Pemetaan Revolusi Mental di Kemenag

Selasa, 17 Juni 2014 - 17:34 WIB
Pemetaan Revolusi Mental...
Pemetaan Revolusi Mental di Kemenag
A A A
DENGAN dilantiknya Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, begitu banyaknya pihak terutama masyarakat luas yang berharap pada perbaikan kinerja Kementerian Agama. Presiden meminta Menag selain fokus pada penyelenggaraan Haji, juga tak kalah penting adalah mengangkat moral pegawai dan pejabat Kementerian Agama.

Namun demikian menarik apa yang disampaikan Menag baru, bahwa dia akan mempelajari lebih dulu permasalahan yang terjadi pada lembaga tersebut. "Saya bukan malaikat, seperti membalikkan telapak tangan. Saya, seperti lazimnya orang baru harus mendengar dulu, mendiagnosis, dan mengidentifikasi segala permasalahan yang ada di dalam tubuh Kementrian Agama itu sendiri," ungkapnya yang dikutip beberapa media.

Benar apa yang disampaikan Menag baru bahwa, mengubah suatu budaya kerja bukan yang hal mudah mengingat ada tahapan yang disebut dengan diagnosis. Ibarat ada seseorang yang sakit, maka untuk mengetahui apa penyakitnya dapat diketahui dengan melakukan serangkaian test laboratorium. Kita akan dapat informasi mengenai tekanan darah, kadar kolesterol, asam urat, gula darah, juga keadaan jantung kita.

Begitu pula dengan instansi atau perusahaan, kesehatan birokrasinya dapat diukur. Yang paling utama adalah mengukur berapa tingkat racun budaya birokrasi atau disebut entropi budaya. Entropi budaya adalah persentase tingkat penghambat produktivitas sebuah organisasi. Semakin tinggi tingkat entropi maka semakin rendah tingkat produktivitas organisasi, sebaliknya semakin rendah tingkat entropi maka semakin tinggi tingkat produktivitasnya . Semakin rendah entropi semakin tinggi tingkat "engagement" atau semakin tinggi ikatan dan komitmen karyawan di dalamnya.

Fenomena entropi bisa muncul di manapun, baik pada organisasi, perusahaan, instansi, atau bahkan di tingkat negara. Entropi biasanya diukur dalam bentuk prosentase. Di luar masalah teknis, misalnya entropi budaya di sebuah pabrik industri sepatu adalah 50%, maka pabrik yang seharusnya menghasilkan 100 pasang sepatu setiap hari menjadi hanya 50 pasang per hari karena adanya entropi atau racun budaya tersebut. Entropi budaya adalah energi yang terbuang di tempat kerja untuk hal yang tidak produktif.

Entropi budaya dalam sebuah organisasi juga akan cenderung meningkat dengan adanya ketidak jujuran atau manipulasi, birokrasi yang berbeli-belit, kontrol dan kehati-hatian yang berlebihan, saling tidak percaya, saling menyalahkan, serta kompetisi internal.

Entropi budaya umumnya berada pada kisaran 5 sampai 55%. Tabel berikut menunjukkan rentang entropi atau kesehatan birokrasi dan risiko yang dihadapinya.

Di bawah 10% : Sehat
11-19% : Membutuhkan perbaikan kultural dan struktural
20-29% : Membutuhkan transformasi cultural, struktural dan leadership
30-39% : Membutuhkan transformasi kultural dan struktural juga leadership coaching/mentoring, dan pengembangan leadership
40-49% : Membutuhkan transformasi kultural dan struktural, perubahan dalam leadership, leadership mentoring/coaching, dan pengembangan leadership
Lebih dari 50% : Untuk korporasi, risiko tinggi berupa kebangkrutan atau takeover.

(Sumber Barret Values Center)

Sedangkan pada pada level negara. Pada Augustus 2008, penelitian dilakukan di Islandia (Iceland), yang menunjukkan entropi budaya di Islandia sangat tinggi yaitu lebih dari 54%. Ternyata dua tahun kemudian Islandia mengalami kebangkrutan ekonomi. Begitu pula nasib pemerintahan Latvia yang jatuh tak lama setelah diketahui nilai entropinya mencapai 52%.

Melalui pengukuran kesehatan birokrasi ini akan diketahui dengan jelas apa saja faktor dan sumber penghambatnya, di departemen mana terjadinya, berapa persen tingkat racun budaya di setiap bagian, dan apa yang menjadi penyebab racun itu. Akan diketahui pula berapa tingkat kesesuaian antara nilai perilaku karyawan versus perilaku budaya organisasi tersebut. Selain itu dapat terbaca rentang antara realitas dan budaya organisasi yang diimpikan. Dari pengukuran tersebut akan terbaca pula berapa tingkat motivasi karyawan yang selama ini terabaikan. Dengan demikian akan mudah terbaca pula apakah organisasi sudah berada pada jalur yang benar yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Perlu langkah berani bagi tiap pimpinan instansi atau organisasi untuk memeriksa kesehatan birokrasinya. Apapun hasil pengukurannya, akan diketahui dengan jelas seberapa sakitnya, apa penyakitnya, dan di mana sakitnya. Sehingga akan bisa dilakukan berbagai langkah pengobatannya. Hal ini jauh lebih baik daripada kita berpura-pura sehat akan tetapi sesungguhnya sudah sakit berat, tapi tidak pernah mau diobati karena tidak tahu keadaan yang sebenarnya.

Dengan pengukur budaya organisasi maka reformasi birokrasi bisa terukur dengan pasti, bukan lagi sekedar jargon dan langkah-langkah tak jelas namun ada standar alat ukurnya. Dengan demikian menjadi jelas dalam menyusun langkah yang efektif, efisien, terukur serta terencana untuk memperbaiki sistem atau budaya yang sakit. Hal itu sebagaimana yang sering diungkapkan dalam istilah manajemen, bahwa: If You Can't Measure It, You Can't Manage It (Peter F. Drucker).

Meski jabatan Menteri Agama dengan sisa waktu Pemerintahan SBY-Boediono hanya empat bulan, saya optimistis langkah transformasi yang dilakukan benar dan sesuai tahapannya, maka apa yang dilakukan Menag baru akan meninggalkan jejak positif.

Dr (HC) ARY GINANJAR AGUSTIAN

Pakar Pembangunan Karakter
Corporate Culture Consultant
Founder ESQ 165.

email : [email protected]
Fanpage: facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
www.esqway165.com
www.actconsulting.co
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1014 seconds (0.1#10.140)