Jelang pemilu, kabinet SBY semakin kehilangan roh
A
A
A
Sindonews.com - Kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram salah satu bukti koordinasi pemerintahan yang kacau balau. Pasalnya, kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN tidak diketahui oleh Presiden SBY.
Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi menilai, tidak masuk akal jika Presiden SBY tidak mengetahui kebijakan Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram.
"Secara logika politik, memang menjadi tidak masuk akal mengingat pemerintah tidak dalam keadaan genting. Sehingga masalah miss koordinasi bukan alasan penguat," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Rabu (8/1/2013).
"Saya menduga efektifitas pemerintahan sehingga ada frustasi dari pembantu presiden jika diajukan ke SBY akan digoreng untuk kepentingan SBY dan Demokrat," sambungnya.
Dalam banyak kasus selama hampir tiga dekade terakhir, kata Muradi, bisa dibilang bahwa pemerintahan tidak efektif menjelang pemilu. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan pemerintah saat ini tidak lagi mengikat koalisi parpol yang menjadi roh dari kabinet SBY.
"Ditambah lagi perilaku politik yang ditampilkan SBY di depan publik tidak lagi mencerminkan kenegarawanan yang kuat untuk sepenuh hati dan pikiran memikirkan kebutuhan publik dan rakyat banyak," tandasnya.
Sehingga, lanjut dia, membuat pembantu presiden cenderung ragu apabila kemudian sebuah kebijakan diajukan ke presiden.
"Sebab ada idiom yang berkembang di elite politik yang ada sekarang bahwa Demokrat dan SBY adalah ibarat kapal yang hendak karam. Sehingga apapun dilakukan dan diambil untuk menyelamatkan kepentingan penyelamatannya," tutupnya.
Baca berita:
Koordinasi pemerintah kacau, gas elpiji naik
Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi menilai, tidak masuk akal jika Presiden SBY tidak mengetahui kebijakan Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram.
"Secara logika politik, memang menjadi tidak masuk akal mengingat pemerintah tidak dalam keadaan genting. Sehingga masalah miss koordinasi bukan alasan penguat," ujarnya ketika dihubungi Sindonews, Rabu (8/1/2013).
"Saya menduga efektifitas pemerintahan sehingga ada frustasi dari pembantu presiden jika diajukan ke SBY akan digoreng untuk kepentingan SBY dan Demokrat," sambungnya.
Dalam banyak kasus selama hampir tiga dekade terakhir, kata Muradi, bisa dibilang bahwa pemerintahan tidak efektif menjelang pemilu. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan pemerintah saat ini tidak lagi mengikat koalisi parpol yang menjadi roh dari kabinet SBY.
"Ditambah lagi perilaku politik yang ditampilkan SBY di depan publik tidak lagi mencerminkan kenegarawanan yang kuat untuk sepenuh hati dan pikiran memikirkan kebutuhan publik dan rakyat banyak," tandasnya.
Sehingga, lanjut dia, membuat pembantu presiden cenderung ragu apabila kemudian sebuah kebijakan diajukan ke presiden.
"Sebab ada idiom yang berkembang di elite politik yang ada sekarang bahwa Demokrat dan SBY adalah ibarat kapal yang hendak karam. Sehingga apapun dilakukan dan diambil untuk menyelamatkan kepentingan penyelamatannya," tutupnya.
Baca berita:
Koordinasi pemerintah kacau, gas elpiji naik
(kri)