Pemerintah Kurang Perhatikan Penderita Thalassaemia
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diharapkan memperhatikan penderita thalasemia atau kelainan darah di Indonesia. Walaupun sudah dijalankanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masih banyak rumah sakit (RS) di daerah yang tidak melayani Pasien thalasemia
Hal tersebut lantaran tidak ada sosialisasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Ketua Yayasan Thalasemia Indonesia, Rinie Amaluddin mengatakan, dalam era JKN sekarang walaupun obat thalasemia sudah diberikan untuk satu bulan, namun hal tersebut tidak cukup.
Pemerintah, kata dia, seharusnya menyamakan semua kelas rawat inap untuk penderita thalasemia, karena kebanyakan penderita adalah orang tidak mampu. "Seharusnya disamaratakan, jangan dibedakan. Sekalipun ingin naik kelas pasien harus tambah biaya," tandasnya saat ditemui di Jakarta, Rabu 21 Mei 2014.
Menurut dia, sosialisasi yang dilakukan BPJS kesehatan masih sangat kurang kepada RS khususnya di daerah. Hal ini mengakibatkan banyak RS yang menolak pasien thalasemia karena tidak adanya biaya.
Walaupun JKN masih berproses, tetapi pengobatan penderita harus tetap berjalan seperti tranfusi darah. Untuk itu RS seharusnya tidak menolak karena pembayaranya nanti dapat di klaim oleh BPJS kesehatan.
"Alasan RS tidak ada anggaran untuk talangi pengobatan thalasemia. Mereka tidak mengatahui sistem pembayaranya, mangkanya tidak mau melayani," paparnya.
Selain itu, lanjut Rinie, pemasangan alat syringe pump untuk menyuntikan daferal dalam membuang zat besi yang digunakan selama lima hari tidak dibiayai BPJS kesahatan. Padahal alat tersebut banyak dibutuhkan oleh penderita. Akibatnya, yayasan thalasemia meminjamkan alat pompa tersebut dengan keterbatasan.
"Diperkirakan di jakarta hanya ada 50 buah. Kalau di daerah ada hanya 5-10 buah. Harganya sangat mahal mencapai Rp 4,5 juta," katanya.
Diperkirakan, saat ini ada sekitar 7 ribuan penderita thalasemia di Indonesia. Paling banyak penderita berada di Cianjur dan Sukabumi di Jawa barat. Selain itu seperti di Karawang, Wonosobo dan Pekalongan jumlahnya juga signifikan.
Rata-rata dalam setahun ada sekitar 8-13 orang yang meninggal karena thalasemia. Sedangkan pertumbuhan penderita mencapai 5-8%.
Di temui di tempat yang sama, Dokter Spesialis Patologi Klinik di Rs Fatmawati Lia Partakusuma mengatakan, penyakit thalasemia sampai saat ini belum dimasukan ke dalam penyakit kronis, dan ini mempengaruhi terhadap ketersedian obat.
Untuk itu RS Fatmawati memasukan thalasemia ke dalam penyakit dan obat kronis.
Dalam biaya JKN, pasien thalasemia membutuhkan biaya yang besar. Untuk rawat jalan membutuhkan biaya Rp11 juta. Sedangkan rawat inap biaya diperkirakan lebih dari itu.
Hal tersebut lantaran tidak ada sosialisasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Ketua Yayasan Thalasemia Indonesia, Rinie Amaluddin mengatakan, dalam era JKN sekarang walaupun obat thalasemia sudah diberikan untuk satu bulan, namun hal tersebut tidak cukup.
Pemerintah, kata dia, seharusnya menyamakan semua kelas rawat inap untuk penderita thalasemia, karena kebanyakan penderita adalah orang tidak mampu. "Seharusnya disamaratakan, jangan dibedakan. Sekalipun ingin naik kelas pasien harus tambah biaya," tandasnya saat ditemui di Jakarta, Rabu 21 Mei 2014.
Menurut dia, sosialisasi yang dilakukan BPJS kesehatan masih sangat kurang kepada RS khususnya di daerah. Hal ini mengakibatkan banyak RS yang menolak pasien thalasemia karena tidak adanya biaya.
Walaupun JKN masih berproses, tetapi pengobatan penderita harus tetap berjalan seperti tranfusi darah. Untuk itu RS seharusnya tidak menolak karena pembayaranya nanti dapat di klaim oleh BPJS kesehatan.
"Alasan RS tidak ada anggaran untuk talangi pengobatan thalasemia. Mereka tidak mengatahui sistem pembayaranya, mangkanya tidak mau melayani," paparnya.
Selain itu, lanjut Rinie, pemasangan alat syringe pump untuk menyuntikan daferal dalam membuang zat besi yang digunakan selama lima hari tidak dibiayai BPJS kesahatan. Padahal alat tersebut banyak dibutuhkan oleh penderita. Akibatnya, yayasan thalasemia meminjamkan alat pompa tersebut dengan keterbatasan.
"Diperkirakan di jakarta hanya ada 50 buah. Kalau di daerah ada hanya 5-10 buah. Harganya sangat mahal mencapai Rp 4,5 juta," katanya.
Diperkirakan, saat ini ada sekitar 7 ribuan penderita thalasemia di Indonesia. Paling banyak penderita berada di Cianjur dan Sukabumi di Jawa barat. Selain itu seperti di Karawang, Wonosobo dan Pekalongan jumlahnya juga signifikan.
Rata-rata dalam setahun ada sekitar 8-13 orang yang meninggal karena thalasemia. Sedangkan pertumbuhan penderita mencapai 5-8%.
Di temui di tempat yang sama, Dokter Spesialis Patologi Klinik di Rs Fatmawati Lia Partakusuma mengatakan, penyakit thalasemia sampai saat ini belum dimasukan ke dalam penyakit kronis, dan ini mempengaruhi terhadap ketersedian obat.
Untuk itu RS Fatmawati memasukan thalasemia ke dalam penyakit dan obat kronis.
Dalam biaya JKN, pasien thalasemia membutuhkan biaya yang besar. Untuk rawat jalan membutuhkan biaya Rp11 juta. Sedangkan rawat inap biaya diperkirakan lebih dari itu.
(dam)