Alasan kasus politik uang sulit dituntaskan
A
A
A
Sindonews.com - Rentetan kasus politik uang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu. Total ada 30 kasus politik uang terjadi, tapi tak ada satu pun yang berhasil dituntaskan. Lantas apa masalahnya?
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan, alasan tidak terselesaikannya kasus politik uang yakni merujuk pasal dalam Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2012.
"Melihat UU salah rujuk, sedih sekali oleh lembaga negara. UU Nomor 8 Tahun 2012, harusnya merujuk Pasal 89, tapi malah Pasal 88. Sehingga, terjadi ketidaksesuaian," ungkap Titi kepada wartawan, saat ditemui di Gedung MPR, Jakarta, Senin (5/5/2014).
Dia menambahkan, sampai hari ini belum ada caleg yang terproses melakukan pelanggaran politik uang sampai ke tingkat pengadilan. "Seluruh pelanggaran politik uang ada 30 kasus, tapi saya tidak tahu penanganannya," tegasnya.
Hingga kini, kata Titi, yang terlibat kasus politik uang adalah mereka yang terlibat membagikan uang seperti tim sukses. "Tapikan, tim sukses enggak semua didaftarkan ke KPU dan banyak yang jadi tim sukses siluman. Ini juga jadi masalah," sambungnya.
Kemudian, komitmen penegak hukum dalam menangani kasus politik uang ibarat kasus air mata. Sebab masa penanganannya singkat.
"Di Bawaslu hanya lima hari, dan di Polri 14 hari. Sementara di kejaksaan tiga hari. Jadi dengan waktu yang singkat ditambah tuntutan publik dan punya dimensi politik, sehingga komitmen itu tidak menjadi kuat," paparnya.
Titi pun berharap, proses penegakan hukum bisa memaksa aparat menindaklanjuti dan jangan sampai beban pembuktian diberikan kapada saksi.
"Bayangkan orang melapor itu sudah luar biasa, tapi ditanya mana alat buktinya? Padahal saat dia berani melaporkan ada politik uang, dia sudah menanggung risiko besar," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan, alasan tidak terselesaikannya kasus politik uang yakni merujuk pasal dalam Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2012.
"Melihat UU salah rujuk, sedih sekali oleh lembaga negara. UU Nomor 8 Tahun 2012, harusnya merujuk Pasal 89, tapi malah Pasal 88. Sehingga, terjadi ketidaksesuaian," ungkap Titi kepada wartawan, saat ditemui di Gedung MPR, Jakarta, Senin (5/5/2014).
Dia menambahkan, sampai hari ini belum ada caleg yang terproses melakukan pelanggaran politik uang sampai ke tingkat pengadilan. "Seluruh pelanggaran politik uang ada 30 kasus, tapi saya tidak tahu penanganannya," tegasnya.
Hingga kini, kata Titi, yang terlibat kasus politik uang adalah mereka yang terlibat membagikan uang seperti tim sukses. "Tapikan, tim sukses enggak semua didaftarkan ke KPU dan banyak yang jadi tim sukses siluman. Ini juga jadi masalah," sambungnya.
Kemudian, komitmen penegak hukum dalam menangani kasus politik uang ibarat kasus air mata. Sebab masa penanganannya singkat.
"Di Bawaslu hanya lima hari, dan di Polri 14 hari. Sementara di kejaksaan tiga hari. Jadi dengan waktu yang singkat ditambah tuntutan publik dan punya dimensi politik, sehingga komitmen itu tidak menjadi kuat," paparnya.
Titi pun berharap, proses penegakan hukum bisa memaksa aparat menindaklanjuti dan jangan sampai beban pembuktian diberikan kapada saksi.
"Bayangkan orang melapor itu sudah luar biasa, tapi ditanya mana alat buktinya? Padahal saat dia berani melaporkan ada politik uang, dia sudah menanggung risiko besar," pungkasnya.
(kri)