Reformasi birokrasi menyeluruh
A
A
A
BERBICARA tentang reformasi birokrasi atau transformasi budaya korporasi kadang seperti membicarakan setan atau hantu. Makhluk yang dirasakan keberadaannya, dapat dirasakan pengaruhnya yang sangat mengganggu, akan tetapi tidak terlihat bagaimana bentuk, dan tidak diketahui pula di mana lokasinya. Yang terjadi adalah, banyak orang membicarakannya dari masa ke masa sehingga menjadi momok abadi. Bahkan setan dan hantu itu semakin banyak dan terus beranak-pinak dari generasi ke generasi sehingga tidak terkendali lagi pertumbuhan dan penyebarannya.
Meski berbagai cara telah dilakukan, ternyata reformasi birokrasi seolah jalan di tempat. Kinerja institusi tetap tidak terdongkrak. Apa faktor penyebabnya? Selama ini kita terus menyalahkan sistem. Berbagai perubahan sistem telah dilakukan di sana-sini akan tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Sebagai contoh, dulu mekanisme atau sistem untuk memilih seorang Kepala Daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Akan tetapi karena terjadi money politic, lalu sistem diubah dengan pemilihan langsung. Namun yang terjadi ternyata money politic jauh lebih hebat, dengan biaya yang lebih dahsyat, dan ditambah lagi dengan ‘serangan fajar’ kepada rakyat secara langsung. Inilah contoh reformasi birokrasi biaya tinggi yang gagal.
Sesungguhnya ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan reformasi birokrasi, yaitu keselarasan antara Nilai-Sistem-Leadership. Artinya, tidak cukup hanya perbaikan sistem tanpa pembangunan Nilai dan Leadership.
Ketiga hal di atas kami namakan Reformasi Birokrasi Menyeluruh, yaitu membangun sistem yang didahului dengan pembangunan nilai atau value, dan dilanjutkan dengan pembangunan leadership. Artinya, tidak cukup merumuskan atau mempropagandakan nilai serta membangun sistem tanpa diiringi dengan role model dari para pimpinan. Menjadikan para pimpinan contoh dari implementasi nilai sehingga menunjukkan bahwa nilai itu adalah sesuatu yang penting dan harus dipegang teguh serta dijaga dalam menjalankan roda birokrasi. Inilah kunci transformasi budaya korporasi atau kunci reformasi birokrasi secara total.
Selanjutnya, secara pribadi para pemimpin menjalankan serta menanamkan nilai-nilai tersebut kepada seluruh karyawan. Penegakan nilai harus dimulai dari para pemimpin, dari diri mereka sendiri, baru kemudian karyawan. Sehingga nilai tersebut hidup dan berkembang seiring dengan pertumbuhan organisasi. Diharapkan corporate values selalu hidup sampai puluhan tahun ke depan, bahkan bisa sampai ratusan tahun dengan strategi tiga jurus ini.
Langkah berikutnya adalah mengukur derajat kesesuaian antara nilai dan sistem secara berkala. Seperti halnya roda mobil yang harus di-spooring secara teratur, harus diketahui berapa persen melencengnya, dan harus diketahui pasti roda mana yang miring. Semakin tinggi ketidaksesuaian roda, maka akan semakin tidak sehat birokrasinya. Sebaliknya, semakin rendah ketidaksesuaian, akan semakin sehat birokrasinya.
Artinya, setiap nilai harus dikunci dengan sistem, dan setiap sistem harus diisi dengan nilai atau value. Inilah keterkaitan antara Nilai dan Sistem. Seperti Raga dan Jiwa yang tidak bisa dipisahkan. Di samping itu pengukuran "kemiringan roda" birokrasi ini harus bisa diukur dengan pasti derajatnya, supaya perbaikan bisa tepat, akurat, dan presisi. Artinya: "You can not manage, if you can not measure".
Pemimpin dan entropi birokrasi
Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara pemimpin dengan entropi birokrasi. Sebagaimana sudah dijelaskan pada artikel terdahulu bahwa, Entropi Budaya adalah mengukur energi yang terbuang percuma di tempat kerja yang bisa menurunkan produktivitas.
Entropi budaya korporasi atau entropi birokrasi sesungguhnya adalah refleksi langsung dari entropi pribadi sang pemimpin itu sendiri. Cara untuk mengurangi warisan entropis pemimpin masa lalu adalah dengan melakukan de-layering, re-strukturisasi, dan transformasi budaya. Di samping itu di zaman sekarang ini entropi pemimpin pun bisa diukur dengan akurat secara obyektif.
Keterlibatan peran pimpinan jelas menjadi faktor kunci penentu kesuksesan perusahaan, khususnya untuk menghidupkan nilai tersebut secara mendalam dan holistik. Jika tidak dimulai dan ditegakkan para pemimpinnya, nilai-nilai perusahaan tidak akan tercipta menjadi sebuah corporate culture. Karena itulah dikatakan bahwa, “Organisasi tidak bertransformasi hingga para pemimpinnya memiliki nilai yang baru dan mengubah perilaku mereka.”
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter
Corporate Culture Consultant
Founder ESQ 165.
Fanpage: facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
www.esqway165.com
www.actconsulting.co
email: [email protected]
Meski berbagai cara telah dilakukan, ternyata reformasi birokrasi seolah jalan di tempat. Kinerja institusi tetap tidak terdongkrak. Apa faktor penyebabnya? Selama ini kita terus menyalahkan sistem. Berbagai perubahan sistem telah dilakukan di sana-sini akan tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Sebagai contoh, dulu mekanisme atau sistem untuk memilih seorang Kepala Daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Akan tetapi karena terjadi money politic, lalu sistem diubah dengan pemilihan langsung. Namun yang terjadi ternyata money politic jauh lebih hebat, dengan biaya yang lebih dahsyat, dan ditambah lagi dengan ‘serangan fajar’ kepada rakyat secara langsung. Inilah contoh reformasi birokrasi biaya tinggi yang gagal.
Sesungguhnya ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan reformasi birokrasi, yaitu keselarasan antara Nilai-Sistem-Leadership. Artinya, tidak cukup hanya perbaikan sistem tanpa pembangunan Nilai dan Leadership.
Ketiga hal di atas kami namakan Reformasi Birokrasi Menyeluruh, yaitu membangun sistem yang didahului dengan pembangunan nilai atau value, dan dilanjutkan dengan pembangunan leadership. Artinya, tidak cukup merumuskan atau mempropagandakan nilai serta membangun sistem tanpa diiringi dengan role model dari para pimpinan. Menjadikan para pimpinan contoh dari implementasi nilai sehingga menunjukkan bahwa nilai itu adalah sesuatu yang penting dan harus dipegang teguh serta dijaga dalam menjalankan roda birokrasi. Inilah kunci transformasi budaya korporasi atau kunci reformasi birokrasi secara total.
Selanjutnya, secara pribadi para pemimpin menjalankan serta menanamkan nilai-nilai tersebut kepada seluruh karyawan. Penegakan nilai harus dimulai dari para pemimpin, dari diri mereka sendiri, baru kemudian karyawan. Sehingga nilai tersebut hidup dan berkembang seiring dengan pertumbuhan organisasi. Diharapkan corporate values selalu hidup sampai puluhan tahun ke depan, bahkan bisa sampai ratusan tahun dengan strategi tiga jurus ini.
Langkah berikutnya adalah mengukur derajat kesesuaian antara nilai dan sistem secara berkala. Seperti halnya roda mobil yang harus di-spooring secara teratur, harus diketahui berapa persen melencengnya, dan harus diketahui pasti roda mana yang miring. Semakin tinggi ketidaksesuaian roda, maka akan semakin tidak sehat birokrasinya. Sebaliknya, semakin rendah ketidaksesuaian, akan semakin sehat birokrasinya.
Artinya, setiap nilai harus dikunci dengan sistem, dan setiap sistem harus diisi dengan nilai atau value. Inilah keterkaitan antara Nilai dan Sistem. Seperti Raga dan Jiwa yang tidak bisa dipisahkan. Di samping itu pengukuran "kemiringan roda" birokrasi ini harus bisa diukur dengan pasti derajatnya, supaya perbaikan bisa tepat, akurat, dan presisi. Artinya: "You can not manage, if you can not measure".
Pemimpin dan entropi birokrasi
Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang jelas antara pemimpin dengan entropi birokrasi. Sebagaimana sudah dijelaskan pada artikel terdahulu bahwa, Entropi Budaya adalah mengukur energi yang terbuang percuma di tempat kerja yang bisa menurunkan produktivitas.
Entropi budaya korporasi atau entropi birokrasi sesungguhnya adalah refleksi langsung dari entropi pribadi sang pemimpin itu sendiri. Cara untuk mengurangi warisan entropis pemimpin masa lalu adalah dengan melakukan de-layering, re-strukturisasi, dan transformasi budaya. Di samping itu di zaman sekarang ini entropi pemimpin pun bisa diukur dengan akurat secara obyektif.
Keterlibatan peran pimpinan jelas menjadi faktor kunci penentu kesuksesan perusahaan, khususnya untuk menghidupkan nilai tersebut secara mendalam dan holistik. Jika tidak dimulai dan ditegakkan para pemimpinnya, nilai-nilai perusahaan tidak akan tercipta menjadi sebuah corporate culture. Karena itulah dikatakan bahwa, “Organisasi tidak bertransformasi hingga para pemimpinnya memiliki nilai yang baru dan mengubah perilaku mereka.”
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter
Corporate Culture Consultant
Founder ESQ 165.
Fanpage: facebook.com/Ary.Ginanjar.Agustian
www.esqway165.com
www.actconsulting.co
email: [email protected]
(hyk)