10 potensi masalah Pemilu 2014 versi LPI
A
A
A
Sindonews.com - Pemilu 2014 akan berlangsung kurang dari tiga bulan lagi. Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menilai setidaknya terdapat 10 potensi masalah Pemilu 2014.
Pertama, sosialisasi kandidat calon legislatif tidak optimal karena masih didominasi oleh sosialisasi sosok atau figur, bukan sosialisasi ideologi dan program kerja yang akan dijalankan pada periode 2014-2019.
Kedua, model kampanye partai politik (parpol) masih bertumpu pada politik visual dengan menjual figur. Bukan dengan menjual gagasan atau program konkret untuk perubahan Indonesia pada periode pemerintahan mendatang (2014-2019).
"Ketiga, kecurigaan terhadap netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu masih menjadi beban berat bagi parpol dan masyarakat pemilih, terutama setelah adanya wacana Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) terlibat dalam pengawasan pemilu, meskipun kesepakatan itu sudah dibatalkan," ujar Direktur Lembaga LPI Boni Hargens saat jumpa pers di Gallery Cafe Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2014).
Kemudian, yang keempat adalah masalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ternyata hingga saat ini belum diselesaikan oleh KPU. "Terkait dengan ini, ada kecurigaan munculnya kartu pemilih siluman atau surat suara siluman yang bermaksud menggembungkan suara partai atau figur tertentu," katanya.
Kelima, persoalan dana saksi yang semula hendak didanai negara. Sementara keenam, mengenai kecurigaan terhadap aparat keamanan, yang dalam praktik membantu mengamankan surat suara hasil pencoblosan agar sampai ke tangan KPUD atau KPU pusat secara utuh sebagaimana perolehan asli di TPS.
"Ketujuh, Bawaslu yang tidak bisa menarik jarak dari KPU dan cenderung menjadi bagian dari penyelenggara pemilu sehingga dianggap tidak netral sepenuhnya menjadi salah satu permasalahan pemilu," katanya.
Kedelapan, money politics atau politik uang dalam bentuk langsung maupun tak langsung masih menjadi permasalahan dan hantu dalam Pemilu 2014.
Kesembilan, kata Boni, soal tabulasi suara KPU masih dicurigai sebagai peluang manipulasi suara, apalagi jika belum disiapkan mekanisme transparansi penghitungan suara yang bisa diamanati publik.
Hal ini, ujar dia, bisa menjadi mulus kalau aparat intelegen masih secara diam-diam bekerja sama dengan KPU untuk kepentingan partai tertentu.
Kesepuluh atau yang terakhir adalah kekerasan politik berpotensi terjadi didaerah yang sentimen primodial masih kental, model penggalangan politiknya masih bertumpu pada ikatan kekeluargaan atau ikatan primordial umumnya dan pengaruh bos lokal masih dominan dalam melakukan kontrol sosial.
Baca berita:
Jelang pemilu, transaksi mencurigakan meningkat
Pertama, sosialisasi kandidat calon legislatif tidak optimal karena masih didominasi oleh sosialisasi sosok atau figur, bukan sosialisasi ideologi dan program kerja yang akan dijalankan pada periode 2014-2019.
Kedua, model kampanye partai politik (parpol) masih bertumpu pada politik visual dengan menjual figur. Bukan dengan menjual gagasan atau program konkret untuk perubahan Indonesia pada periode pemerintahan mendatang (2014-2019).
"Ketiga, kecurigaan terhadap netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu masih menjadi beban berat bagi parpol dan masyarakat pemilih, terutama setelah adanya wacana Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) terlibat dalam pengawasan pemilu, meskipun kesepakatan itu sudah dibatalkan," ujar Direktur Lembaga LPI Boni Hargens saat jumpa pers di Gallery Cafe Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2014).
Kemudian, yang keempat adalah masalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ternyata hingga saat ini belum diselesaikan oleh KPU. "Terkait dengan ini, ada kecurigaan munculnya kartu pemilih siluman atau surat suara siluman yang bermaksud menggembungkan suara partai atau figur tertentu," katanya.
Kelima, persoalan dana saksi yang semula hendak didanai negara. Sementara keenam, mengenai kecurigaan terhadap aparat keamanan, yang dalam praktik membantu mengamankan surat suara hasil pencoblosan agar sampai ke tangan KPUD atau KPU pusat secara utuh sebagaimana perolehan asli di TPS.
"Ketujuh, Bawaslu yang tidak bisa menarik jarak dari KPU dan cenderung menjadi bagian dari penyelenggara pemilu sehingga dianggap tidak netral sepenuhnya menjadi salah satu permasalahan pemilu," katanya.
Kedelapan, money politics atau politik uang dalam bentuk langsung maupun tak langsung masih menjadi permasalahan dan hantu dalam Pemilu 2014.
Kesembilan, kata Boni, soal tabulasi suara KPU masih dicurigai sebagai peluang manipulasi suara, apalagi jika belum disiapkan mekanisme transparansi penghitungan suara yang bisa diamanati publik.
Hal ini, ujar dia, bisa menjadi mulus kalau aparat intelegen masih secara diam-diam bekerja sama dengan KPU untuk kepentingan partai tertentu.
Kesepuluh atau yang terakhir adalah kekerasan politik berpotensi terjadi didaerah yang sentimen primodial masih kental, model penggalangan politiknya masih bertumpu pada ikatan kekeluargaan atau ikatan primordial umumnya dan pengaruh bos lokal masih dominan dalam melakukan kontrol sosial.
Baca berita:
Jelang pemilu, transaksi mencurigakan meningkat
(kri)