Iklan 'Kutagih Janjimu' dinilai bentuk kontrol sosial
A
A
A
Sindonews.com - Kesimpulan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menilai iklan dengan slogan 'Kutagih Janjimu' menyerang dan menyudutkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dinilai terlalu berlebihan.
Menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin, jika 'menyerang' yang dimaksudkan KPI diartikan sebagai suatu bentuk kritik dari pihak pemasang iklan, lantas apa yang keliru dari itu?
"Bukankah salah satu tujuan dan fungsi penyiaran serta isi siaran iklan menurut Pasal 3, 4, dan Pasal 36 Ayat (1) UU Penyiaran adalah untuk membangun masyarakat Indonesia yang demokratis, sebagai media kontrol sosial, dan mengandung informasi untuk pembentukan intelektualitas?" ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews, Senin 31 Maret 2014.
Dilanjutkannya, sebutlah iklan tentang Jokowi itu sebagai iklan yang bermuatan kritik. Lantas mengapa KPI harus menilainya sebagai iklan yang bermasalah?
"Kritik itu kan ekspresi legal yang tidak boleh dilarang-larang dalam suatu tatanan masyarakat di negara demokratis. Kritik juga berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial dan bermanfaat dalam menggugah intelektualitas publik," jelasnya.
Ia menilai, pada bagian lain KPI benar terkait ketidakjelasan pihak pemasang iklan soal Jokowi itu. Seharusnya pihak pemasang iklan menyebutkan identitasnya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas iklan yang dipasangnya.
Selain itu, kalau KPI menyatakan iklan itu bermasalah, maka perlu ditelusuri mengapa iklan itu bisa ditayangkan. Karena merujuk ketentuan Pasal 47 UU Penyiaran, setiap iklan yang ditayangkan seharusnya telah dinyatakan lulus sensor dari lembaga berwenang.
"Nah, seharusnya KPI fokus pada kedua persoalan ini. Tidak usah dilebar-lebarkan dulu masalahnya kepada soal-soal yang lain sampai dengan adanya hasil akhir pemeriksaan yang dilakukannya," pungkasnya.
Menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin, jika 'menyerang' yang dimaksudkan KPI diartikan sebagai suatu bentuk kritik dari pihak pemasang iklan, lantas apa yang keliru dari itu?
"Bukankah salah satu tujuan dan fungsi penyiaran serta isi siaran iklan menurut Pasal 3, 4, dan Pasal 36 Ayat (1) UU Penyiaran adalah untuk membangun masyarakat Indonesia yang demokratis, sebagai media kontrol sosial, dan mengandung informasi untuk pembentukan intelektualitas?" ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews, Senin 31 Maret 2014.
Dilanjutkannya, sebutlah iklan tentang Jokowi itu sebagai iklan yang bermuatan kritik. Lantas mengapa KPI harus menilainya sebagai iklan yang bermasalah?
"Kritik itu kan ekspresi legal yang tidak boleh dilarang-larang dalam suatu tatanan masyarakat di negara demokratis. Kritik juga berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial dan bermanfaat dalam menggugah intelektualitas publik," jelasnya.
Ia menilai, pada bagian lain KPI benar terkait ketidakjelasan pihak pemasang iklan soal Jokowi itu. Seharusnya pihak pemasang iklan menyebutkan identitasnya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas iklan yang dipasangnya.
Selain itu, kalau KPI menyatakan iklan itu bermasalah, maka perlu ditelusuri mengapa iklan itu bisa ditayangkan. Karena merujuk ketentuan Pasal 47 UU Penyiaran, setiap iklan yang ditayangkan seharusnya telah dinyatakan lulus sensor dari lembaga berwenang.
"Nah, seharusnya KPI fokus pada kedua persoalan ini. Tidak usah dilebar-lebarkan dulu masalahnya kepada soal-soal yang lain sampai dengan adanya hasil akhir pemeriksaan yang dilakukannya," pungkasnya.
(kri)