Spiritual capital
A
A
A
BEBERAPA waktu lalu, saat anak sulung saya akan pergi mengikuti sebuah pelatihan di New York, saya memberinya bekal untuk kebutuhannya. Saya berpesan bahwa uang USD500 adalah untuk berbagai keperluannya, sedangkan USD500 lagi untuk hal yang urgent dan tak terduga. Putra saya tersebut bernama Anjar Yusuf Ramadhan.
Ketika dia pulang, saya tidak menanyakan tentang bagaimana sulung saya menggunakan uangnya. Saya sempat berpikir bahwa dia menggunakan semua uang yang saya berikan untuk keperluannya. Namun beberapa hari kemudian dia menyerahkan uang USD500 sambil berkata, “Pak, ini uangnya Anjar kembalikan karena selama di sana tidak ada keperluan yang urgent dan tak terduga”.
Saat itu saya merasa sangat gembira. Selaku ayah, saya telah berhasil mendidik anak saya dalam hal integritas. Anak saya, dalam usianya yang masih relatif muda telah menempatkan integritas sebagai salah satu nilai yang utama dalam hidupnya.
Kejujuran sesungguhnya bisa ditinjau dari tiga hal. Pertama, kejujuran karena komitmen intelektual, yaitu kejujuran berdasarkan sistem. Seseorang yang mampu memberikan laporan sehingga masuk kategori wajar tanpa pengecualian (WTP). Kedua, kejujuran karena komitmen emosional seperti seseorang yang jujur karena ingin dilihat oleh atasan, ingin penghargaan dan pengakuan sehingga dia menjadi sosok yang dikagumi. Jujur dalam tataran ini adalah tools bagi para eksekutif untuk mencapai posisi puncak.
Jujur karena kedua komitmen ini, hanya akan melahirkan kehancuran, karena dapat mencari celah kebohongan. Contohnya, kehancuran ekonomi Barat dan Amerika adalah karena hanya mengandalkan kedua dimensi kejujuran ini. Masih ingat tragedi Enron? Karena kebohongan laporan keuangan Arthur Andersen menimbulkan kerugian besar.
Ketiga, kejujuran tertinggi sesungguhnya berlandaskan pada komitmen spiritual. Yaitu jujur bukan lagi karena sistem, GCG (good corporate governance), status atau pengakuan WTP (wajar tanpa pengecualian). Kejujuran ini berada dalam dimensi belief system yang dilandasi nilai ketuhanan, sehigga melahirkan nilai kejujuran dan muncul dalam perilaku. Kejujuran inilah yang diajarkan para nabi lewat sifat amanah dan siddiq. Dalam dunia korporasi, diperlukan para leader yang memiliki kejujuran berlandaskan komitmen spiritual ini.
Saat ini bangsa kita sangat mengandalkan kejujuran berbasis komitmen intelektual berupa sistem. Hal ini sesungguhnya makin membuat seseorang nekat. Yang dimaksud ’waskat’ saat ini artinya yang diawasi dan yang mengawasi sama-sama sepakat. Beberapa hal telah dilakukan seperti adanya pengawasan berlapis. Di dalam kementerian dibentuk Irjen-irjen agar pengawasan dilakukan secara berlapis.
Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk pengawasan karena tidak adanya saling kepercayaan? Berapa biaya yang keluar karena kebocoran sistem yang tak terdeteksi karena si koruptor adalah justru pembuat sistem dan tahu persis akan kelemahan undang-undang. Inilah sesungguhnya penghambat utama bangsa ini.
Tidakkah kita belajar dari Barat yang hancur karena hanya mengandalkan kejujuran intelektual dan emosional? Akankah kita menggunakan spiritual capital yang melahirkan integritas dengan kecepatan dan efisiensi tinggi yang nilainya lebih dari separuh APBN.
Mari kita berkaca diri. Apakah kejujuran kita berlandaskan komitmen intelektual, emosional, atau spiritual?
ESQ bekerja di dimensi sistem kepercayaan (belief system), untuk menjaga ‘nilai’ sehingga lahir sebuah sikap (attitude). Apabila penekanan sistem kepercayaaan diberikan pada sumber daya manusia di dalam organisasi sesuai dengan ‘nilai’ organisasi, pemimpin perlu mampu untuk menjadi role model sehingga terbentuklah sebuah budaya (culture). Inilah caranya melaksanakan ‘nilai’ di dalam organisasi.
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.
fanspage: facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
www.esqway165.com
www.actconsulting.co
email: [email protected]
Ketika dia pulang, saya tidak menanyakan tentang bagaimana sulung saya menggunakan uangnya. Saya sempat berpikir bahwa dia menggunakan semua uang yang saya berikan untuk keperluannya. Namun beberapa hari kemudian dia menyerahkan uang USD500 sambil berkata, “Pak, ini uangnya Anjar kembalikan karena selama di sana tidak ada keperluan yang urgent dan tak terduga”.
Saat itu saya merasa sangat gembira. Selaku ayah, saya telah berhasil mendidik anak saya dalam hal integritas. Anak saya, dalam usianya yang masih relatif muda telah menempatkan integritas sebagai salah satu nilai yang utama dalam hidupnya.
Kejujuran sesungguhnya bisa ditinjau dari tiga hal. Pertama, kejujuran karena komitmen intelektual, yaitu kejujuran berdasarkan sistem. Seseorang yang mampu memberikan laporan sehingga masuk kategori wajar tanpa pengecualian (WTP). Kedua, kejujuran karena komitmen emosional seperti seseorang yang jujur karena ingin dilihat oleh atasan, ingin penghargaan dan pengakuan sehingga dia menjadi sosok yang dikagumi. Jujur dalam tataran ini adalah tools bagi para eksekutif untuk mencapai posisi puncak.
Jujur karena kedua komitmen ini, hanya akan melahirkan kehancuran, karena dapat mencari celah kebohongan. Contohnya, kehancuran ekonomi Barat dan Amerika adalah karena hanya mengandalkan kedua dimensi kejujuran ini. Masih ingat tragedi Enron? Karena kebohongan laporan keuangan Arthur Andersen menimbulkan kerugian besar.
Ketiga, kejujuran tertinggi sesungguhnya berlandaskan pada komitmen spiritual. Yaitu jujur bukan lagi karena sistem, GCG (good corporate governance), status atau pengakuan WTP (wajar tanpa pengecualian). Kejujuran ini berada dalam dimensi belief system yang dilandasi nilai ketuhanan, sehigga melahirkan nilai kejujuran dan muncul dalam perilaku. Kejujuran inilah yang diajarkan para nabi lewat sifat amanah dan siddiq. Dalam dunia korporasi, diperlukan para leader yang memiliki kejujuran berlandaskan komitmen spiritual ini.
Saat ini bangsa kita sangat mengandalkan kejujuran berbasis komitmen intelektual berupa sistem. Hal ini sesungguhnya makin membuat seseorang nekat. Yang dimaksud ’waskat’ saat ini artinya yang diawasi dan yang mengawasi sama-sama sepakat. Beberapa hal telah dilakukan seperti adanya pengawasan berlapis. Di dalam kementerian dibentuk Irjen-irjen agar pengawasan dilakukan secara berlapis.
Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk pengawasan karena tidak adanya saling kepercayaan? Berapa biaya yang keluar karena kebocoran sistem yang tak terdeteksi karena si koruptor adalah justru pembuat sistem dan tahu persis akan kelemahan undang-undang. Inilah sesungguhnya penghambat utama bangsa ini.
Tidakkah kita belajar dari Barat yang hancur karena hanya mengandalkan kejujuran intelektual dan emosional? Akankah kita menggunakan spiritual capital yang melahirkan integritas dengan kecepatan dan efisiensi tinggi yang nilainya lebih dari separuh APBN.
Mari kita berkaca diri. Apakah kejujuran kita berlandaskan komitmen intelektual, emosional, atau spiritual?
ESQ bekerja di dimensi sistem kepercayaan (belief system), untuk menjaga ‘nilai’ sehingga lahir sebuah sikap (attitude). Apabila penekanan sistem kepercayaaan diberikan pada sumber daya manusia di dalam organisasi sesuai dengan ‘nilai’ organisasi, pemimpin perlu mampu untuk menjadi role model sehingga terbentuklah sebuah budaya (culture). Inilah caranya melaksanakan ‘nilai’ di dalam organisasi.
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165.
fanspage: facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
www.esqway165.com
www.actconsulting.co
email: [email protected]
(hyk)