Selesaikan Masalah Kependudukan Tak Bisa Instan
A
A
A
JAKARTA - Meskipun telah ada Undang-Undang (UU) Nomor 52 Tahun 2009 tentang Prekembangan Kependudukan dan Keluarga Berencana dan Pembangunan Kependudukan ternyata juga tidak membuat persolan kependudukan menarik untuk ditengok.
Seperti diketahui dalam UU tersebut pasal 54 disebutkan dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana (KB) di daerah.
Kemudian pemerintah daerah (pemda) membentuk badan kependudukan dan keluarga berencana daerah yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota.
Aturan ini dimaksudkan agar persoalan kependudukan tidak dianaktirikan. Akan tetapi pembentukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masing-masing daerah, membuat program ini dapat berjalan di satu daerah namun tenggelam di daerah lain.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemerintah Daerah (Pemda), Totok Daryanto mengatakan, program KB bukanlah program yang hasilnya dapat dilihat dalam rentan waktu satu atau dua tahun.
Menurut dia persoalan kependudukan membutuhkan tahapan yang sistematis. Totok mengatakan, melalui RUU Pemda, DPR dan pemerintah mencoba mengatasi permasalahan dan kelemahan yang selama ini terjadi terkait dengan persolana kependudukan.
"Diusulkan dalam draf tersebut persoalan kependudukan tidak lagi secara absolute menjadi urusan daerah. Telah menjadi kesepakatan pemerintah dan DPR bahwa hal-hal penting yang dapat dikontrol pusat harus dapat dikendalikan pusat,” kata Totok kepada KORAN SINDO, Minggu 15 Juni 2014.
Selain itu, petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) akan menjadi aparat sipil. Kebijakan ini akan dikendalikan oleh pemerintah pusat. “Mudah-mudahan dengan kebijakan ini persoalan kependudukan dapat diatasi,” ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR ini menegaskan, solusi tersebut dibutuhkan pemetaan setiap daerah. Pasalnya, setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda. Ada daerah yang kurang, normal atau malah lebih.
“Kita ingin mendorong daerah yang disebut kritis perlu unit-unit yang didirikan pemerintah pusat. Untuk daerah-daerah yang sudah baik tidak perlu ,” ucapnya.
Ditanyakan, mengapa tidak secara tegas urusan kependudukan diambil alih pemerintah pusat, Totok mengakui suara tersebut cukup kuat di DPR. Namun apa yang diatur dalam RUU ini telah dirasa cukup. “Tapi juga kalau DPR-nya ingin dan jika pemerintahnya tidak berani ya tidak bisa,” ujarnya.
Seperti diketahui dalam UU tersebut pasal 54 disebutkan dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana (KB) di daerah.
Kemudian pemerintah daerah (pemda) membentuk badan kependudukan dan keluarga berencana daerah yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota.
Aturan ini dimaksudkan agar persoalan kependudukan tidak dianaktirikan. Akan tetapi pembentukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masing-masing daerah, membuat program ini dapat berjalan di satu daerah namun tenggelam di daerah lain.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemerintah Daerah (Pemda), Totok Daryanto mengatakan, program KB bukanlah program yang hasilnya dapat dilihat dalam rentan waktu satu atau dua tahun.
Menurut dia persoalan kependudukan membutuhkan tahapan yang sistematis. Totok mengatakan, melalui RUU Pemda, DPR dan pemerintah mencoba mengatasi permasalahan dan kelemahan yang selama ini terjadi terkait dengan persolana kependudukan.
"Diusulkan dalam draf tersebut persoalan kependudukan tidak lagi secara absolute menjadi urusan daerah. Telah menjadi kesepakatan pemerintah dan DPR bahwa hal-hal penting yang dapat dikontrol pusat harus dapat dikendalikan pusat,” kata Totok kepada KORAN SINDO, Minggu 15 Juni 2014.
Selain itu, petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) akan menjadi aparat sipil. Kebijakan ini akan dikendalikan oleh pemerintah pusat. “Mudah-mudahan dengan kebijakan ini persoalan kependudukan dapat diatasi,” ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR ini menegaskan, solusi tersebut dibutuhkan pemetaan setiap daerah. Pasalnya, setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda. Ada daerah yang kurang, normal atau malah lebih.
“Kita ingin mendorong daerah yang disebut kritis perlu unit-unit yang didirikan pemerintah pusat. Untuk daerah-daerah yang sudah baik tidak perlu ,” ucapnya.
Ditanyakan, mengapa tidak secara tegas urusan kependudukan diambil alih pemerintah pusat, Totok mengakui suara tersebut cukup kuat di DPR. Namun apa yang diatur dalam RUU ini telah dirasa cukup. “Tapi juga kalau DPR-nya ingin dan jika pemerintahnya tidak berani ya tidak bisa,” ujarnya.
(maf)