Fitra sebut kerugian negara akibat e-KTP Rp3 T
A
A
A
Sindonews.com - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) melansir pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merugikan negara Rp3 triliun.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi menuturkan, hasil audit Badan Pemeriksa Keungan semester II Tahun 2013 diketahui tertuang bahwa realisasi anggaran untuk pembayaran kontrak e-KTP untuk 2011 sebesar Rp1.182.776.712.741, untuk 2012 sebesar Rp3.482.674.420.716, dan untuk alokasi 2013 sebesar Rp1.045.000.000.000.
Walaupun negara sudah membayar kepada PT Percetakan Negara RI (PNRI) sebagai pemenang tender, tetapi negara tidak dapat segera memanfaatkan hasil pengadaan kontrak penerapan KTP elektronik.
"Karena adanya Korupsi dalam pengadaan e-ktp dalam bentuk konsorsium PNRI tidak dapat menyelesaikan pekerjaan Penerapan KTP elektronik tahun 2011 dan 2012 sesuai dengan kontrak. Ada indikasi kerugian negara dari tahun 2011 sampai 2012 sebesar Rp.3.049.286.941.457," kata Uchok kepada SINDO di Jakarta, Rabu (23/4/2014).
Pekerjaan yang tidak selesai karena dugaan korupsi ini bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) Barang yang telah ditandatangani oleh pihak Ditjen dukcapil dan pihak kecamatan, diketahui dari jumlah KTP elektronik yang harus didistribusikan sebanyak 172.015.400.
Sementara konsorsium PNRI yang terdiri atas atas Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaput, hanya dapat mendistribusikan ke kecamatan sampai dengan 31 Oktober 2012 sebanyak 48.122.734 atau senilai Rp769.963.744.000. Nilai ini didapat dengan perhitungan distribusi KTP elektronik sebanyak 48.122.734 dikali Rp16.000 untuk satu harga elektronik.
Kedua, sampai dengan pemeriksaan lapangan berakhir tanggal 8 Januari 2013, jumlah elektronik yang telah didistribusikan ke kecamatan sesuai BAST adalah sebanyak 52.887.528 atau senilai Rp846.200.448.000. Dengan perhitungan dari jumlah e-KTP sebanyak 52.887.528 dikali Rp16.000 untuk satuan harga KTP.
Selain itu, tutur Uchok, dalam proses lelang juga ditemukan penyimpangan yang merugikan negara. Penyimpangan ini ada tujuh modus. Pertama, Harga Perkiraan Sementara (HPS) yang ditetap oleh PPK bukan berdasarkan yang diperoleh dari hasil survei menjelang dilaksanakannya pengadaan e-KTP.
"Kedua, harga satuan yang tercantum dalam HPS atas perangkat sejenisnya tidak sama nilainya," imbuhnya.
Ketiga, terdapat perangkat yang tidak mempunyai harga satuan di dalam perhitungan HPS. Keempat, pemilihan dan penetapan harga satuan untuk beberapa peralatan dalam HPS menggunakan harga satuan produk yang ditawarkan oleh perusahaan anggota konsorsium yang akhirnya memenangkan pelelangan.
Kelima, lingkup pekerjaan yang dimuat dalam pengumuman lelang berbeda dengan jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan. Keenam, spesifikasi blangko e-KTP konsorsium PNRI tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan.
"Ketujuh, konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang tidak memenuhi kelengkapan ISO 9.001 dan ISO 14.001 atas produk yang ditawarkan," bebernya.
Jadi tegas Uchok, bila melihat realisasi anggaran tahun 2011 dan 2012 sebesar Rp.4.665.451.133.457, dan realisasi pekerjaan konsorsium PNRI, sampai tanggal 8 Januari 2013 hanya sebesar Rp1.616.164.192.000. Dengan demikian, lanjutnya, dalam pengadaan tahun 2011-2012 adalah sebesar Rp3.049 triliun.
"Tapi harus mentetapkan tersangka kepada pejabat negara lebih tinggu. Pisau KPK harus lebih tajam kepada pejabat negara bukan kepada pembuat komitmen," ucapnya.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi menuturkan, hasil audit Badan Pemeriksa Keungan semester II Tahun 2013 diketahui tertuang bahwa realisasi anggaran untuk pembayaran kontrak e-KTP untuk 2011 sebesar Rp1.182.776.712.741, untuk 2012 sebesar Rp3.482.674.420.716, dan untuk alokasi 2013 sebesar Rp1.045.000.000.000.
Walaupun negara sudah membayar kepada PT Percetakan Negara RI (PNRI) sebagai pemenang tender, tetapi negara tidak dapat segera memanfaatkan hasil pengadaan kontrak penerapan KTP elektronik.
"Karena adanya Korupsi dalam pengadaan e-ktp dalam bentuk konsorsium PNRI tidak dapat menyelesaikan pekerjaan Penerapan KTP elektronik tahun 2011 dan 2012 sesuai dengan kontrak. Ada indikasi kerugian negara dari tahun 2011 sampai 2012 sebesar Rp.3.049.286.941.457," kata Uchok kepada SINDO di Jakarta, Rabu (23/4/2014).
Pekerjaan yang tidak selesai karena dugaan korupsi ini bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) Barang yang telah ditandatangani oleh pihak Ditjen dukcapil dan pihak kecamatan, diketahui dari jumlah KTP elektronik yang harus didistribusikan sebanyak 172.015.400.
Sementara konsorsium PNRI yang terdiri atas atas Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaput, hanya dapat mendistribusikan ke kecamatan sampai dengan 31 Oktober 2012 sebanyak 48.122.734 atau senilai Rp769.963.744.000. Nilai ini didapat dengan perhitungan distribusi KTP elektronik sebanyak 48.122.734 dikali Rp16.000 untuk satu harga elektronik.
Kedua, sampai dengan pemeriksaan lapangan berakhir tanggal 8 Januari 2013, jumlah elektronik yang telah didistribusikan ke kecamatan sesuai BAST adalah sebanyak 52.887.528 atau senilai Rp846.200.448.000. Dengan perhitungan dari jumlah e-KTP sebanyak 52.887.528 dikali Rp16.000 untuk satuan harga KTP.
Selain itu, tutur Uchok, dalam proses lelang juga ditemukan penyimpangan yang merugikan negara. Penyimpangan ini ada tujuh modus. Pertama, Harga Perkiraan Sementara (HPS) yang ditetap oleh PPK bukan berdasarkan yang diperoleh dari hasil survei menjelang dilaksanakannya pengadaan e-KTP.
"Kedua, harga satuan yang tercantum dalam HPS atas perangkat sejenisnya tidak sama nilainya," imbuhnya.
Ketiga, terdapat perangkat yang tidak mempunyai harga satuan di dalam perhitungan HPS. Keempat, pemilihan dan penetapan harga satuan untuk beberapa peralatan dalam HPS menggunakan harga satuan produk yang ditawarkan oleh perusahaan anggota konsorsium yang akhirnya memenangkan pelelangan.
Kelima, lingkup pekerjaan yang dimuat dalam pengumuman lelang berbeda dengan jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan. Keenam, spesifikasi blangko e-KTP konsorsium PNRI tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan.
"Ketujuh, konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang tidak memenuhi kelengkapan ISO 9.001 dan ISO 14.001 atas produk yang ditawarkan," bebernya.
Jadi tegas Uchok, bila melihat realisasi anggaran tahun 2011 dan 2012 sebesar Rp.4.665.451.133.457, dan realisasi pekerjaan konsorsium PNRI, sampai tanggal 8 Januari 2013 hanya sebesar Rp1.616.164.192.000. Dengan demikian, lanjutnya, dalam pengadaan tahun 2011-2012 adalah sebesar Rp3.049 triliun.
"Tapi harus mentetapkan tersangka kepada pejabat negara lebih tinggu. Pisau KPK harus lebih tajam kepada pejabat negara bukan kepada pembuat komitmen," ucapnya.
(kri)