Universitas Padjadjaran Didin Muhafidin dalam siaran persnya menanggapi debat calon presiden dan wakil presiden putaran terakhir.
Didin mengatakan, dalam sistem pemerintahan dapat dibagi ke dalam tiga posisi yakni puncak, menengah, dan bawah, maka Presiden harus memiliki strategi agar masing-masing posisi di bawahnya dapat berjalan.
"Presiden berkerja dalam lingkup kebijakan, sedangkan level di bawahnya menteri, gubernur, wali kota dan bupati. sebagai implementasinya, barulah disini berbicara mengenai proyek dan program kerja, " jelas Didin yang juga menjabat Ketua Majelis Pengurus Pusat ICMI.
Program presiden ini, kata Didin, tercermin dalam rencana anggaran untuk kepentingan nasional, sedangkan implementasinya gubernur, bupati, dan wali kota yang mempunyai kepentingan untuk kemajuan daerahnya masing-masing.
Didin mengatakan, masyarakat juga harus melihat rekam jejak partai-partai politik pendukung presiden dan wakil presiden misalnya berapa yang terlibat dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi baik melibatkan APBN maupun APBD.
"Presiden dan wakil mendatang harus mampu membangun rambu-rambu terhadap kebijakan yang dikeluarkan sehingga dapat menghindarkan pada upaya-upaya penyalahgunaan dalam pelaksanaan, " ungkap Didin.
Seperti dalam kasus Bank Century, keputusan untuk merekap bank tersebut merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan lebih luas.
"Kalau ada penyalahgunaan di dalamnya berarti oknum bukan dibebankan kepada pemerintah, " jelas Didin.
Begitu juga dengan penerapan di daerah, setelah anggaran disetujui DPR-RI berarti sudah dapat diimplementasikan melalui pemerintah daerah kalau kemudian terjadi kasus korupsi berarti yang melakukan oknum di daerah.
Didin menegaskan, kasus korupsi terbanyak justru terjadi di daerah serta melibatkan sejumlah pimpinan daerah sebagai pelaksana, sedangkan sebagian lainnya berada di kementerian.
"Kasus-kasus korupsi yang terjadi selama ini justru banyak melibatkan kepala daerah, serta sebagian besar berasal dari partai politik," papar dia.
"Kalau dalam tataran gubernur, bupati, wali kota memang memerlukan wawasan regional, tetapi untuk presiden cakupannya harus lebih luas," kata ahli kebijakan publik Universitas Padjadjaran Didin Muhafidin dalam siaran persnya menanggapi debat calon presiden dan wakil presiden putaran terakhir.
Didin mengatakan, dalam sistem pemerintahan dapat dibagi ke dalam tiga posisi yakni puncak, menengah, dan bawah, maka Presiden harus memiliki strategi agar masing-masing posisi di bawahnya dapat berjalan.
"Presiden berkerja dalam lingkup kebijakan, sedangkan level di bawahnya menteri, gubernur, wali kota dan bupati. sebagai implementasinya, barulah disini berbicara mengenai proyek dan program kerja, " jelas Didin yang juga menjabat Ketua Majelis Pengurus Pusat ICMI.
Program presiden ini, kata Didin, tercermin dalam rencana anggaran untuk kepentingan nasional, sedangkan implementasinya gubernur, bupati, dan wali kota yang mempunyai kepentingan untuk kemajuan daerahnya masing-masing.
Didin mengatakan, masyarakat juga harus melihat rekam jejak partai-partai politik pendukung presiden dan wakil presiden misalnya berapa yang terlibat dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi baik melibatkan APBN maupun APBD.
"Presiden dan wakil mendatang harus mampu membangun rambu-rambu terhadap kebijakan yang dikeluarkan sehingga dapat menghindarkan pada upaya-upaya penyalahgunaan dalam pelaksanaan, " ungkap Didin.
Seperti dalam kasus Bank Century, keputusan untuk merekap bank tersebut merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan lebih luas.
"Kalau ada penyalahgunaan di dalamnya berarti oknum bukan dibebankan kepada pemerintah, " jelas Didin.
Begitu juga dengan penerapan di daerah, setelah anggaran disetujui DPR-RI berarti sudah dapat diimplementasikan melalui pemerintah daerah kalau kemudian terjadi kasus korupsi berarti yang melakukan oknum di daerah.
Didin menegaskan, kasus korupsi terbanyak justru terjadi di daerah serta melibatkan sejumlah pimpinan daerah sebagai pelaksana, sedangkan sebagian lainnya berada di kementerian.
"Kasus-kasus korupsi yang terjadi selama ini justru banyak melibatkan kepala daerah, serta sebagian besar berasal dari partai politik," papar dia.
(sms)