Cerita Mahfud MD Terima Tawaran Prabowo-Hatta

Kamis, 22 Mei 2014 - 19:14 WIB
Cerita Mahfud MD Terima...
Cerita Mahfud MD Terima Tawaran Prabowo-Hatta
A A A
Mahfud MD sore tadi resmi menerima tawaran pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa untuk menjadi ketua tim pemenangan. Keputusan ini disebutnya telah melalui banyak pertimbangan.

Saat menggelar konferensi pers di Kantor MMD Iniative, Jalan Dempo, Matraman Dalam, Jakarta Pusat, Kamis (22/5/2014), Mahfud mengatakan alasannya menerima tawaran Prabowo-Hatta adalah berjuang untuk menegakkan kebenaran dan ahlak di bidang politik.

Mantan Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002-2005 ini bertutur panjang saat memaparkan latar belakang keputusannya.

Berikut tuturan lengkap Mahfud MD di depan para wartawan sore tadi.

Saudara-saudara, rakyat Indonesia yang saya cintai

Tiga hari terakhir ini pikiran saya berkecamuk, dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Sejak berbicara dengan Pak Prabowo, Pak Hatta Rajasa, dan pimpinan Partai Gerindra lainnya tentang kemungkinan saya menjadi Ketua Nasional Pemenangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 saya mendapat banyak pertanyaan, pernyataaan, dukungan, dan kritik.

Saya pribadi memang pernah menyatakan siap membantu pemenangan Prabowo-Hatta tetapi saya perlu beberapa hari untuk menyatakan “ya” sampai setelah saya mendapat masukan-masukan dari para kiai, sesuai dengan tradisi kepesantrenan yang saya hayati. Saya memang lulusan sebuah pondok pesantren Salafiyah di Waru, Pamekasan, Madura yakni pondok pesamtren Almardhiyyah yang, watu itu (1968-1969), dipimpin oleh Kyai Mardhiyyan. Inilah pondok pesantren Salafiyyah yang sangat ketat mengikuti ahlussunnah wal jamaah yang menjadi khiththah perjuangan jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU).

Selama saya bersafari mengunjungi kiai-kiai yang selama ini menjadi guru dan penasihat saya, berita tentang rencana bergabungnya saya ke pasangan Prabowo-Hatta menyeruak tanpa bisa ditutupi. Tanggapan pro kontra mengalir deras. Ada yang menyambut gembira dan menunggu komando, ada yang mengnecam keras. Semua saya catat sebagai niat baik mereka dalam menilai posisi saya. Masukan-masukan itu ada yang panas, dingin, atau mengharukan.

Seorang sahabat aktivis menyarankan agar saya tak melanjutkan niat itu karena, katanya, saya lebih baik menjadi negarawan dan Bapak Bangsa. Ada yang mengatakaan saya harus berdiri netral. Tapi ada juga aktivis-aktivis dan akademisi yang mendukung saya untuk memenangkan Prabowo-Hatta. Sementara kelompok-kelompok masyarakat di berbagai daerah dari seluruh Indonesia minta didaftarkan untuk menjadi relawan dengan biaya operasional sendiri dan menunggu respons saya. Saya sungguh galau, saya bersama tim saya menangis menghadapi situasi ini. Kami bertujuh, yang selama ini berjuang dalam suka dan duka dengan satu fokus, ternyata pada hari-hari ini dihadapkan pada dilemma.

Habib Syech tokoh majelis salawat dari Solo yang sangat terkenal itu, menelpon saya dan menyatakan bersyukur serta mengajak saya untuk bersalawat ke berbagai daerah mendoakan kemenangan Prabowo-Hatta. Kiai Agus Ali Masyhuri dari Tulanngan Sidoarjo mengatakan “wajib” Pak Mahfud melanjutkan perjuangan seperti itu. Namun sahabat saya Gus Yusuf dan K Ahmad Bagja menyarankan agar saya mempertimbangkan secara komprehensif dan tenang, jangan terburu-buru. KH Malik Madani, senior dan Penasihat saya dari UIN Yogya, meminta saya agar netral saja karena sekarang ini ada yang menilai saya sedang memburu jabatan atau sedang sakit hati.

Sekelompok murid saya di kampus, menulis pesan, “Kami tetap mengagumi dan takzim kepada Bapak sebagai guru kami, tapi izinkan kami mengambil pilihan politik lain.” Guru saya, penganut Katolik yang taat, Prof Maria Sumardjono dari UGM, mengirim pesan begini, “Bunda yakin nanda bisa secara berhati-hati, tidak emosional, dan tak teruru-buru dalam mengambil keputusan tentang masalah penting seperti ini. Tapi apa pun yang nanda Mahfud putuskan nanti, Bunda tetap melihat nanda Mahfud seperti yang dulu. Di mata saya nanda tetaplah seorang yang cerdas, lurus, rendah hati, dan sederhana."

Saya sendiri serba dilemmatis. Masak negarawan atau bapak bangsa mau memihak dalam Pilpres? Tetapi saya sendiri segera menyadari bahwa saya tak pernah menyebut diri sebagai “negarawan” atau “bapak bangsa”. Terlalu tinggi bagi saya cap sebagai negarawan atau bapak bangsa. Saya tetaplah hanya pelaku politik yang ingin memperjuangkan keyakinan, kebenaran, dan tegaknya hukum, berdasar pilihan-pilihan politik saya tetapi dengan prinsip politik yang bersih dan berakhlak. Sampai jam 11 tadi malam saya terus berkonsultasi dengan para kiai, tokoh-tokoh LSM, dan tokoh masayarakat sebelum menngambil keputusan akhir. Sebagai orang yang tak lebih dari sekedar pemain politik sesuai dengan konstitusi saya mengikuti apa yang yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali bahwa memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Nilai luhur agama adalah saudara kembar dari pejuangan politik.

“Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan tanpa fondasi atau dasar (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan yang tak dikawal akan sia-sia.” Itulah dasar perlunya politik yang berakhlak luhur.

Dalam pada itu Muhammad Abduh pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasar pengalaman dan pengamatannya, waktu itu, beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan. Beliau pernah mengungkapkan doa taawwudz yang biasanya hanya untuk menghujat setan, yaitu, “audzu billahi misnassyaythaanirrajiem (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk) dispesifikkan oleh Muhammad Abduh ke dalam kegiatan politik menjadi:

"Aku berlidung kepada Allah dari godaan setan politik dan politisi”

Berdasar hal-hal tersebut menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syar’ie karena tanpa politik kita tak bisa merealisasikan nilai kebaikan yang harus diperjuangkan melalui struktur kekuasaan. Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan:

“Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/dipenuhi”.

Dengan kata lain, “jika kewajibaan mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya”.

Selanjutnya berdasar kesimpulan itu pula saya mengambil keputusan, dengan segala risiko, yakni “berjuang untuk menegakkan kebenaran dan akhlak di bidang politik” dengan mendukung dan menjadi Ketua Tim Nasional Pemenangn Pasangan Capres/Cawapres Prabowo-Hatta.

Menurut saya kedua pasangan capres-cawapres yang ada sekarang yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK adalah sama baiknya karena sama-sama merupakan produk pilihan rakyat melalui berbagai survai dan keputusan partai politik. Pasangan Jokowi-JK tentu merupakan pasangan yang baik yang harus kita hormati. Tetapi pasangan Prabowo-Hatta juga baik karena sudah melalui penilaian dengan parameter yang sama oleh rakyat dan partai politik.

Tak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa salah satu pasangan tertentu saja yang harus didukung dan dipilih karena secara kategoris lebih baik. Tak ada juga satu pasangan dari keduanya yang harus dinyatakan haram untuk dipilih. Kedua pasangan yang ada sekarang mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Biarlah rakyat secara pribadi-pribadi menentukan pilihannya. Dengan demikian perjuangan setiap Tim Pemenangan haruslah berusaha merebut hati dan meyakinkan rakyat bahwa pihaknyalah yang bisa dititipi aspirasi dengan segala kekuarangan dan kelebihannya. Terserah rakyat, mau percaya yang mana dan memilih yang mana.

Dengan pernyataan memimpin Tim Pemenangan ini saya sama sekali tidak mencabut dukungan kepada PKB, karena dukungan itu sudah diberikan pada saat Pileg dan itu takkan bisa lagi dicabut. Maka kepada teman-teman PKB yang seaspirasi dengan saya tak perlu juga mencabut dukungan, tetaplah mendukung PKB. Tetapi kalau soal Pemilihan Presiden, kita bisa memilih sendiri-sendiri sesuai dengan keyakinan tentang siapa yang paling bisa diberi amanah dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sebab pemilihan Presiden itu sepenuhnya adalah pemilihan pemimpin yang bersifat personal. Pengikut partai apa pun tak bisa diikat untuk mengikuti pilihan partainya dalam pilpres. Mereka bebas memilih yang terbaik dari pasangan-pasangan capres/cawapres yang tersedia.

Maka dengan itu saya menyatakan memulai berjuang bersama pasangan Prabowo-Hatta dengan memimpin Tim Nasional Pemenangan pasangan tersebut.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7188 seconds (0.1#10.140)