Isu HAM Dinilai Jadi Ritual Lima Tahunan
A
A
A
JAKARTA - Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menilai isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi semacam isu lima tahunan bersamaan perhelatan pemilihan presiden (pilpres).
"Saya menengarai ini masalah lima tahunan, nanti lima tahun kemudian akan ada isu ini lagi," ujar Abdul di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta, Selasa (17/6/2014).
Dia mengatakan, sepanjang dirinya menjabat Jaksa Agung, kasus pelanggaran HAM tidak pernah muncul ke permukaan. Memang ada beberapa desakan dari pihak lain kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus pelanggaran HAM. Namun desakan tersebut dinilainya salah sasaran.
"Untuk menuntaskan kasus HAM, itu startnya harus dari DPR. Selama saya menjabat menjadi Jaksa Agung memang ada desakan-desakan dari korban untuk membuka masalah pelanggaran HAM. Saya bilang desakannnya bukan ke kami, tapi ke Senayan (DPR)," ujar Abdul.
Menurut dia, seseorang dianggap terbukti melakukan pelanggaran hukum jika sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. "Di dalam hukum, yang namanya terbukti itu kan harus ada sidang dulu kan. Sidang diputus hingga ada kekuatan hukum yang tetap. Masalahnya sidangnya itu tidak pernah ada. Pengadilan (HAM) nya tidak pernah dibentuk," ujar Abdul.
Dia mengatakan, sepanjang dirinya menjabat Jaksa Agung, kasus pelanggaran HAM tidak pernah muncul ke permukaan. Memang ada beberapa desakan dari pihak lain kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus pelanggaran HAM. Namun desakan tersebut dinilainya salah sasaran.
"Untuk menuntaskan kasus HAM, itu startnya harus dari DPR. Selama saya menjabat menjadi Jaksa Agung memang ada desakan-desakan dari korban untuk membuka masalah pelanggaran HAM. Saya bilang desakannnya bukan ke kami, tapi ke Senayan (DPR)," ujar Abdul.
Dia menambahkan, pertanyaan-pertanyaan terkait pengusutan pelanggaran HAM selalu dialihkan ke DPR karena menurutnya pihak Kejagung tidak memiliki wewenang untuk membentuk pengadilan HAM.
"Hal itu bukan wewenang kami. Kejaksaan kan enggak bisa bikin undang-undang. Kalau ada tuntutan soal HAM, itu bukan ada pada Gedung Bundar, tapi pada DPR," pungkas dia.
"Saya menengarai ini masalah lima tahunan, nanti lima tahun kemudian akan ada isu ini lagi," ujar Abdul di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta, Selasa (17/6/2014).
Dia mengatakan, sepanjang dirinya menjabat Jaksa Agung, kasus pelanggaran HAM tidak pernah muncul ke permukaan. Memang ada beberapa desakan dari pihak lain kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus pelanggaran HAM. Namun desakan tersebut dinilainya salah sasaran.
"Untuk menuntaskan kasus HAM, itu startnya harus dari DPR. Selama saya menjabat menjadi Jaksa Agung memang ada desakan-desakan dari korban untuk membuka masalah pelanggaran HAM. Saya bilang desakannnya bukan ke kami, tapi ke Senayan (DPR)," ujar Abdul.
Menurut dia, seseorang dianggap terbukti melakukan pelanggaran hukum jika sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. "Di dalam hukum, yang namanya terbukti itu kan harus ada sidang dulu kan. Sidang diputus hingga ada kekuatan hukum yang tetap. Masalahnya sidangnya itu tidak pernah ada. Pengadilan (HAM) nya tidak pernah dibentuk," ujar Abdul.
Dia mengatakan, sepanjang dirinya menjabat Jaksa Agung, kasus pelanggaran HAM tidak pernah muncul ke permukaan. Memang ada beberapa desakan dari pihak lain kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus pelanggaran HAM. Namun desakan tersebut dinilainya salah sasaran.
"Untuk menuntaskan kasus HAM, itu startnya harus dari DPR. Selama saya menjabat menjadi Jaksa Agung memang ada desakan-desakan dari korban untuk membuka masalah pelanggaran HAM. Saya bilang desakannnya bukan ke kami, tapi ke Senayan (DPR)," ujar Abdul.
Dia menambahkan, pertanyaan-pertanyaan terkait pengusutan pelanggaran HAM selalu dialihkan ke DPR karena menurutnya pihak Kejagung tidak memiliki wewenang untuk membentuk pengadilan HAM.
"Hal itu bukan wewenang kami. Kejaksaan kan enggak bisa bikin undang-undang. Kalau ada tuntutan soal HAM, itu bukan ada pada Gedung Bundar, tapi pada DPR," pungkas dia.
(dam)