Tak masuk akal pencapresan Prabowo ditolak
A
A
A
Sindonews.com - Hasil lembaga survei Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia (UI), pencapresan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto mendapatkan penolakan dari publik.
Namun hasil survei tersebut dinilai tak masuk akal, apalagi survei tersebut mengatasnamakan lembaga perguruan tinggi yang selama ini menjadi ikon yang sangat popular.
Selain menyesatkan rakyat, opini yang dibangun itu juga dinilai termasuk negatif. Hal demikian dikatakan pengamat sosial politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara.
“Janganlah perguruan tinggi dipolitisasi untuk mengangkat atau menjatuhkan seseorang. Nanti bisa jadi bumerang yang sangat buruk bagi perguruan tinggi tersebut,” ujar Igor Dirgantara saat dihubungi wartawan, Senin 30 Desember 2013.
Survei tersebut dipublikasikan belum lama ini, telah menempatkan Prabowo Subianto menjadi tokoh yang paling ditolak sebagai calon presiden (capres), yaitu sebesar 20 persen. Kemudian disusul tokoh lainnya, yaitu Rhoma Irama, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, Pramono Edhi Wibowo dan Wiranto.
Dosen FISIP Universitas Jayabaya itu menjelaskan, Prabowo Subianto adalah pendiri Partai Gerindra yang memiliki jaringan pengurus sampai ke pelosok tanah air. "Beliau juga memiliki simpatisan dan pendukung di seluruh Indonesia. Bukan itu saja, dalam setiap riset dan survei, namanya sering masuk rating dua bahkan rating satu untuk tingkat popularitas maupun elektabilitas," katanya.
Sehingga, menurut dia, pelarangan nyapres berdasarkan survei itu sangat tidak masuk akal.
Lebih lanjut dia mengatakan, para akademisi seharusnya mendorong sebanyak-banyak calon presiden yang berkualitas, agar republik ini bisa bangkit menjadi macan Asia dan menjadi lebih berwibawa saat ini.
“Indonesia sudah tidak punya wibawa sama sekali, kita perlu presiden yang tegas dan berwibawa. Kalau banyak pilihannya, silakan rakyat memilih. Seharusnya itulah yang didorong oleh akademisi dan lembaga survei,” tuturnya.
Akan tetapi, menurut dia, yang terjadi saat ini adalah penggiringan opini publik oleh akademisi terkait hasil survei, karena adanya bandwagon effect atau pilihan dan dukungan publik untuk mengarahkan kepada figur.
"Ada lembaga survei tertentu juga punya dua kaki. Kaki yang satu untuk melakukan survei yang benar, dan kaki yang lainnya adalah untuk pendampingan (konsultan) pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada lembaga-lembaga survei yang tidak mengedepankan independensinya," ungkapnya.
Menurutnya, pertarungan dalam kontestasi Pemilu 2014, lebih merupakan pertarungan antara para elite politik dibelakang layar, ketimbang hasil survei semata. Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elite partai sering lebih menentukan pascapemilu legislatif atau jelang pemilu presiden yang akan menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
Namun hasil survei tersebut dinilai tak masuk akal, apalagi survei tersebut mengatasnamakan lembaga perguruan tinggi yang selama ini menjadi ikon yang sangat popular.
Selain menyesatkan rakyat, opini yang dibangun itu juga dinilai termasuk negatif. Hal demikian dikatakan pengamat sosial politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara.
“Janganlah perguruan tinggi dipolitisasi untuk mengangkat atau menjatuhkan seseorang. Nanti bisa jadi bumerang yang sangat buruk bagi perguruan tinggi tersebut,” ujar Igor Dirgantara saat dihubungi wartawan, Senin 30 Desember 2013.
Survei tersebut dipublikasikan belum lama ini, telah menempatkan Prabowo Subianto menjadi tokoh yang paling ditolak sebagai calon presiden (capres), yaitu sebesar 20 persen. Kemudian disusul tokoh lainnya, yaitu Rhoma Irama, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, Pramono Edhi Wibowo dan Wiranto.
Dosen FISIP Universitas Jayabaya itu menjelaskan, Prabowo Subianto adalah pendiri Partai Gerindra yang memiliki jaringan pengurus sampai ke pelosok tanah air. "Beliau juga memiliki simpatisan dan pendukung di seluruh Indonesia. Bukan itu saja, dalam setiap riset dan survei, namanya sering masuk rating dua bahkan rating satu untuk tingkat popularitas maupun elektabilitas," katanya.
Sehingga, menurut dia, pelarangan nyapres berdasarkan survei itu sangat tidak masuk akal.
Lebih lanjut dia mengatakan, para akademisi seharusnya mendorong sebanyak-banyak calon presiden yang berkualitas, agar republik ini bisa bangkit menjadi macan Asia dan menjadi lebih berwibawa saat ini.
“Indonesia sudah tidak punya wibawa sama sekali, kita perlu presiden yang tegas dan berwibawa. Kalau banyak pilihannya, silakan rakyat memilih. Seharusnya itulah yang didorong oleh akademisi dan lembaga survei,” tuturnya.
Akan tetapi, menurut dia, yang terjadi saat ini adalah penggiringan opini publik oleh akademisi terkait hasil survei, karena adanya bandwagon effect atau pilihan dan dukungan publik untuk mengarahkan kepada figur.
"Ada lembaga survei tertentu juga punya dua kaki. Kaki yang satu untuk melakukan survei yang benar, dan kaki yang lainnya adalah untuk pendampingan (konsultan) pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada lembaga-lembaga survei yang tidak mengedepankan independensinya," ungkapnya.
Menurutnya, pertarungan dalam kontestasi Pemilu 2014, lebih merupakan pertarungan antara para elite politik dibelakang layar, ketimbang hasil survei semata. Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elite partai sering lebih menentukan pascapemilu legislatif atau jelang pemilu presiden yang akan menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
(maf)