Pemerintah harus ubah tarif PBI
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah harus segera merevisi Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 19.225. jumlah premi tersebut sangatlah kecil dan mengakibatkan carut marut pelayanan kesehatan.
Ketua Perhimpunan Sakit Indonesia (Persi) Sutoto mengatakan, dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Naisonal (JKN) premi yang ditetapkan pemerintah sangatlah kecil. Akibatnya banyak RS yang terkena dampak akibat merasa rugi. Selain itu masyarakat juga mendapatkan pelayanan yang tidak diharapkan.
Menurut dia, usulan yang ditawarkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebesar Rp29.000 adalah jumlah yang pas. Seharusnya pemerintah mendengarkan berbagai pendapa untuk menjadi bahan pertimbangan.
“Seharusnya tidak mengambil keputusan sepihak saja. Akhirnya premi Rp19.225 menjadi tidak berguna untuk RS (Rumah Sakit) karena banyak tarif yang kecil dan tarif tersebut tidak berguna untuk masyarakat,” kata Sutoto saat di hubungi KORAN SINDO, Rabu (26/2/2014).
Pemerintah harus berani untuk menambah premi PBI. Unutk menaikan kualitas kesehatan masyarakat pemerintah harus berkomitmen keras untuk menaikan jumlah premi untuk PBI. Akibat dari premi PBI yang rendah ini menjadikan banyak masalah.
Menurut dia, tarif Indonesia Case Base Groups (Ina CBGs) merupakan sistem kesehatan yang dipakai secara internasional. Memang kekurangan dari tarif ini ada beberapa pelayanan yang kurang. Untuk itu pemerintah harus cepat melakukan revisi. “Revisi ini jangan terlalu lama karena ada hitungan tindakan yang terlau besar dan terlalu kecil,” ucapnya.
Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) mengklaim bahwa sudah dilakukan perbaikan tarif Ina CBGs. Saat ini kebnayakan protes yang datang ialah RS yang biasa menggunakan fee for service, sehingga masih dilakukan penyusaian untuk RS tersebut.
Menurut Nafsiah, dari pertemuan yang dilakukan Kemenkes dengan 10 RS tipe C, D, A, dan B. Ditemukan bahwa sembilan di antaranya balance untuk keuanganya. Artinya mereka tdak mengalami kerugian atau surplus.
‘Sedang dikumpulkan data-datanya, setelahnya baru akan dibuat Permenkes-nya bisa melakukan efisiensi,” tandas Menkes saat ditemui di Kantor Kemenkes.
Untuk itu, pemerintah masih melakukan perbaikan secara menyeluruh dengan meminta masukan dari organisasi profesi dan lainya yang berkaitan. Dalam hal ini, ada beberapa tarif di Ina CBGs yang harus dinaikan dan harus direndahkan.
Saat ini, kebanyakan RS swasta adalah RS for profit, banyak di antara mereka yang masih melihat untung dan rugi. Sedangkan RS pemerintah sebagian besar merasa untung, hal ini dapat menarik RS swasta untuk ikut berpartisipasi.
Dalam kerja sama asuransi dengan RS swasta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencari RS yang sudah terakreditasi. Hampir 50 persen RS swasta sudah terakreditasi. Untuk itu pemerintah mendoronga agar RS swasta untuk mendapatkan akreditasi. “Ikuti petunjuk guna mendapatkan akreditasi,barulah nanti dapat bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” tegasnya.
Ketua Perhimpunan Sakit Indonesia (Persi) Sutoto mengatakan, dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Naisonal (JKN) premi yang ditetapkan pemerintah sangatlah kecil. Akibatnya banyak RS yang terkena dampak akibat merasa rugi. Selain itu masyarakat juga mendapatkan pelayanan yang tidak diharapkan.
Menurut dia, usulan yang ditawarkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebesar Rp29.000 adalah jumlah yang pas. Seharusnya pemerintah mendengarkan berbagai pendapa untuk menjadi bahan pertimbangan.
“Seharusnya tidak mengambil keputusan sepihak saja. Akhirnya premi Rp19.225 menjadi tidak berguna untuk RS (Rumah Sakit) karena banyak tarif yang kecil dan tarif tersebut tidak berguna untuk masyarakat,” kata Sutoto saat di hubungi KORAN SINDO, Rabu (26/2/2014).
Pemerintah harus berani untuk menambah premi PBI. Unutk menaikan kualitas kesehatan masyarakat pemerintah harus berkomitmen keras untuk menaikan jumlah premi untuk PBI. Akibat dari premi PBI yang rendah ini menjadikan banyak masalah.
Menurut dia, tarif Indonesia Case Base Groups (Ina CBGs) merupakan sistem kesehatan yang dipakai secara internasional. Memang kekurangan dari tarif ini ada beberapa pelayanan yang kurang. Untuk itu pemerintah harus cepat melakukan revisi. “Revisi ini jangan terlalu lama karena ada hitungan tindakan yang terlau besar dan terlalu kecil,” ucapnya.
Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) mengklaim bahwa sudah dilakukan perbaikan tarif Ina CBGs. Saat ini kebnayakan protes yang datang ialah RS yang biasa menggunakan fee for service, sehingga masih dilakukan penyusaian untuk RS tersebut.
Menurut Nafsiah, dari pertemuan yang dilakukan Kemenkes dengan 10 RS tipe C, D, A, dan B. Ditemukan bahwa sembilan di antaranya balance untuk keuanganya. Artinya mereka tdak mengalami kerugian atau surplus.
‘Sedang dikumpulkan data-datanya, setelahnya baru akan dibuat Permenkes-nya bisa melakukan efisiensi,” tandas Menkes saat ditemui di Kantor Kemenkes.
Untuk itu, pemerintah masih melakukan perbaikan secara menyeluruh dengan meminta masukan dari organisasi profesi dan lainya yang berkaitan. Dalam hal ini, ada beberapa tarif di Ina CBGs yang harus dinaikan dan harus direndahkan.
Saat ini, kebanyakan RS swasta adalah RS for profit, banyak di antara mereka yang masih melihat untung dan rugi. Sedangkan RS pemerintah sebagian besar merasa untung, hal ini dapat menarik RS swasta untuk ikut berpartisipasi.
Dalam kerja sama asuransi dengan RS swasta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencari RS yang sudah terakreditasi. Hampir 50 persen RS swasta sudah terakreditasi. Untuk itu pemerintah mendoronga agar RS swasta untuk mendapatkan akreditasi. “Ikuti petunjuk guna mendapatkan akreditasi,barulah nanti dapat bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” tegasnya.
(maf)