Rapuhnya Konvensi Demokrat
A
A
A
PARTAI Demokrat memiliki hajatan cukup wah yakni mencari sosok calon presiden (capres) idol lewat konvensi. Jalan keluar ala Demokrat untuk mengatasi kegundahan mereka atas sejumlah persoalan yang menggerus citra, reputasi, bahkan elektabilitas dan popularitas partainya.
Sebelas kontestan konvensi sudah dikenalkan ke publik lewat panggung unjuk kepiawaian retoris pada Minggu (15 September 2013). Kini, kesebelasan Demokrat tersebut bergerilya ke berbagai kantong masyarakat, memasarkan diri lewat sejumlah saluran komunikasi politik sekaligus mengkonstruksi dirinya sebagai capres paling patut mewakili “kapal retak” bernama Demokrat!
Kelemahan
Sejatinya, konvensi itu merupakan mekanisme ideal dalam kanalisasi capres terbaik partai. Di tengah oligarki partai politik di Indonesia, konvensi bisa menjadi ‘oase’ penting dalam konsolidasi demokrasi dan pelembagaan partai politik. Namun demikian, belum tentu publik mengidentifikasi konvensi Demokrat sebagai model ideal dalam praktik seleksi capres di Indonesia.
Dengan mudah, kita bisa mengidentifikasi sejumlah potensi kerapuhan dalam praktik konvensi ala Demokrat. Pertama, Demokrat belum mampu meyakinkan publik bahwa penyelenggaraan konvensi akan berjalan reguler bukan ad hoc! Hingga hari ini, belum ada elite di arus utama Demokrat yang secara tegas menyatakan akan ada kesinambungan penyelenggaraan konvensi dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Mekanisme pencapresan di Demokrat hingga sekarang belum berubah, yakni ditentukan Majelis Tinggi Partai.
Jika pun sekarang ada konvensi, terkesan masih bersifat eksperimen sesaat. Keseriusan menggelar konvensi harusnya teraba sejak Kongres Luar Biasa (KLB) di Bali. Saat itu, selain menjadi momentum pengukuhan SBY sebagai orang super sibuk karena memborong banyak jabatan di Demokrat, seharusnya juga memberi ruang untuk perubahan AD/ART partai dengan memasukkan konvensi sebagai mekanisme pancapresan. Perbincangan soal konvensi sama sekali tak bunyi di Bali, tetapi kini Demokrat dengan lantang menyuarakan dan menggaransi, konvensi yang digelarnya sebagai upaya pelembagaan politik.
Nada bernyanyi Demokrat saat ini, tak jauh berbeda dengan Golkar di Pemilu 2004. Mereka sama-sama menjadikan konvensi sebagai ‘etalase citra’ untuk menggenjot popularitas dan elektabilitas partai. Golkar menggelar konvensi sekali, setelah itu mati! Akankah Demokrat juga melakukan hal yang sama? Di situlah letak skeptisme publik bermula. Belum ada pernyataan meyakinkan dari para elite Demokrat, kalau penyelenggaraan konvensi ini akan diformalkan dalam aturan organisasi.
Kedua, hingga saat ini transparansi anggaran juga menjadi hal paling mendapatkan sorotan. Menggelar konvensi selama delapan bulan bukan pekerjaan main-main. Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai konvensi tentu tak sedikit. Jauh akan lebih baik, jika Demokrat memelopori keterbukaan informasi darimana asal pendanaan yang digunakan selama perhelatan.
Demikian pula, terkait dengan dana yang dipakai oleh setiap kontestan konvensi. Adakah aturan komite konvensi yang mengharuskan setiap kontestan terbuka terutama jika mereka menerima sumbangan pihak ketiga dalam kampanye di berbagai daerah dan di berbagai media. Jika tidak, sangat mungkin muncul “investor hitam” dan “penunggang gelap” dalam jajaran penyumbang dana kampanye kontestan.
Ketiga, terkait dengan survei elektabilitas yang akan dilakukan sebanyak dua kali oleh tiga lembaga survei. Rencananya, survei akan dilakukan Desember 2013 dan April 2014. Hasil survei inilah yang nantinya akan menjadi indikator utama siapa yang akan maju menjadi capres Demokrat di Pemilu 2014. Masalahnya sekarang, adakah mekanisme audit hasil survei?
Bukan mustahil, meskipun selalu dikatakan bahwa tiga lembaga survei yang dipakai komite konvensi itu adalah lembaga yang kredibel dan imparsial, dalam praktiknya bisa saja tergoda untuk memainkan peran sebagai “tukang pemenangan”. Tak bisa lagi kita mengandalkan asumsi positif, harus ada aturan main yang jelas dan menggaransi hasil survei mereka benar dan profesional secara metodologis, dan imparsial dalam relasi kuasanya dengan seluruh kontestan.
Keempat, proses konvensi Demokrat juga berpotensi memunculkan conflict of interest pada sejumlah kontestan yang menjadi pejabat. Di antara kontestan ada menteri, anggota BPK, Duta Besar, Wakil Ketua DPR dan lain-lain. Rentang waktu panjang untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas memungkinkan para pejabat tersebut tak lagi bisa membatasi kapan dia memerankan diri sebagai pejabat yang didanai rakyat dan kapan sebagai kontestan pemilu. Buktinya, kini di jalanan dengan mudah kita dapatkan publisitas politik yang mengatasnamakan program kementrian tetapi yang menonjol justru sosok sang menteri yang berlaga di konvensi.
Prospek suram
Melihat konteks politik jelang 2014, konvensi Demokrat berprospek suram. Tentu bukan karena para kontestannya tak berkualitas, melainkan karena tergerusnya kepercayaan publik terhadap Partai Demokrat dan terus menguatnya kompetitor partai lain seperti meroketnya nama Jokowi dan Prabowo yang digadang-gadang akan menjadi capres PDIP dan Gerindra.
Konvensi Demokrat tentu akan menjadi panggung bagi eksistensi partai yang dipimpin SBY di Pemilu 2014. Selama konvensi digelar, keuntungan yang akan dipetik Demokrat tentu saja pemberitaan media yang menonjol. Artinya, konvensi bisa kita maknai dalam perspektif komunikasi politik. Denton dan Woodward dalam bukunya Ethical Dimensions of Political Communication (1991) menyebutkan karakteristik komunikasi politik itu tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik.
Hanya saja, Demokrat tentu juga harus memahami bahwa faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah semata-mata sumber pesan melainkan juga isi dan tujuannya. Jika selama proses konvensi Demokrat nanti hanya menunjukkan ketidakjelasan sistem penyelanggaraan dan hasilnya hanya meneguhkan “skenario” bawaan, maka publik akan menilai konvensi Demokrat sebagai kesia-siaan. Bahkan, bahayanya berpotensi mendegradasi makna konvensi bagi partai manapun yang menyelenggarakan hal serupa di kemudian hari. Dengan demikian, konvensi menjadi tantangan tersendiri bagi Demokrat, apakah bisa menjadi role model yang positif atau kian meneguhkan buruk rupa politik kepartaian kita.
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Sebelas kontestan konvensi sudah dikenalkan ke publik lewat panggung unjuk kepiawaian retoris pada Minggu (15 September 2013). Kini, kesebelasan Demokrat tersebut bergerilya ke berbagai kantong masyarakat, memasarkan diri lewat sejumlah saluran komunikasi politik sekaligus mengkonstruksi dirinya sebagai capres paling patut mewakili “kapal retak” bernama Demokrat!
Kelemahan
Sejatinya, konvensi itu merupakan mekanisme ideal dalam kanalisasi capres terbaik partai. Di tengah oligarki partai politik di Indonesia, konvensi bisa menjadi ‘oase’ penting dalam konsolidasi demokrasi dan pelembagaan partai politik. Namun demikian, belum tentu publik mengidentifikasi konvensi Demokrat sebagai model ideal dalam praktik seleksi capres di Indonesia.
Dengan mudah, kita bisa mengidentifikasi sejumlah potensi kerapuhan dalam praktik konvensi ala Demokrat. Pertama, Demokrat belum mampu meyakinkan publik bahwa penyelenggaraan konvensi akan berjalan reguler bukan ad hoc! Hingga hari ini, belum ada elite di arus utama Demokrat yang secara tegas menyatakan akan ada kesinambungan penyelenggaraan konvensi dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Mekanisme pencapresan di Demokrat hingga sekarang belum berubah, yakni ditentukan Majelis Tinggi Partai.
Jika pun sekarang ada konvensi, terkesan masih bersifat eksperimen sesaat. Keseriusan menggelar konvensi harusnya teraba sejak Kongres Luar Biasa (KLB) di Bali. Saat itu, selain menjadi momentum pengukuhan SBY sebagai orang super sibuk karena memborong banyak jabatan di Demokrat, seharusnya juga memberi ruang untuk perubahan AD/ART partai dengan memasukkan konvensi sebagai mekanisme pancapresan. Perbincangan soal konvensi sama sekali tak bunyi di Bali, tetapi kini Demokrat dengan lantang menyuarakan dan menggaransi, konvensi yang digelarnya sebagai upaya pelembagaan politik.
Nada bernyanyi Demokrat saat ini, tak jauh berbeda dengan Golkar di Pemilu 2004. Mereka sama-sama menjadikan konvensi sebagai ‘etalase citra’ untuk menggenjot popularitas dan elektabilitas partai. Golkar menggelar konvensi sekali, setelah itu mati! Akankah Demokrat juga melakukan hal yang sama? Di situlah letak skeptisme publik bermula. Belum ada pernyataan meyakinkan dari para elite Demokrat, kalau penyelenggaraan konvensi ini akan diformalkan dalam aturan organisasi.
Kedua, hingga saat ini transparansi anggaran juga menjadi hal paling mendapatkan sorotan. Menggelar konvensi selama delapan bulan bukan pekerjaan main-main. Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai konvensi tentu tak sedikit. Jauh akan lebih baik, jika Demokrat memelopori keterbukaan informasi darimana asal pendanaan yang digunakan selama perhelatan.
Demikian pula, terkait dengan dana yang dipakai oleh setiap kontestan konvensi. Adakah aturan komite konvensi yang mengharuskan setiap kontestan terbuka terutama jika mereka menerima sumbangan pihak ketiga dalam kampanye di berbagai daerah dan di berbagai media. Jika tidak, sangat mungkin muncul “investor hitam” dan “penunggang gelap” dalam jajaran penyumbang dana kampanye kontestan.
Ketiga, terkait dengan survei elektabilitas yang akan dilakukan sebanyak dua kali oleh tiga lembaga survei. Rencananya, survei akan dilakukan Desember 2013 dan April 2014. Hasil survei inilah yang nantinya akan menjadi indikator utama siapa yang akan maju menjadi capres Demokrat di Pemilu 2014. Masalahnya sekarang, adakah mekanisme audit hasil survei?
Bukan mustahil, meskipun selalu dikatakan bahwa tiga lembaga survei yang dipakai komite konvensi itu adalah lembaga yang kredibel dan imparsial, dalam praktiknya bisa saja tergoda untuk memainkan peran sebagai “tukang pemenangan”. Tak bisa lagi kita mengandalkan asumsi positif, harus ada aturan main yang jelas dan menggaransi hasil survei mereka benar dan profesional secara metodologis, dan imparsial dalam relasi kuasanya dengan seluruh kontestan.
Keempat, proses konvensi Demokrat juga berpotensi memunculkan conflict of interest pada sejumlah kontestan yang menjadi pejabat. Di antara kontestan ada menteri, anggota BPK, Duta Besar, Wakil Ketua DPR dan lain-lain. Rentang waktu panjang untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas memungkinkan para pejabat tersebut tak lagi bisa membatasi kapan dia memerankan diri sebagai pejabat yang didanai rakyat dan kapan sebagai kontestan pemilu. Buktinya, kini di jalanan dengan mudah kita dapatkan publisitas politik yang mengatasnamakan program kementrian tetapi yang menonjol justru sosok sang menteri yang berlaga di konvensi.
Prospek suram
Melihat konteks politik jelang 2014, konvensi Demokrat berprospek suram. Tentu bukan karena para kontestannya tak berkualitas, melainkan karena tergerusnya kepercayaan publik terhadap Partai Demokrat dan terus menguatnya kompetitor partai lain seperti meroketnya nama Jokowi dan Prabowo yang digadang-gadang akan menjadi capres PDIP dan Gerindra.
Konvensi Demokrat tentu akan menjadi panggung bagi eksistensi partai yang dipimpin SBY di Pemilu 2014. Selama konvensi digelar, keuntungan yang akan dipetik Demokrat tentu saja pemberitaan media yang menonjol. Artinya, konvensi bisa kita maknai dalam perspektif komunikasi politik. Denton dan Woodward dalam bukunya Ethical Dimensions of Political Communication (1991) menyebutkan karakteristik komunikasi politik itu tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik.
Hanya saja, Demokrat tentu juga harus memahami bahwa faktor penting yang membuat terjadinya komunikasi politik bukanlah semata-mata sumber pesan melainkan juga isi dan tujuannya. Jika selama proses konvensi Demokrat nanti hanya menunjukkan ketidakjelasan sistem penyelanggaraan dan hasilnya hanya meneguhkan “skenario” bawaan, maka publik akan menilai konvensi Demokrat sebagai kesia-siaan. Bahkan, bahayanya berpotensi mendegradasi makna konvensi bagi partai manapun yang menyelenggarakan hal serupa di kemudian hari. Dengan demikian, konvensi menjadi tantangan tersendiri bagi Demokrat, apakah bisa menjadi role model yang positif atau kian meneguhkan buruk rupa politik kepartaian kita.
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
(hyk)