Intangible Assets
A
A
A
SETELAH merasakan penderitaan akibat serangkaian pengkhianatan besar dalam bisnis, keluarga, dan pernikahannya, seorang laki-laki menjual perusahaan, rumah, dan semua yang dia miliki. Kemudian dia pergi mengendarai sebuah mobil van antik pindah dari suatu tempat ke tempat lain.
Pria itu bermaksud menjalankan usaha renovasi rumah. Setelah sampai di Victoria, Columbia, dia bertemu dengan mitra usahanya dan kemudian menulis 21 kredo bisnis untuk menjalankan usaha bersama. Dia mempublikasi nilai-nilai yang telah dirumuskan dalam sebuah buku dan juga website-nya baik untuk karyawannya, investor, maupun mitra bisnisnya.
Kurang dari 6 tahun, perusahaan yang mereka namakan LEAGUE Financials Partner mengelola lebih dari Rp10 triliun dalam bisnis real estate. Melalui kepemilikan proporsional dalam hal asetnya, perusahaan itu menyediakan pertumbuhan modal dan cash flow bagi lebih dari 3.600 keluarga.
Bersama dengan seluruh karyawan LEAGUE, masing-masing keluarga tersebut membahas nilai-nilai sebagai kompas moral dan kompas etika yang sudah dirumuskan. Ikatan di antara mereka membuat mereka berhasil melalui badai krisis ekonomi hingga saat itu. Nilai-nilai inti adalah perbedaan yang mereka miliki dan mereka buat, dan terus membuat perbedaan yang mendorong nilai investasi LEAGUE dan keluarga-keluarga sebagai anggota-mitranya.
Jika Emanuel Arruda, nama laki-laki tersebut, ditanya tentang kunci kesuksesannya, dia selalu menjawab, "Dengan memutar nilai-nilai inti menjadi nilai modal. Nilai mereka di antaranya, learn, earn, live, give".
Kredo pertama mereka berbunyi:
“KAMI PERCAYA keutamaan 'aturan emas', dan akan mematuhi nilai dalam semua usaha yang kami kejar. Dalam niat dan semua kegiatan kami tetapkan prinsip ini: Kami akan perlakukan orang lain seperti kami ingin diperlakukan”.
Kredo lain berbunyi:
KAMI PERCAYA bahwa kata adalah ikatan kami, oleh karena itu harus selalu bisa dipercaya. Siapa saja yang tidak menepati janji, meskipun hanya melalui telepon, orang yang berusaha untuk menghindari kontrak untuk beberapa hal yang sifatnya teknis, atau dengan sengaja menyalahartikan atau melakukan kebohongan, tidak akan ditoleransi, dan sekali melanggar, kami tidak akan memiliki hubungannya dengannya lagi”.
Menurut Arruda ke-21 kredo tersebut menjadi penyaring bukan jaring (a filter, not a dragnet). Setiap merekrut karyawan baru atau bertemu klien baru, maka kredo tersebut dibacakan terlebih dahulu. Jika setuju maka barulah mereka akan bekerja sama.
Kisah di atas memberi pembelajaran tentang pentingnya menjalankan usaha berdasarkan nilai-nilai. Bagi Arruda nilai bukan lagi aksesoris perusahaan, namun modal utama usahanya. Hal itulah yang membuat bisnisnya melesat cepat. Dia merumuskan poin-poin kerja sama dengan sangat rinci dan jelas serta menjalankannya.
Modal seperti ini dinamakan Cultural Capital, sebuah kekuatan yang dinamakan intangible assets, atau faktor pendorong yang mampu melipatgandakan kinerja sebuah korporasi. Bahkan menurut Jim Collins dalam buku fenomenalnya, Built to Last, mengatakan bahwa perusahaan seperti itu nilai sahamnya lebih tinggi 15 kali lipat dibandingkan dengan perusahaan sejenis.
Menurut Haskett dan Kotter dalam bukunya, Leading Culture and Perfomance, bahwa revenue mereka 4 kali lebih tinggi, SDM 7 kali lebih produktif, dan profit meningkat 700%.
Artinya, saat ini sebuah korporasi tidak lagi ditentukan oleh financial capital atau intelectual capital semata yang selalu saja menjadi topik pembicaraan kita saat ini, akan tetapi 60% hingga 80% ditentukan oleh intangible assets atau faktor tidak kasat mata ini. Inilah ciri lahirnya era Cultural Age, yaitu sebuah zaman baru pasca era informasi, dan era baru setelah era teknologi atau pasca era industri.
Pertumbuhan ekonomi, atau pertumbuhan asset, revenue, profit kita selama ini akan lebih bertahan lama dalam jangka panjang dan bahkan akan tumbuh berkali-kali lipat apabila dilandasi dengan fondasi culture dan nilai yang kuat. Akan tetapi sebaliknya tanpa nilai dan culture yang kokoh sebagai fondasi, maka itu semua ini akan gagal dan runtuh kembali, ibarat rumah yang dibangun tanpa fondasi.
Sudahkah kita mempersiapkannya?
Dr (HC) ARY GINANJAR AGUSTIAN
Pakar Pembangunan Karakter
Corporate Culture Consultant
Founder ESQ 165
Pria itu bermaksud menjalankan usaha renovasi rumah. Setelah sampai di Victoria, Columbia, dia bertemu dengan mitra usahanya dan kemudian menulis 21 kredo bisnis untuk menjalankan usaha bersama. Dia mempublikasi nilai-nilai yang telah dirumuskan dalam sebuah buku dan juga website-nya baik untuk karyawannya, investor, maupun mitra bisnisnya.
Kurang dari 6 tahun, perusahaan yang mereka namakan LEAGUE Financials Partner mengelola lebih dari Rp10 triliun dalam bisnis real estate. Melalui kepemilikan proporsional dalam hal asetnya, perusahaan itu menyediakan pertumbuhan modal dan cash flow bagi lebih dari 3.600 keluarga.
Bersama dengan seluruh karyawan LEAGUE, masing-masing keluarga tersebut membahas nilai-nilai sebagai kompas moral dan kompas etika yang sudah dirumuskan. Ikatan di antara mereka membuat mereka berhasil melalui badai krisis ekonomi hingga saat itu. Nilai-nilai inti adalah perbedaan yang mereka miliki dan mereka buat, dan terus membuat perbedaan yang mendorong nilai investasi LEAGUE dan keluarga-keluarga sebagai anggota-mitranya.
Jika Emanuel Arruda, nama laki-laki tersebut, ditanya tentang kunci kesuksesannya, dia selalu menjawab, "Dengan memutar nilai-nilai inti menjadi nilai modal. Nilai mereka di antaranya, learn, earn, live, give".
Kredo pertama mereka berbunyi:
“KAMI PERCAYA keutamaan 'aturan emas', dan akan mematuhi nilai dalam semua usaha yang kami kejar. Dalam niat dan semua kegiatan kami tetapkan prinsip ini: Kami akan perlakukan orang lain seperti kami ingin diperlakukan”.
Kredo lain berbunyi:
KAMI PERCAYA bahwa kata adalah ikatan kami, oleh karena itu harus selalu bisa dipercaya. Siapa saja yang tidak menepati janji, meskipun hanya melalui telepon, orang yang berusaha untuk menghindari kontrak untuk beberapa hal yang sifatnya teknis, atau dengan sengaja menyalahartikan atau melakukan kebohongan, tidak akan ditoleransi, dan sekali melanggar, kami tidak akan memiliki hubungannya dengannya lagi”.
Menurut Arruda ke-21 kredo tersebut menjadi penyaring bukan jaring (a filter, not a dragnet). Setiap merekrut karyawan baru atau bertemu klien baru, maka kredo tersebut dibacakan terlebih dahulu. Jika setuju maka barulah mereka akan bekerja sama.
Kisah di atas memberi pembelajaran tentang pentingnya menjalankan usaha berdasarkan nilai-nilai. Bagi Arruda nilai bukan lagi aksesoris perusahaan, namun modal utama usahanya. Hal itulah yang membuat bisnisnya melesat cepat. Dia merumuskan poin-poin kerja sama dengan sangat rinci dan jelas serta menjalankannya.
Modal seperti ini dinamakan Cultural Capital, sebuah kekuatan yang dinamakan intangible assets, atau faktor pendorong yang mampu melipatgandakan kinerja sebuah korporasi. Bahkan menurut Jim Collins dalam buku fenomenalnya, Built to Last, mengatakan bahwa perusahaan seperti itu nilai sahamnya lebih tinggi 15 kali lipat dibandingkan dengan perusahaan sejenis.
Menurut Haskett dan Kotter dalam bukunya, Leading Culture and Perfomance, bahwa revenue mereka 4 kali lebih tinggi, SDM 7 kali lebih produktif, dan profit meningkat 700%.
Artinya, saat ini sebuah korporasi tidak lagi ditentukan oleh financial capital atau intelectual capital semata yang selalu saja menjadi topik pembicaraan kita saat ini, akan tetapi 60% hingga 80% ditentukan oleh intangible assets atau faktor tidak kasat mata ini. Inilah ciri lahirnya era Cultural Age, yaitu sebuah zaman baru pasca era informasi, dan era baru setelah era teknologi atau pasca era industri.
Pertumbuhan ekonomi, atau pertumbuhan asset, revenue, profit kita selama ini akan lebih bertahan lama dalam jangka panjang dan bahkan akan tumbuh berkali-kali lipat apabila dilandasi dengan fondasi culture dan nilai yang kuat. Akan tetapi sebaliknya tanpa nilai dan culture yang kokoh sebagai fondasi, maka itu semua ini akan gagal dan runtuh kembali, ibarat rumah yang dibangun tanpa fondasi.
Sudahkah kita mempersiapkannya?
Dr (HC) ARY GINANJAR AGUSTIAN
Pakar Pembangunan Karakter
Corporate Culture Consultant
Founder ESQ 165
(hyk)