Makna golput bergeser jadi golongan penerima uang tunai
A
A
A
Sindonews.com - Begitu dahsyatnya pelanggaran Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Hal itu dikatakan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat, Mohammad Nasih.
Menurutnya, bukan hanya peserta dan penyelenggara pemilu yang terlibat pelanggaran pemilu. Pemilih pun ikut terlibat dalam pelanggaran pemilu kali ini.
"Pelanggaran pemilu melibatkan seluruh elemen yang berkepentingan dalam pemilu. Baik parpol (partai politik), caleg, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat pemilih," kata Mohammad Nasih di pressroom DPD, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (2/5/2014).
Nasih menilai, pelanggaran pemilu kian masif. Bahkan, mayoritas pemilih berubah menjadi kelompok golput baru dengan makna yang baru juga. Golput di sini bermakna, golongan penerima uang tunai. "Tentunya ini sangat mengkhawatirkan karena pemilih ikut pragmatis," jelasnya.
Menurut Nasih, penyebab utama dari praktik politik uang itu karena, kesalahan parpol dan caleg. Mayoritas caleg dinilai tidak cukup memiliki wawasan tentang politik serta, parpol yang tidak melakukan kaderisasi. Sehingga, pada saat pemilu di mana mereka seharusnya melakukan kerja-kerja politik, justru melakukan kerja sosial.
"Caleg dan parpol mendadak jadi orang sosial yang bagi-bagi sumbangan di dapil (daerah pemilihan) masing-masing," ujar Dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) itu.
Selain itu, lanjutnya, pemilih pun belum cerdas. Mayoritas pemilih hanya mau memilih jika ada uang khususnya, masyarakat di pedesaan. Mereka meniscayakan uang untuk memilih, karena mereka harus meninggalkan pekerjaan.
Jika mereka meninggalkan pekerjaan harian mereka, maka kehidupan mereka esok harinya terancam karena tidak bisa makan. "Ini hal yang dialami oleh, terutama kaum petani dan terlebih lagi nelayan," pungkasnya.
Menurutnya, bukan hanya peserta dan penyelenggara pemilu yang terlibat pelanggaran pemilu. Pemilih pun ikut terlibat dalam pelanggaran pemilu kali ini.
"Pelanggaran pemilu melibatkan seluruh elemen yang berkepentingan dalam pemilu. Baik parpol (partai politik), caleg, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat pemilih," kata Mohammad Nasih di pressroom DPD, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (2/5/2014).
Nasih menilai, pelanggaran pemilu kian masif. Bahkan, mayoritas pemilih berubah menjadi kelompok golput baru dengan makna yang baru juga. Golput di sini bermakna, golongan penerima uang tunai. "Tentunya ini sangat mengkhawatirkan karena pemilih ikut pragmatis," jelasnya.
Menurut Nasih, penyebab utama dari praktik politik uang itu karena, kesalahan parpol dan caleg. Mayoritas caleg dinilai tidak cukup memiliki wawasan tentang politik serta, parpol yang tidak melakukan kaderisasi. Sehingga, pada saat pemilu di mana mereka seharusnya melakukan kerja-kerja politik, justru melakukan kerja sosial.
"Caleg dan parpol mendadak jadi orang sosial yang bagi-bagi sumbangan di dapil (daerah pemilihan) masing-masing," ujar Dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) itu.
Selain itu, lanjutnya, pemilih pun belum cerdas. Mayoritas pemilih hanya mau memilih jika ada uang khususnya, masyarakat di pedesaan. Mereka meniscayakan uang untuk memilih, karena mereka harus meninggalkan pekerjaan.
Jika mereka meninggalkan pekerjaan harian mereka, maka kehidupan mereka esok harinya terancam karena tidak bisa makan. "Ini hal yang dialami oleh, terutama kaum petani dan terlebih lagi nelayan," pungkasnya.
(maf)